Ilustrasi
Cerpen yang Bebas dan Merdeka
Efix
Mulyadi ; Kurator Bentara Budaya, Jurnalis
|
KOMPAS,
29 Juni 2014
Rubrik
seni Kompas telah ”melahirkan” sekitar 600 karya rupa baru. Itu dihitung
sejak 17 Februari 2002, yakni penerbitan pertama di koran ketika ilustrasi
dikerjakan oleh para perupa umum. Meski masih disebut ”ilustrasi cerpen”,
sejatinya karya-karya rupa ini sudah tidak lagi menjalani fungsi yang melulu
mendukung isi cerpen. Ilustrasi gaya baru ini berkembang menjadi lebih bebas,
bahkan mandiri.
Sampai
saat ini perupa yang terlibat sekitar 150 orang. Isa Perkasa, AS Kurnia,
Ipong Purnama Sidhi, Yuswantoro Adi, Hari Budiono, Tisna Sanjaya, Danarto,
dan Samuel Indratma—untuk menyebut beberapa nama—menyemarakkan tahun pertama
dan masih tampil sampai belakangan ini. Pada masa awal terjaring Laksmi
Shitaresmi, Wara Anindyah, Wayan Sujana Suklu, dan sederet lainnya yang lebih
dari satu kali mengisi rubrik tersebut.
Rubrik
seni itu setiap kali diupayakan mendapat suntikan ”darah baru”, yakni yang
belum terjangkau atau yang merupakan kekuatan baru. Muncullah wajah-wajah
segar, seperti Erik Muhammad Pauhrizi, Faisal Habibi, Julia Sarisetiati,
Julius Ariadhitya Pramuhendra, atau Eko Nugroho. Namun, ada juga Lucia
Hartini, Haris Purnomo, Putu Sutawijaya, Yani Halim, Bob ”Sick” Yudhita
Agung, dan I Made Djirna, yang punya ”jam terbang” lebih tinggi tetapi belum
sempat terlibat.
Bahkan
Jeihan (lahir 1938) ikut tampil di Kompas tahun 2012. Pada masa yang sama,
dimuat pula karya Mohammad Adi Nugeraha yang lahir tahun 1990, serta Zusfa
Roihan, Irfan Hendrian, Muhammad Zico Albaiquni, dan Michael Binuko a.k.a
Koxis Verserken, yang lahir tahun 1987. Jarak usia yang sangat lebar ini
menjadi pemandangan yang menarik.
Perupa
mengawali tugasnya dengan menafsir teks cerpen dan melahirkan teks baru yang
berujud karya rupa. Banyak yang berhasil. Banyak yang runyam. Sebagian
terkesan malas berpikir sehingga memilih ”mudik”, menjadi tak jauh beda
dengan ilustrator di dalam pengertian yang lazim. Beberapa menciptakan karya
rupa yang hebat, namun tak terkait dengan teks cerpen.
Sangat
sedikit yang melampaui pesan simbolis cerpen. Ukuran ideal itu diterapkan
oleh Jean Couteau dan Eddy Soetriyono ketika memilih karya Eko Nugroho
sebagai ilustrasi terbaik 2009. Berbagai persoalan seperti ini sudah
disinggung oleh beberapa pengkritik sepanjang perjalanan upaya ”merayakan
ilustrasi” yang masih pendek ini, seperti Bambang Budjono, Kuss Indarto, Arif
Bagus Prasetyo, dan Aminudin TH Siregar.
Tidak
ada patokan yang diberikan tentang gaya, corak, kecenderungan, teknik, atau
medium. Ojite Budi Suwarna, misalnya, membuat seni instalasi (dipamerkan
tahun 2006). Padahal foto karyanya sebagai ilustrasi di lembaran koran
terlihat seperti “baik-baik saja”. Pintor Sirait yang tenar dengan
karya-karya luar ruangnya membuat karya video. Apa yang Anda harap kepada
jagoan keramik Nurdian Ichsan atau pematung Awan Simatupang atau Rudi
Mantofani yang banyak menggarap obyek rupa? Tebaklah apa yang dibuat oleh
jagoan fotografi seperti Davy Linggar, Oscar Motuloh, dan Jerry Aurum.
Dingin dan bergelora
Keragaman
yang luas menandai 51 ilustrasi cerpen Kompas tahun 2013, yang dipamerkan di
Bentara Budaya Jakarta 25 Juni-5 Juli 2014. Lihatlah, sejak cara membangun
sosok dengan garis yang tertib seperti Dyah Anggraeni (cerpen ”Rumah Tuhan”)
dan Herjoko (”Eyang”) sampai yang mengeksplorasi watak ekspresif seperti
Ipong Purnama Sidhi (”Trilogi”), bahkan yang bergelora seperti Made
Sumadiyasa (”Saia”). Belum lagi yang beraroma rekayasa fotografi, seperti
karya Risa Tania Tejawati (”Nyonya Rumah Abu”) atau gubahan Sandi Jaya
Saputra (”Sebatang Pohon di Loftus Road”), maupun rekaan M Bhundowi (”Bulan
Biru”) yang menawan dan kaya dengan simbol.
Beberapa
lebih mudah dikaitkan dengan cerpen. Sebutlah itu ciptaan Putu Wirantawan, I
Putu Edy Asmara, Rahardi Handining, Jitet Koestono, dan Wara Anindyah—untuk
menyebut beberapa nama saja.
Karya
Putu Wirantawan memikat dan eye catching. Ia suka dengan permainan garis dan
bidang yang tegas maupun perspektif yang rinci, rumit, dan berkesan dingin.
Watak rasional dominan. Itulah natur dari keindahannya. Kali ini ia membentuk
semacam kepundan gunung berapi yang siap meledak. Sejalan dengan semangat
cerpen Indra Tranggono ”Menebang Pohon Silsilah” yang menggambarkan kemarahan
yang memuncak.
Putu Edy
Asmara menggubah citra air hujan mirip peluru tajam, memperkaya gaya Ahmad
Muchlis Amrin yang realistik dalam ”Hujan Bulan Februari”. Stilisasi yang
dilakukan oleh Rahardi Handining menambah nuansa tragik-komik yang dituturkan
Gerson Poyk di dalam ”Pengacara Pikun”.
Jitet
Koestono memainkan metafor sepatu tentara yang alasnya mirip
labirin—menyisakan tanda tanya—untuk ”Aku, Pembunuh Munir” karangan Seno
Gumira Ajidarma. Wara Anindyah memperkuat suasana muram yang habis-habisan
digarap Triyanto Triwikromo untuk cerpennya ”Serigala di Kelas Almira”.
Masih
ada puluhan karya lain yang tak kalah memikat, yang menunggu penonton di
ruang pamer untuk aktif mengapresiasi.
Ada pendapat
bahwa karya seni justru memulai kehidupannya ketika lepas dari tangan kreator
dan hadir di depan masyarakat. Maka selain tampil dalam versi kopian dwimatra
di koran, karya-karya rupa berdasar cerpen itu tetap penting dipamerkan di
ruang publik, di dalam wujud senyata-nyatanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar