Selasa, 01 Juli 2014

Ilustrasi Cerpen yang Bebas dan Merdeka

Ilustrasi Cerpen yang Bebas dan Merdeka

Efix Mulyadi  ;  Kurator Bentara Budaya, Jurnalis
KOMPAS, 29 Juni 2014

                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
Rubrik seni Kompas telah ”melahirkan” sekitar 600 karya rupa baru. Itu dihitung sejak 17 Februari 2002, yakni penerbitan pertama di koran ketika ilustrasi dikerjakan oleh para perupa umum. Meski masih disebut ”ilustrasi cerpen”, sejatinya karya-karya rupa ini sudah tidak lagi menjalani fungsi yang melulu mendukung isi cerpen. Ilustrasi gaya baru ini berkembang menjadi lebih bebas, bahkan mandiri.

Sampai saat ini perupa yang terlibat sekitar 150 orang. Isa Perkasa, AS Kurnia, Ipong Purnama Sidhi, Yuswantoro Adi, Hari Budiono, Tisna Sanjaya, Danarto, dan Samuel Indratma—untuk menyebut beberapa nama—menyemarakkan tahun pertama dan masih tampil sampai belakangan ini. Pada masa awal terjaring Laksmi Shitaresmi, Wara Anindyah, Wayan Sujana Suklu, dan sederet lainnya yang lebih dari satu kali mengisi rubrik tersebut.

Rubrik seni itu setiap kali diupayakan mendapat suntikan ”darah baru”, yakni yang belum terjangkau atau yang merupakan kekuatan baru. Muncullah wajah-wajah segar, seperti Erik Muhammad Pauhrizi, Faisal Habibi, Julia Sarisetiati, Julius Ariadhitya Pramuhendra, atau Eko Nugroho. Namun, ada juga Lucia Hartini, Haris Purnomo, Putu Sutawijaya, Yani Halim, Bob ”Sick” Yudhita Agung, dan I Made Djirna, yang punya ”jam terbang” lebih tinggi tetapi belum sempat terlibat.

Bahkan Jeihan (lahir 1938) ikut tampil di Kompas tahun 2012. Pada masa yang sama, dimuat pula karya Mohammad Adi Nugeraha yang lahir tahun 1990, serta Zusfa Roihan, Irfan Hendrian, Muhammad Zico Albaiquni, dan Michael Binuko a.k.a Koxis Verserken, yang lahir tahun 1987. Jarak usia yang sangat lebar ini menjadi pemandangan yang menarik.

Perupa mengawali tugasnya dengan menafsir teks cerpen dan melahirkan teks baru yang berujud karya rupa. Banyak yang berhasil. Banyak yang runyam. Sebagian terkesan malas berpikir sehingga memilih ”mudik”, menjadi tak jauh beda dengan ilustrator di dalam pengertian yang lazim. Beberapa menciptakan karya rupa yang hebat, namun tak terkait dengan teks cerpen.

Sangat sedikit yang melampaui pesan simbolis cerpen. Ukuran ideal itu diterapkan oleh Jean Couteau dan Eddy Soetriyono ketika memilih karya Eko Nugroho sebagai ilustrasi terbaik 2009. Berbagai persoalan seperti ini sudah disinggung oleh beberapa pengkritik sepanjang perjalanan upaya ”merayakan ilustrasi” yang masih pendek ini, seperti Bambang Budjono, Kuss Indarto, Arif Bagus Prasetyo, dan Aminudin TH Siregar.

Tidak ada patokan yang diberikan tentang gaya, corak, kecenderungan, teknik, atau medium. Ojite Budi Suwarna, misalnya, membuat seni instalasi (dipamerkan tahun 2006). Padahal foto karyanya sebagai ilustrasi di lembaran koran terlihat seperti “baik-baik saja”. Pintor Sirait yang tenar dengan karya-karya luar ruangnya membuat karya video. Apa yang Anda harap kepada jagoan keramik Nurdian Ichsan atau pematung Awan Simatupang atau Rudi Mantofani yang banyak menggarap obyek rupa? Tebaklah apa yang dibuat oleh jagoan fotografi seperti Davy Linggar, Oscar Motuloh, dan Jerry Aurum.

Dingin dan bergelora

Keragaman yang luas menandai 51 ilustrasi cerpen Kompas tahun 2013, yang dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta 25 Juni-5 Juli 2014. Lihatlah, sejak cara membangun sosok dengan garis yang tertib seperti Dyah Anggraeni (cerpen ”Rumah Tuhan”) dan Herjoko (”Eyang”) sampai yang mengeksplorasi watak ekspresif seperti Ipong Purnama Sidhi (”Trilogi”), bahkan yang bergelora seperti Made Sumadiyasa (”Saia”). Belum lagi yang beraroma rekayasa fotografi, seperti karya Risa Tania Tejawati (”Nyonya Rumah Abu”) atau gubahan Sandi Jaya Saputra (”Sebatang Pohon di Loftus Road”), maupun rekaan M Bhundowi (”Bulan Biru”) yang menawan dan kaya dengan simbol.

Beberapa lebih mudah dikaitkan dengan cerpen. Sebutlah itu ciptaan Putu Wirantawan, I Putu Edy Asmara, Rahardi Handining, Jitet Koestono, dan Wara Anindyah—untuk menyebut beberapa nama saja.

Karya Putu Wirantawan memikat dan eye catching. Ia suka dengan permainan garis dan bidang yang tegas maupun perspektif yang rinci, rumit, dan berkesan dingin. Watak rasional dominan. Itulah natur dari keindahannya. Kali ini ia membentuk semacam kepundan gunung berapi yang siap meledak. Sejalan dengan semangat cerpen Indra Tranggono ”Menebang Pohon Silsilah” yang menggambarkan kemarahan yang memuncak.

Putu Edy Asmara menggubah citra air hujan mirip peluru tajam, memperkaya gaya Ahmad Muchlis Amrin yang realistik dalam ”Hujan Bulan Februari”. Stilisasi yang dilakukan oleh Rahardi Handining menambah nuansa tragik-komik yang dituturkan Gerson Poyk di dalam ”Pengacara Pikun”.

Jitet Koestono memainkan metafor sepatu tentara yang alasnya mirip labirin—menyisakan tanda tanya—untuk ”Aku, Pembunuh Munir” karangan Seno Gumira Ajidarma. Wara Anindyah memperkuat suasana muram yang habis-habisan digarap Triyanto Triwikromo untuk cerpennya ”Serigala di Kelas Almira”.

Masih ada puluhan karya lain yang tak kalah memikat, yang menunggu penonton di ruang pamer untuk aktif mengapresiasi.

Ada pendapat bahwa karya seni justru memulai kehidupannya ketika lepas dari tangan kreator dan hadir di depan masyarakat. Maka selain tampil dalam versi kopian dwimatra di koran, karya-karya rupa berdasar cerpen itu tetap penting dipamerkan di ruang publik, di dalam wujud senyata-nyatanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar