DISKUSI
FRI-KOMPAS
Terjebak
Perencanaan “Poco-Poco”
Luki
Aulia ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
10 Juni 2014
PADA era
pasar bebas, mau tidak mau kita harus mampu berkompetisi sekaligus
berkolaborasi dengan negara lain. Bekalnya, sumber daya manusia yang memiliki
kompetensi keahlian sesuai kebutuhan pasar. Untuk mendapatkan sumber daya
manusia berdaya saing tinggi, tak ada cara lain selain memperbaiki
pendidikan, khususnya perguruan tinggi.
Sayang,
perguruan tinggi kita masih lemah atau ”dilemahkan” sehingga gagal
menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan. Sebagian disebabkan
oleh kebijakan dan perencanaan pemerintah yang maju mundur seperti sedang
menari poco-poco.
Pada
awal tahun ini ada kabar menggembirakan dari Global Competitiveness Report
2013. Daya saing Indonesia naik 12 peringkat dari peringkat ke-50 dari 144
negara (2012-2013) menjadi peringkat ke-38 dari 148 negara (2013-2014).
Kenaikan 12 peringkat ini berkat kenaikan pada poin inovasi, pendidikan
tinggi, dan pelatihan. Pemerintah mengklaim ini berkat kebijakan yang fokus
pada inovasi dan pendidikan tinggi, terutama pembukaan akses seluas-luasnya
atau peningkatan angka partisipasi di perguruan tinggi.
Namun,
kalangan akademisi dan praktisi pendidikan menilai, peningkatan daya saing
itu tidak sesuai harapan karena masih banyak pekerjaan rumah yang mengganjal,
setidaknya di perguruan tinggi. Padahal, perguruan tinggi diharapkan menjadi
motor pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produksi dalam negeri. Motor
itu hanya bisa efektif jika perguruan tinggi dibekali ruang gerak luas untuk
berkembang. Selain itu, harus ada keberpihakan dan kebijakan yang
memungkinkan produk riset perguruan tinggi dimanfaatkan serta diproduksi
industri dan pebisnis.
Peran
penting perguruan tinggi di era globalisasi ini menjadi tema diskusi panel
Forum Rektor Indonesia (FRI) dan Kompas bertema ”Otonomi Kampus, Sinergi
Perguruan Tinggi dan Lembaga-lembaga Riset”, 19 Mei 2014.
Dalam diskusi
disepakati tiga tantangan yang sedang kita hadapi, yakni perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi yang pesat, globalisasi dan ekonomi bebas
ASEAN 2015, serta keterbatasan sumber daya alam. Melihat tantangan itu,
perguruan tinggi dituntut menghasilkan SDM berkualitas dan memiliki
kompetensi keahlian yang sesuai kebutuhan. Untuk itu, perguruan tinggi harus
menitikberatkan pada riset dan membekali mahasiswa dengan kompetensi yang
dibutuhkan di era globalisasi dan keterbukaan pasar. Perguruan tinggi harus
membantu Indonesia memenangi kompetisi global tidak hanya di negara lain,
tetapi juga di rumah sendiri, karena semua pasar sudah jadi pasar global.
Dalam
laporan Bank Dunia ”Putting Higher
Education to Work: Skills and Research for Growth in East Asia” tahun
2012 disebutkan, negara-negara Asia Timur berhasil menjadi kekuatan ekonomi
baru dunia karena mengoptimalkan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Negara-negara itu antara lain Tiongkok, India, Jepang, Korea Selatan, Taiwan,
dan Malaysia. Mereka mengoptimalkan pendidikan tinggi untuk menghasilkan
keahlian yang dibutuhkan pemberi kerja dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang digunakan industri nasional.
Indonesia
memiliki peluang besar, apalagi ketika saat ini roda perekonomian dunia
berada di Asia. Laporan itu juga menyebutkan, industri mencari SDM yang mampu
menyelesaikan masalah, terampil berkomunikasi, bagus dalam manajemen, dan
mengantongi keterampilan lain yang mendukung peningkatan produktivitas.
Perguruan tinggi dan lembaga penelitian memiliki kesempatan bekerja sama
mengembangkan dan menerapkan teknologi baru untuk mendorong pertumbuhan.
Tidak sinkron
Jika
kita ingin ikut sukses, harus ada perubahan mendasar, perubahan pola pikir
pembuat kebijakan dan masyarakat. Semua harus sepakat terlebih dahulu bahwa
sudah seharusnya perguruan tinggi bekerja sama dengan industri karena
perguruan tinggi memiliki mandat besar menopang pembangunan ekonomi berbasis
ilmu pengetahuan dan teknologi. Jangan sampai ada pemahaman perguruan tinggi
menjadi instrumen kapitalisme global dan tercerabut dari kebudayaan.
Indonesia
memiliki peluang menjadi ekonomi ketiga Asia dan ekonomi kelima dunia jika
dikelola pemerintahan yang efektif dan bersih dari korupsi. Posisi kita juga
tidak jelek-jelek amat karena berada di peringkat ke-10 dunia (Bank Dunia)
dengan produk domestik bruto (PDB) 2 triliun dollar AS. Sayang, pertumbuhan
ekonomi kita hanya berdasarkan konsumsi dan ekspor barang-barang mentah.
Melalui riset, kita bisa meningkatkan nilai tambah dari produk yang diekspor.
Karena
riset inilah kita tidak memiliki daya saing kuat. Riset di perguruan tinggi
dan lembaga riset belum sinkron dengan kebutuhan dan tumpang tindih sehingga
tidak efisien. Perlu ada rekonstruksi birokrasi riset di perguruan tinggi
supaya optimal meningkatkan daya saing bangsa.
Jika
dilihat dari anggaran belanja pemerintah untuk penelitian dan pengembangan
(litbang), jumlahnya pun masih rendah. Kondisi Indonesia saat ini stagnan
selama 10 tahun terakhir. Dalam catatan studi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, investasi belanja untuk litbang hanya 0,08 persen dari PDB.
Bahkan, jumlahnya hanya 0,07 persen (Rp 5,5 triliun) pada tahun 2012 dan Rp
5,1 triliun tahun 2013. Belanja litbang di perguruan tinggi Rp 1,7 triliun,
yang mayoritas sumber dananya berasal dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemdikbud) 70 persen, pemerintah non-Kemdikbud (16,5 persen),
lembaga nirlaba (5,1 persen), swasta/industri (4 persen), sumber dana lain
(3,8 persen), dan lembaga multilateral (0,52 persen).
Masalah
mendasar adalah peran perguruan tinggi yang belum optimal karena ada kendala,
yakni kurang mampu menciptakan kompetensi keahlian untuk melakukan riset
nasional. Kita belum bisa melakukan itu dengan baik karena kebijakan selama ini
baru terfokus pada membangun kapasitas institusional perguruan tinggi, belum
mengubah lingkungan sistem pendidikan tingginya. Namun, perguruan tinggi juga
tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena produk riset perguruan tinggi tidak
dapat digunakan. Perguruan tinggi tidak mungkin memproduksi hasil risetnya
tanpa didukung industri dan pebisnis. Negara tidak memberi ruangan cukup agar
hasil riset perguruan tinggi bisa diproduksi dan digunakan pasar.
Jika
dilihat dari jumlah tenaga ahli atau tenaga insinyur yang ada saat ini pun,
itu jelas tidak bisa mengangkat posisi Indonesia. Khusus untuk peneliti saja,
idealnya untuk negara sebesar Indonesia dibutuhkan setidaknya 200.000
peneliti. Jumlah yang ada saat ini jauh dari angka itu. Tenaga litbang di
sektor industri manufaktur saja hanya 7.298 orang. SDM litbang terbesar
berada di sektor pemerintah (27.261 orang), universitas (24.867 orang), dan
industri (10.867 orang). Komposisi terbesar SDM peneliti ada di universitas
(54 persen).
Pendidikan vokasi
Mengapa
bisa demikian? Penyebabnya, ada ketidakcocokan antara kebutuhan dan
ketersediaan. Perguruan tinggi lebih banyak menghasilkan akademisi (87,5
persen) dan hanya 12,5 persen lulusan pendidikan vokasi yang justru lebih
siap pakai. Padahal, kebutuhan akademisi paling hanya 25 persen. Sayang,
pendidikan vokasi, mulai dari D-1 hingga master dan doktor terapan, selama
ini dinomorduakan. Untuk itulah, pemerintah membuat akademi komunitas di
wilayah-wilayah ekonomi terpenting sejak 2012. Tujuannya, mengubah wajah angkatan
kerja Indonesia yang mayoritas lulusan SD ke bawah (55 persen), SMA (46
persen), dan perguruan tinggi (10 persen).
Saat ini, pemerintah juga sudah memetakan SDM melalui perencanaan SDM
mengikuti prioritas pembangunan yang akan dilakukan. Kemdikbud diminta
menghitung kebutuhan SDM dan dengan kompetensi apa. Hal itu karena tidak
pernah ada perencanaan jumlah SDM yang dibutuhkan, dengan kompetensi apa, dan
untuk bidang apa. Akibatnya, SDM yang direkrut tidak sesuai kebutuhan.
Harapannya, dengan SDM yang cocok dan hasil riset perguruan tinggi yang
sesuai kebutuhan, daya saing kita akan sama kuatnya dengan raksasa Asia lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar