Setelah
Satuan Tugas Dipangkas
Adnan
Pandu Praja ; Pemimpin KPK
|
KOMPAS,
03 Juni 2014
PUTUSAN
Mahkamah Konstitusi yang telah mengabulkan permohonan pengujian kewenangan
Badan Anggaran DPR dalam membahas anggaran hingga sampai satuan tiga patut
disambut gembira. Putusan itu harus diimbangi dengan pembenahan tata kelola
anggaran di setiap kementerian dan lembaga, baik di pusat maupun di daerah.
Dalam
rapat koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan pengurus Asosiasi
Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan Asosiasi Pemerintah Kota
Seluruh Indonesia (Apeksi), beberapa waktu lalu, bupati dan wali kota
mengeluhkan bahwa penanganan korupsi oleh KPK terlalu berlebihan. Kinerja
pemerintahan kabupaten kota menurun drastis. Anggaran yang terserap maksimal
40 persen. Mereka takut mengambil kebijakan dan merasa gamang. KPK disarankan
agar menurunkan kinerja penindakan dan lebih mendahulukan pencegahan.
Rapat
koordinasi itu sangat berarti untuk menjelaskan kepada bupati dan wali kota
perihal mandat yang diberikan UU kepada KPK untuk memberantas korupsi.
Menurunkan kinerja pemberantasan korupsi sama artinya dengan mengabaikan
mandat alias melanggar UU. Menurut teori kurva V, tindakan tegas
pemberantasan korupsi selalu berakibat penurunan kinerja di mana pun di
dunia. Peningkatan kinerja akan segera terjadi jika persoalannya adalah
keterbatasan pengetahuan soal proses tender pengadaan barang dan jasa.
Sebaliknya kinerja tak akan meningkat jika dilatari kepentingan yang bersifat
transaksional. Penurunan kinerja di lingkungan pemerintahan kabupaten/kota
lebih disebabkan alasan kepentingan semata. Tentu tak ada toleransi dengan
alasan apa pun.
Integritas pengelola
Persoalan
utama korupsi anggaran adalah integritas pengelolanya. Tes integritas
seharusnya syarat mutlak menduduki jabatan strategis selaku kuasa pengguna
anggaran (KPA) yang tak jarang dijabat kroni kepala kementerian, lembaga,
ataupun kepala daerah selaku pengguna anggaran.
Tes
integritas adalah kunci sukses KPK sejak didirikan yang juga merupakan
prosedur baku di Amerika Serikat. Apabila para pengelola anggaran memiliki
integritas prima dan dipercaya, ia dengan sendirinya dapat menutupi kelemahan
aturan bahkan menolak intervensi pihak mana pun yang akan mengambil manfaat
dari kelemahan aturan. Kata prima menjadi penting karena jujur saja tak cukup
untuk berani melawan intervensi. Sayangnya, integritas tak jadi perhatian
utama pemerintahan saat ini, baik di pusat maupun daerah.
Kompetensi
KPA sangat penting ditingkatkan. Ia motor pengelolaan anggaran sejak tahap
perencanaan sampai ketika anggaran digunakan. Mereka sangat paham potensi
komisi yang bisa dimainkan untuk mendanai segala kebutuhan bosnya. Berbagai
kasus korupsi yang ditangani KPK membuktikan rendahnya kualitas tata kelola
anggaran selama ini. Sudah saatnya membikin standardisasi kompetensi berupa
sertifikasi KPA. Ini lazim dilakukan di Kanada. Sertifikasi yang telah ada
pada pejabat pembuat komitmen tak cukup membentengi korupsi anggaran.
Kebutuhan
mendesak membuat standar kompetensi dengan pola sertifikasi juga diperlukan
untuk para inspektorat di setiap kementerian dan lembaga. Perannya selaku
penjamin kualitas dan konsultan membutuhkan kompetensi yang sangat baik,
apalagi diharapkan bisa jadi agen perubahan. Sayangnya, harapan itu jauh
panggang dari api.
Dari 400
kasus korupsi yang berhasil ditangani KPK selama 10 tahun, laporan dari
inspektorat seluruh Indonesia hanya 20 kasus. Ketiadaan integritas prima juga
jadi penyebab lemahnya kinerja inspektorat selama ini. Temuan inspektorat tak
jarang berdampak negatif bagi kinerja atasannya: para kepala kementerian dan
lembaga, baik di pusat maupun daerah.
Penguatan
kinerja inspektorat sangat penting karena rasanya sulit mengharapkan peran
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberantas korupsi. Selama 10 tahun
beroperasi, KPK hanya menangani 10 persen perkara korupsi yang berasal dari
BPK. Ada beberapa alasan. Pertama, BPK hanya mencari potensi kerugian negara
saja. BPK tak berusaha mendalami latar terjadinya fraud agar kesalahan yang
sama tak terulang kembali. Hasil peer review BPK Polandia (2014) tidak
dijadikan pembelajaran oleh BPK sehingga jadi temuan berulang (baru saja
dirilis).
Kedua,
pola penyelesaian tuntutan ganti rugi yang dimungkinkan UU dengan cara bayar
lunas temuan kerugian negara jadi solusi jangka pendek menutup temuan yang
sesungguhnya masuk kategori tindak pidana korupsi. Seyogianya secara paralel
tetap harus dilaporkan kepada aparat penegak hukum. Ketiga, tata kelola
penanganan pengaduan masyarakat yang tidak transparan. Keempat, oknum anggota
BPK tak bisa menjaga jarak dengan politikus.
Hasil
studi IMF mengungkap bahwa tingkat korupsi akan semakin kecil dengan semakin
terbukanya tata kelola anggaran. Sejalan dengan itu, open government partnership yang belakangan gencar dipromosikan
pemerintahan SBY seyogianya tetap dipertahankan oleh pemerintahan mendatang.
Lihat kisah sukses pertanggungjawaban transparan Wali Kota Surabaya berupa e-government agar masyarakat dapat
memantau dan turut berpartisipasi dalam tata kelola anggaran sejak
direncanakan sampai ketika digunakan.
Putusan MK yang telah membatasi intervensi anggaran oleh DPR harus
diimbangi dengan kebijakan anggaran yang transparan dengan mutu pengelola
anggaran yang memadai agar persoalan tata kelola anggaran tak lepas dari
mulut buaya lalu pindah ke mulut harimau. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar