Sepak
Bola Menyerang di Bawah Terik Brasil
Budiarto
Shambazy ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS,
19 Juni 2014
SAAT
jeda final Piala Dunia 1990 di Stadion Olimpiade, Roma, Italia, kolumnis
Kompas, Ronny Pattinasarani, iseng bertanya kemungkinan skor akhir. Kami
kurang bergairah menyaksikan babak pertama final Jerman Barat-Argentina yang
masih 0-0 dan saya asal jawab, ”Paling wasit ngasih penalti untuk Jerman
Barat.”
Kebetulan
itu yang terjadi. Andreas Brehme mencetak satu-satunya gol lewat titik putih.
Jerman Barat merampas gelar juara dari Argentina. Aura Piala Dunia 1990
negatif sejak awal. Baru di partai perdana, dua pemain Kamerun diusir wasit.
Total 16 kartu merah dikeluarkan sang pengadil. Pecah rekor jumlah gol
terendah dalam sejarah—2,21 gol per partai. Satu partai perdelapan final,
satu perempat final, dan dua semifinal diselesaikan lewat adu penalti. Rekor
negatif lain, pertama kalinya pemain diusir wasit di final, yakni Pedro
Monzon (Argentina).
Satu-satunya
gol tercetak di menit ke-84 ketika wasit Edgardo Codesal (Meksiko) menunjuk
titik putih setelah Rudi Voeller ”dijatuhkan” Roberto Sensini di kotak
penalti. Brehme mengakui Voeller diving.
Tak lama
kemudian giliran Gustavo Dezotti diusir wasit menyusul Monzon. Satu lagi
rekor negatif pecah: Argentina negara pertama yang gagal mencetak gol di
final. Dan, Diego Maradona yang berurai air mata menolak uluran jabat tangan
Presiden FIFA Joao Havelange dalam upacara pemberian medali karena merasa
”dikerjai” tuan rumah dan FIFA, seolah ada persekongkolan ”asal bukan
Argentina” yang juara.
Ada
kesepakatan pada pimpinan FIFA, terutama seperti dilaporkan Laporan Teknis
Piala Dunia 1990 FIFA, kualitas Piala Dunia 1990 menurun drastis. Tim-tim
bermain lebih defensif karena khawatir kalah atau minimal menargetkan hasil
seri untuk melangkah ke babak-babak selanjutnya. Ada pula kecenderungan tim
gemar buang waktu dengan back-pass mengamankan skor, terutama di menit-menit
terakhir.
Untuk
mencegah terulangnya debacle 1990, FIFA memutar otak. Sejak 1992, FIFA
mengubah drastis beberapa aturan yang menghambat sepak bola menyerang.
Pertama, melarang back-pass. Kedua, mengganjar 3 poin (dari sebelumnya 2)
untuk tim pemenang pertandingan dan 1 (dari sebelumnya 2) untuk tim yang
bermain seri. Lebih dari itu, FIFA menyiapkan Piala Dunia 1994 di Amerika
Serikat yang diharapkan lebih jadi hiburan global dengan bantuan kecanggihan
manajemen ala negeri adi daya.
Adalah
Alan Rothenberg, pengacara dan aktivis olahraga, yang berhasil menyulap
kompetisi sepak bola di AS lebih populer, yang memimpin penyelenggaraan Piala
Dunia 1994. ”Pesta gol” yang diharapkan cukup berhasil karena jumlah gol per
partai naik ke angka 2,71. Tercatat pula rekor baru jumlah penonton:
rata-rata 69.000 penonton per pertandingan. Hebatnya, kedua rekor itu belum
terpecahkan sampai kini.
Sayang,
sukses 1994 gagal terulang pada Piala Dunia Perancis 1998, Korsel-Jepang
2002, Jerman 2006, dan Afrika Selatan 2010. Padahal, sejak 1998, jumlah
peserta ditambah dari 24 menjadi 32 negara dan jumlah pertandingan juga
ditambah dari 52 ke 64 partai untuk membuat Piala Dunia lebih semarak. Di
Perancis, jumlah gol yang tercipta mencapai 171 gol, tetapi hanya 2,67 gol
per partai. Di Korsel-Jepang tercipta 161 gol (2,52 per partai), di Jerman
147 gol (2,3 per partai), dan di Afsel 145 gol (2,27 per partai).
Nah,
dalam 16 partai putaran pertama penyisihan grup Piala Dunia 2014 yang
melibatkan 32 peserta, telah tercipta 49 gol. Pecah sudah rekor jumlah gol
putaran pertama sejak 1998 (37 gol), 2002 (46), 2006 (41), dan 2010 (25).
Masih ada 32 partai babak penyisihan grup, 8 partai 16 besar, 4 perempat
final, 2 semifinal, 1 final, dan 1 perebutan juara ketiga. Kita lihat saja
apakah jumlah gol per partai akan menembus angka 3.
Piala Konfederasi 2013
Jika
merujuk pada Laporan Teknis Piala Konfederasi 2013 FIFA, tim-tim pada Piala
Dunia 2014 memang diramalkan akan bermain lebih menyerang. Salah satu
indikatornya, pada Piala Konfederasi 2013, yang juga berlangsung di Brasil,
tercipta 4,25 gol per pertandingan. Total 68 gol tercetak dalam 16 partai.
Memang
turnamen ini lemah sebagai referensi karena salah satu pesertanya, Haiti,
digunduli Spanyol 0-10 dan Uruguay 0-8. Tim lainnya adalah Brasil yang
akhirnya juara dengan mengalahkan Spanyol 3-0 di final, Italia, Meksiko,
Jepang, Uruguay, dan Nigeria. Namun, selama sekitar 35 tahun terakhir semua
tim memeluk ideologi sepak bola menyerang jika ingin berbicara banyak di
tingkat dunia.
Di era
1970-an sampai 1980-an, sistem gerendel Italia atau sepak bola negatif ala
Uruguay masih punya kiprah. Setelah jadi juara pada 1982, Italia ogah memakai
sistem gerendel dan pemain genius Uruguay, Enzo Francescoli, menyesal menjadi
sutradara gagal yang melakoni sepak bola negatif yang ditinggalkan sejak
1990.
Terbukti
pula cuaca Brasil di Piala Konfederasi 2013 tergolong terik sehingga pemain
cenderung mengendurkan tekanan terhadap pemain lawan. Selain itu, tim-tim
yang menang terbukti lebih sering membuat si kulit bundar yang ”jalan”, bukan
pemain yang ”lari”. Itu sebabnya, permainan possession football bukan lagi
menjadi opsi yang menarik.
Data
Piala Konfederasi 2013 juga menunjukkan, sepertiga dari 68 gol yang tercetak
merupakan hasil set-piece yang dirancang saat latihan. Dan, 25 persen gol
tercipta dalam 15 menit terakhir, sekali lagi bukti betapa cuaca di Brasil
cukup menyiksa sehingga pemain kehilangan konsentrasi di saat akhir. Bukti
lain, pemain belakang berperan besar membangun serangan.
Lebih
penting lagi yang disimak dari data kuantitatif adalah kualitas tim peserta
Piala Dunia kali ini. Empat favorit yang sering disebut-sebut bakal jadi
juara adalah Brasil, Argentina, juara bertahan Spanyol, dan Jerman. Kalaupun
ada tim ”kuda hitam”, yang sering disebut cuma Belgia.
Dari
keempat tim itu, dunia terenyak menyaksikan berakhirnya era tiki-taka.
Sebetulnya ini tak mengejutkan karena sebagian pemain ”La Furia Roja” mulai
menua dan tiki-taka bukan teka-teki lagi. Gaya ini sangat fenomenal membawa
Spanyol menjadi juara Eropa 2008 dan 2012 serta juara dunia 2010. Namun,
tiki-taka kini dianggap tak lebih dari sekadar ”saling oper bola sesering
mungkin tanpa tujuan”.
Adalah
Belanda yang menghancurkan Spanyol. Namun, ”the Flying Dutchmen” sering galak
di babak penyisihan grup lalu melempem di 16 besar. Lionel Messi masih perlu
pembuktian ia mampu mengangkat tim ”Tango” seperti Maradona, hal yang
tampaknya agak muskil ia lakukan. Tim ”Panser” tak pernah absen disebut
sebagai calon juara yang meyakinkan, tetapi sudah 24 tahun gagal jadi juara.
Mungkin itulah keuntungan tim ”Samba” yang main di depan publik sendiri
dengan penampilan galau karena sudah lama gagal memainkan sepak bola indah
tanpa playmaker yang inspiratif dan ujung tombak yang produktif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar