Rakyat
Jelata
Idrus
F Shahab ; Wartawan Tempo
|
TEMPO.CO,
04 Juni 2014
Sebuah
gelas beling di atas piring kecil.
Seseorang telah menuangkan kopi ke dalamnya. Dan manakala gelas terisi
separuh, seorang lelaki setengah tua terbatuk-batuk. Ia tersedak, tapi
kemudian menitipkan pesan kepada seorang kawannya di kota: kalau ada yang ke
kota esok pagi, tolong sampaikan salam rindunya. Desa kecil ini, demikian si
lelaki melanjutkan, siap menyambutnya dengan batang-batang padi yang
terkembang, dan roda-roda giling yang berputar-putar, siang-malam.
Ia Leo
Kristi. Ada batuk dan gelas kopi yang perlahan menggiring panorama padesan
dalam Salam dari Desa. Leo Kristi terus menyanyi. Tambur di belakangnya dan
gitar di tangannya mengisi irama pada setiap jengkal musik yang mengalir
dalam ketukan dua perempat itu.
Dan
ketika block flute mengalunkan
potongan-potongan melodi, panorama desa, panorama yang amat dikenalnya,
semakin jelas tergambar. Desa kecil yang tengah menyambut panen raya, ritual
yang paling ditunggu-tunggu tiap-tiap tahun. Musik riang, dan semua
berlangsung seperti waktuwaktu sebelumnya. Kecuali pada setiap akhir bait,
suaranya yang berat membawakan ironi: sawah-sawah itu bukan lagi milik
mereka.
Leo
tidak menunjuk penyebabnya, tidak menawarkan solusi. Ia tidak menyerukan
perlawanan, tidak menuntut land reform— yang memang tak kunjung menjadi kenyataan
di republik ini. Ia hanya menyodorkan sebuah potret kenyataan kepada lawan
bicaranya, seperti seorang pedagang kaki lima meletakkan barang dagangannya
di atas alas koran.
Indonesia,
di mata Leo, bukan negeri yang gampang menyerah. Dalam Sayur Asam Kacang
Panjang, ia berkisah tentang seorang nelayan yang bergulat mencari ikan di
tengah laut. Hidup memang berat, harapan-harapan harus disederhanakan, dan
nelayan yang berjuang itu seakan berbisik kepadanya: setumpuk ikan di perahu
sudah cukup untuk mengusir segenap kecemasan di hatinya. Ia akan pulang ke
darat dan memperpanjang hidupnya sekeluarga sehari lagi. Adanya setumpuk ikan
di perahu berarti banyak: selalu ada cahaya harapan di ujung perjuangan ini.
Sayur Asam Kacang Panjang musik
yang sederhana. Nadanadanya pentatonis, mengandung repetisi layaknya mantra.
Tak
seperti kandidat pemilihan presiden 2014 yang di atas podium dan di hadapan
kamera televisi senantiasa menjanjikan perubahan dan keberpihakannya kepada
rakyat; dalam musikmusiknya Leo Kristi melupakan slogan dan tangan-tangan
yang terkepal. Cukup memperlihatkan keakrabannya dengan kebersahajaan,
kemiskinan, kenaifan, dan kesederhanaan, baladeer ini sudah menunjukkan
keberpihakannya kepada rakyat jelata.
Seorang
calon pemimpin memang diharapkan dapat menangkap aspirasi dan memenuhi
angan-angan para pemilih. Ya, mula-mula kedua kandidat menampilkan dirinya
sebagai antitesis dari pemimpin lama yang dinilai peragu dan tidak teguh
pendirian. Kemudian, sesuai dengan angan-angan para pemilih, kita menyaksikan
dua kandidat presiden 2014-2019 bergantian menegaskan visinya tentang
Indonesia yang hebat dan disegani kawan-lawan, serta bagaimana "hijrah" ke kondisi ideal
tersebut.
Mereka berbicara dalam skala makro. Padahal, ketika membahas seorang
petani yang kehilangan sawah, atau nelayan pulang ke darat dengan setumpuk
ikan, kita menggunakan skala mikro—seperti yang disampaikan Leo dalam
lagunya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar