Presiden
Baru dan Tantangan Ekonomi
Prisana
Herdianto ; Pemerhati
Masalah Politik dan Ekonomi,
Tinggal
di Semarang, Jawa Tengah
|
HALUAN,
18 Juni 2014
Siapapun
yang menjadi Presiden sebagai output Pilpres 2014, pasti langsung berhadapan
dengan “lawan berat” di masa-masa awal kepemimpinannya yaitu permasalahan
ekonomi yang sudah membludak atau over dosis. Mengatasi permasalahan ekonomi
yang berat ini, tidak mungkin dapat dilakukan oleh siapapun yang terpilih
sebagai presiden dalam waktu 100 hari pertama, bahkan sampai 5 tahun
kepemimpinannya, terutama jika roda pemerintahan “selalu diganggu” oleh
pihak-pihak yang kalah dalam Pilpres dan tidak mau menerima kekalahannya.
Tantangan
pertama, adalah mengurangi defisit neraca perdagangan yang sampai April 2014
mencapai US$200 juta atau sekitar Rp2,2 triliun. Defisit terjadi di antaranya
akibat menurunnya harga komoditas minyak sawit mentah dan batu bara. Angka
defisit juga disumbang oleh peningkatan konsumsi masyarakat menghadapi
liburan sekolah dan Ramadhan. Defisit neraca perdagangan juga disebabkan
harga sawit dan batu bara yang belum stabil, pertumbuhan ekonomi AS dan China
juga belum membaik.
Sementara
itu, Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo memperkirakan, neraca
transaksi berjalan pada kuartal II 2014 akan mengalami defisit sekitar US$8
miliar, atau 2 kali lipat lebih besar dibandingkan kuartal sebelumnya. Hal
tersebut dikarenakan neraca perdagangan masih dibayangi potensi impor minyak
yang akan meningkat pada pertengahan 2014 untuk memenuhi kebutuhan konsumen
yang meningkat menjelang Lebaran.
Berbagai
kalangan lainnya menilai, potensi pelebaran defisit transaksi berjalan kuartal
II 2014 dipicu oleh memburuknya kinerja komoditas CPO dan batu bara yang
tidak diimbangi dengan pembatasan impor barang konsumsi. Disamping itu,
pelebaran defisit transaksi berjalan tidak dapat dicegah akibat kecenderungan
perusahaan mengimpor bahan baku stok guna mengantisipasi peningkatan produksi
pada bulan puasa. Head of Asian
Development Bank Office of Regional Economic Integration, Iwan J Aziz
mengatakan, defisit neraca transaksi berjalan akan memengaruhi penerbitan
obligasi korporasi. Hal tersebut seiring dengan prediksi pelebaran defisit
transaksi berjalan sehingga membuat investor ragu untuk berinvestasi di
Indonesia dan mempengaruhi penerbitan obligasi korporasi.
Tantangan
kedua adalah terkait dengan inflasi. Beberapa pihak memperkirakan, angka
inflasi di Indonesia akan tetap tinggi yang diperkirakan didorong dengan
mulai berlakunya kenaikan tarif tenaga listrik sebesar 15% pada awal Juli
2014 dan diperkirakan akan berdampak terhadap beban biaya produksi di
industri makanan olahan. Kenaikan inflasi disebabkan kenaikan harga bahan bakar
dan faktor musiman bulan Ramadhan, serta pelaksanaan Pilpres 2014.
Tantangan
ketiga adalah pelemahan nilai tukar rupiah didorong dengan kondisi makroekonomi
yang tidak kondusif serta potensi penguatan dolar AS. Selain itu, juga akibat
semakin melebarnya defisit neraca perdagangan dan defisit neraca transaksi
berjalan. Sebelumnya, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara
mengungkapkan, pelemahan rupiah disebabkan oleh minimnya volume transaksi
harian valas pasar uang antarbank, sehingga rupiah rawan terkoreksi oleh
berbagai isu yang berkembang, seperti isu pilpres dan APBN. Pendapat lainnya
menyatakan, pelemahan rupiah lebih disebabkan oleh isu dalam negeri, seperti
tingginya kebutuhan dolar AS menjelang akhir bulan sehingga dolar AS cenderung
menguat dan rupiah melemah.
Pada
dasarnya, meningkatnya defisit neraca perdagangan dan neraca transaksi
berjalan mengakibatkan rupiah melemah. Hal tersebut dikarenakan defisit
neraca transaksi berjalan mengindikasikan bahwa, lebih banyak dolar AS yang
keluar dibandingkan yang masuk ke Indonesia sehingga rupiah semakin tertekan.
Pelemahan rupiah didorong dengan kondisi makroekonomi yang tidak kondusif
serta potensi penguatan dolar AS.
Tantangan
keempat adalah terjadinya peningkatan pertumbuhan utang luar negeri perbankan
seiring perlambatan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK). Berdasarkan
informasi yang masuk ke Bank Indonesia (BI), terjadi peningkatan jumlah
permohonan utang ke BI hingga US$6 miliar. Hal tersebut disebabkan perebutan
DPK semakin sengit terkait rasio pembiayaan terhadap pendanaan (loan to deposit ratio/LDR) yang
mencapai 91,17% dan giro wajib minimum yang mencapai 8%. Peningkatan pinjaman
utang luar negeri dalam bentuk valas oleh sektor perbankan dilakukan guna
mengantisipasi lambatnya pertumbuhan DPK. Lambatnya pertumbuhan DPK menyebabkan
sektor perbankan meningkatkan pinjaman dari bank luar negeri.
Tantangan
kelima, kemungkinan melesetnya target pajak selama tahun 2014. Kemungkinan
tidak tercapainya target pajak 2014 menunjukkan ketidakefektifan strategi
atau road map Ditjen Pajak dalam
mengamankan penerimaan pajak. Hal tersebut dikarenakan revisi pertumbuhan
ekonomi tidak serta merta menyebabkan target penerimaan pajak sulit
direalisasikan sehingga tertekan oleh gejolak ekonomi yang terjadi saat ini.
Seharusnya Ditjen Pajak memiliki target jangka menengah dan jangka panjang
guna mengantisipasi hal tersebut. Kalangan pengamat juga menilai buruknya
kinerja Ditjen Pajak diakibatkan penurunan tingkat kepatuhan WP akan
menurunkan penerimaan negara dari pajak sehingga berpotensi menyebabkan
target pajak pada 2014 tidak akan mencapai target.Sebelumnya, Dirjen Pajak,
Fuad Rahmany memprediksi bawa realisasi penerimaan target pajak 2014 tidak
akan tercapai, walaupun penerimaan pajak dalam RAPBN Perubahan 2014 diturunkan
menjadi Rp979,09 triliun. Hal tersebut disebabkan oleh melesetnya target
pertumbuhan ekonomi sehingga Ditjen Pajak mengalami kesulitan mengejar target
penerimaan pajak.
Mencari Solusinya
Untuk
dapat mengatasi beragam permasalahan dan tantangan di bidang ekonomi seperti
yang diuraikan sebelumnya, maka prasyarat pertama adalah pasca Pilpres 2014
harus tetap ada konsolidasi atau rujuk nasional dalam rangka meredam
ekses-ekses negatif ataupun political upset yang masih tersisa. Karena
kestabilan politik dan keamanan di dalam negeri akan mendapatkan landasan
bagi presiden ke-7 Indonesia untuk dapat melangkah menjalankan visi dan
misinya dan janji-janji yang sudah diobral disana-sini kepada masyarakat dan
dicatat oleh malaikat.
Sejatinya,
masalah mendasar yang dialami perekonomian nasional sebenarnya dipicu oleh
rendahnya mutu SDM, kurang kompetitifnya atau kurang bersaingnya produk yang
diproduksi, sikap hidup masyarakat yang glamour serta kurang pandai hidup
berhemat terutama menjelang hari-hari besar keagamaan dan liburan, serta roda
perekonomian disektor riil yang sebenarnya masih tersendat-sendat, termasuk
ditambah masalah akut yaitu pengangguran yang tidak terserap lapangan kerja.
Oleh
karena itu, cara atau solusi yang dapat diterapkan adalah secara serius
memberikan reward and punishment,
reward diberikan kepada mereka yang mampu memperbaiki perekonomian nasional
dan daya saing nasional melalui insentif pajak, pemberian bantuan perbankan
yang dipermudah serta pembukaan akses yang cepat di kalangan pembuat public policy tanpa dihalangi suap
atau praktik gelap perekonomian lainnya, sementara itu punishment diberikan kepada mereka yang mengemplang pajak, menyalahgunakan
restitusi pajak untuk kepentingan politik praktis atau kepentingan lainnya,
termasuk menghukum para koruptor (bahkan sampai penerapan hukuman mati) dan
memberikan kemudahan perizinan serta “pemaksaan” terhadap perbankan nasional
untuk berani menyalurkan kredit ke “bidang
usaha yang sebelumnya dipandang tidak menguntungkan”, termasuk mengoreksi
atau mengevaluasi keberadaan perbankan asing apakah bermanfaat untuk
percepatan pertumbuhan ekonomi atau malah merugikan ekonomi nasional. Untuk
itu, kita sangat memerlukan presiden yang tegas, mengerti masalah ekonomi dan
mendapatkan dukungan politik yang meluas dari rakyatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar