Pemimpin
Berintegritas Vs Tegas
Salman
Habeahan ; Pengawas
Pendidikan;
Dosen dan
Sekretaris Dewan Penyantun Unika St Thomas Medan
|
KOMPAS,
17 Juni 2014
PEMILU
Presiden 9 Juli merupakan agenda penting dan sangat menentukan masa depan
bangsa Indonesia. Masyarakat mendambakan sosok pemimpin yang mampu membawa
bangsa ini keluar dari berbagai persoalan kebangsaan serta mewujudkan
cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia, yaitu adil, makmur, damai, dan
sejahtera. Untuk menjawab harapan tersebut, dalam pilpres nanti, kita
ditawari dua model kepemimpinan yang dipersepsikan publik: pemimpin berintegritas versus pemimpin
tegas.
Kepemimpinan
politik yang berintegritas dan merakyat serta kepemimpinan yang kuat dan
tegas menjadi harapan untuk perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tak perlu dipertentangkan
Setelah
16 tahun reformasi ternyata belum membawa perubahan secara substansial dalam
sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Rakyat belum berdaulat secara
politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara ideologi.
Korupsi pun semakin menggurita di lembaga-lembaga publik, kemiskinan tak
pernah habis, dan harga-harga terus naik.
Di
tengah kompleksnya persoalan bangsa, kepemimpinan politik yang dibutuhkan
adalah pemimpin bangsa yang berintegritas, memiliki visi, berkomitmen, dan
hadir ketika dibutuhkan rakyat. Kita butuh pemimpin yang mampu
menyelenggarakan kekuasaan secara beradab; berkeadilan; bersih dan bebas dari
korupsi, kolusi, dan nepotisme; serta mampu membawa perubahan bagi masyarakat
dan bangsa. Jiwa dan semangat itu dipersepsikan oleh sebagian masyarakat dan
media ada dalam diri Joko Widodo.
Profesor
Terry, ahli kepemimpinan, mengatakan, seorang pemimpin berintegritas adalah
pemimpin yang memiliki keutamaan yang merupakan modal penting dalam
pengambilan keputusan yang berpihak kepada rakyat. Adapun pemimpin yang tidak
memiliki keutamaan akan mudah terombang-ambing dalam situasi dan persepsi
publik. Keputusan yang diambil sering kali mencari harmoni dan menyenangkan
hati banyak orang.
Dalam
diri pemimpin berintegritas terkandung keberanian dan ketegasan yang sering
kali dilakukan secara silent. Maka, pemimpin berintegritas versus pemimpin
tegas tidak perlu dipertentangkan jadi persepsi psikologis masyarakat. Sebab,
dalam diri pemimpin berintegritas ada ketegasan dalam pengambilan keputusan
yang berkeadilan.
Pemimpin
yang berintegritas dalam diskursus kepemimpinan diyakini akan lebih mudah
membangun kepemimpinan yang demokratis. Fungsi kepemimpinan akan tampak dalam
usaha menyelaraskan berbagai kepentingan, kebutuhan, serta aspirasi
masyarakat; bukan sekadar menyenangkan hati rakyat, apalagi transaksional,
dan tetap sarat nilai.
Fungsi
kepemimpinan demikian, lewat keterlibatan di tengah rakyat, mengerti
kesulitan rakyat, hadir dan peduli, serta akan melahirkan gagasan-gagasan
besar untuk dilakukan agar mampu membawa perubahan. Tipe pemimpin demikian
tak akan mudah dikooptasi oleh partai dan kelompoknya karena ia lebih
mengedepankan kepentingan bangsa: rakyat yang ia pimpin.
Sementara
itu, pemimpin yang tegas dipersepsikan ada pada Prabowo Subianto. Dalam
berbagai pidatonya, khususnya pada acara pemantapan tim kampanye
Prabowo-Hatta, 27 Mei 2014, ia menunjukkan sikap yang tegas dan percaya diri.
Menghadapi berbagai persoalan penting yang dihadapi Indonesia ke depan,
Prabowo dengan lugas mengatakan, ”Kita harus kuat dan tegas dalam menghadapi
ancaman.”
Kepemimpinan
yang kuat secara historis merupakan salah satu kunci yang membawa
negara-negara besar seperti Tiongkok dan Amerika Serikat, bahkan Indonesia
pada masa Bung Karno. Profesor Yao Yang mengatakan, Tiongkok bisa sampai
dalam taraf sekarang karena mempunyai kepemimpinan yang kuat dan solid.
Menurut dia, masalah terbesar negara-negara yang mengklaim sangat demokratis
ialah tak ada kepemimpinan yang kuat (Kompas, 23 Juni 2013).
Pemimpin
tegas dapat menjadi kuat jika mendapat dukungan rakyat. Kekuasaan yang
diperoleh seorang pemimpin secara legitim dapat diperoleh melalui pemilu
(presiden). Pemimpin yang kuat bukanlah sebuah persepsi dan pencitraan,
melainkan harus lahir dari semangat cinta yang membara terhadap rakyat,
kesadaran diri akan tanggung jawab dan komitmen pemimpin, serta heroisme
pemimpin yang membara untuk memajukan kehidupan bangsa dan mewujudkan
perdamaian dunia.
Hal itu
akan tampak dalam diri pemimpin yang responsif mengatasi persoalan bangsa.
Pemimpin yang responsif bekerja kreatif menciptakan pemecahan masalah yang
riil dihadapi rakyat dan mampu bersinergi dengan seluruh komponen bangsa
dengan prinsip demokrasi, seperti keterbukaan, akuntabilitas, dan
mengusahakan cara-cara damai mengatasi konflik kepentingan. Pemimpin tegas
dan kuat jadi efektif jika integritasnya tinggi agar tidak menjadi otoriter.
Dalam
berbagai media dan pidato politik, Prabowo menawarkan alternatif kepemimpinan
kolektif kolegial lintas partai, lintas suku, dan lintas agama (Kompas, 31 Desember 2012). Maka, untuk
memenangi pilpres pada 9 Juli, Prabowo melalui Partai Gerindra membentuk
payung besar koalisi merah putih dengan memikirkan adanya menteri utama yang
mengurusi pembangunan ekonomi. Gagasan ini baik dan sangat ideal, tetapi
butuh landasan konstitusional agar tak terkesan ”utopis” dan sekadar
transaksional.
Pemimpin sejati
Donald
Kagan, filsuf Yunani kuno, dalam bukunya, Pericles
of Athens and the Births of Democracy, menegaskan bahwa demokrasi akan
mampu menciptakan negara yang berkeadilan ketika memiliki desain kelembagaan
politik yang mapan, masyarakat yang bebas berdemokrasi, dan kepemimpinan yang
responsif, berintegritas, dan kuat. Maka, pendidikan politik dalam pilpres
seharusnya ditunjukkan oleh partai-partai politik yang berkoalisi (bekerja
sama) tanpa harus dilandasi semangat transaksional bagi-bagi kursi menteri,
melainkan kesamaan platform dan
komitmen perjuangan politik untuk kepentingan rakyat.
Gagasan
besar dalam visi dan misi dibutuhkan dari seorang calon presiden. Gagasan
besar itu perlu diwujudkan sehingga teruji dan terukur untuk menjadi
pertimbangan dalam memilih pemimpin. Ironisnya, di negeri ini banyak orang pintar
menjadi pemimpin di berbagai sektor dan lembaga publik. Akan tetapi, kita
defisit pemimpin yang memiliki rekam jejak bagus (berkarakter), memiliki hati
untuk rakyat, dan hidupnya bersih, konsisten sehingga dapat menjadi teladan.
Itulah pemimpin sejati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar