NU,
Khitah, dan Pilpres 2014
Faisal
Ismail ; Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
KOMPAS,
21 Juni 2014
NAHDLATUL
Ulama pada 1985 dalam muktamarnya di Situbondo, Jawa Timur, secara bulat
memutuskan kembali ke khitah 1926. Kembalinya NU ke khitah 1926 karena,
antara lain, dilatarbelakangi kejenuhan dan kelelahan NU di bidang politik
praktis. Ketika masih berkiprah di bidang politik praktis, banyak lembaga
pendidikan NU (seperti pesantren dan madrasah) serta tugas
sosial-kemasyarakatan-keagamaan NU (seperti kegiatan dakwah dan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat melalui poliklinik dan rumah sakit yang
dikelolanya) menjadi terbengkalai dan terabaikan.
Hal itu
karena atensi, energi, serta waktu para kiai, ulama, dan tokoh NU yang
kebanyakan mengelola pesantren praktis terserap untuk kepentingan partai dan
politik praktis. Perhatian, tenaga, dan waktu para kiai, ulama, tokoh, dan
warga NU pun banyak terfokus ke bidang politik praktis, kurang diarahkan ke
bidang sosial kemasyarakatan dan keagamaan. Menyadari situasi ini, NU secara
bulat memutuskan kembali ke khitah 1926.
Dengan
kembali ke khitah 1926, NU menemukan kembali sosok jati dirinya sebagai
lembaga sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang memang jadi bidang garapan
NU saat berdirinya pada 1926. Dengan merengkuh kembali identitas, makna
hakiki, dan semangat sejati khitah 1926, NU secara bulat mengonsentrasikan
perhatian dan orientasi kinerjanya di bidang sosial keagamaan.
Jika
diamati, banyak perubahan,
perkembangan, bahkan kemajuan yang dicapai NU dari 1985 sampai
sekarang. Pesantren yang dikelola kiai-kiai dan ulama NU sudah memperlihatkan
kemajuan. Rumah sakit dan poliklinik yang dikelola komunitas atau lembaga di bawah
NU, terutama di Surabaya, Jawa Timur, yang menjadi basis kekuatan NU, sudah
menampakkan peningkatan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat.
Ma’arif,
lembaga yang mengelola urusan pendidikan NU, terus berinovasi dan membuat
kemajuan. Banyak madrasah baru didirikan, sementara madrasah lama makin
ditingkatkan kualitasnya. Universitas Islam Malang (Unisma) yang dikelola
warga NU terlihat makin tertata maju. Universitas ini sudah membuka fakultas
kedokteran dan sangat diminati para mahasiswa yang ingin memperdalam ilmu
mereka di bidang kedokteran. Juga telah berdiri Universitas Wahid Hasyim di
Semarang yang banyak menarik mahasiswa.
Itulah,
antara lain, perkembangan serta kemajuan di lingkungan NU dan warganya dari
1985 sampai sekarang. Kembalinya NU ke khitah 1926 telah memberikan berbagai
berkah dan anugerah kemajuan bagi NU dalam memacu dedikasi serta karyanya di
bidang sosial kemasyarakatan dan keagamaan.
Godaan politik praktis
Sesuai dengan butir-butir ketentuan khitah
1926, hak politik warga NU tetap diberikan, tetapi tidak boleh
mengatasnamakan atau membawa nama NU dalam ajang kegiatan kepartaian dan
politik praktis. Dalam kampanye Pilpres 2014, ada kecenderungan pada sebagian
kiai, ulama, tokoh, dan komunitas NU yang bersikap ”permisif” terhadap
nilai-nilai khitah 1926.
Sikap
permisif ini bisa datang dari perilaku mereka sendiri yang mendukung pasangan
capres-cawapres tertentu dengan mengatasnamakan NU atau mereka menamakan sekelompok
kiai yang telah mendapat restu dari ulama NU. Misalnya, sekelompok kiai di
Kendal, Jawa Tengah, mengklaim telah mendapat restu dari ulama NU di wilayah
itu dan mereka mendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai
capres-cawapres yang diusung oleh PDI-P dan mitra koalisinya.
Sikap
permisif terhadap norma etik khitah 1926 dapat disebabkan oleh ”tarikan”
pimpinan partai yang memiliki hubungan emosional dengan warga NU. Ini dapat
dilihat dari manuver politik Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB yang
berkoalisi dengan PDI-P) yang mengorganisasi serta memobilisasi kiai, ulama,
dan komunitas NU untuk berjumpa dan menerima kunjungan silaturahim Jusuf
Kalla di Surabaya.
Hal
serupa adalah sikap kiai dan ulama NU Madura yang memberikan dukungan kepada
pasangan Prabowo-Hatta Rajasa. Masih banyak lagi kasus serupa yang
memperlihatkan kecenderungan sikap permisif sebagian kiai, ulama, tokoh, dan
warga NU terhadap nilai-nilai dan semangat khitah 1926.
Perlu
ditegaskan, dukungan politik warga NU kepada pasangan capres-cawapres
tertentu dalam Pilpres 2014 bukan tidak boleh. Tentu boleh, tetapi tidak usah
membawa-bawa nama NU atau mengatasnamakan (kiai atau ulama) NU.
Pimpinan
PBNU hendaknya mengeluarkan instruksi dan mengingatkan para anggota atau
warga NU agar warga NU—baik sebagai pribadi, kelompok, maupun mereka yang
aktif di partai tertentu—agar tak mengatasnamakan dan membawa-bawa NU dalam
ajang pertarungan politik praktis dalam Pilpres 2014. NU bukan komoditas
politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar