Kuasa
Angka
M
Nafiul Haris ; Peneliti
|
TEMPO.CO,
17 Juni 2014
Survei
dan hasil hitung cepat belakangan menjadi bisnis yang tumbuh subur menjelang
dan saat pemilu. Keduanya menjadi penentu kebijakan dan terkadang menentukan
nasib seorang calon presiden ataupun badan legislatif. Tak ayal, meski
dibutuhkan, survei dan hitung cepat kerap menjadi momok menakutkan bagi
partai dan para kadernya.
Membandingkan
budaya politik yang terbangun di Indonesia, di negara demokrasi mapan seperti
Amerika Serikat, survei bukanlah tolok ukur utama dalam menentukan kebijakan.
Survei yang dilakukan lebih bersifat kualitatif, bukan persentase
elektabilitas. Warga Amerika lebih percaya issues, telaah kualitatif.
Dalam
Pemilu 1955, ketika parpol masih berpanglimakan ideologi, kemampuan berpidato
serta menyusun propaganda dan mesin politik mobilisasi sangat menentukan.
Tapi ini zaman kapitalisme mutakhir. Jadi, urusan politik pun menjadi urusan
angka-angka. Kenyataan politik telah direduksi menjadi statistik, angka-angka
hasil survei, dan jajak pendapat. Persepsi politik rakyat cukup dipandang
sebagai "indeks kepuasan dan
ketidakpuasan publik". Preferensi politik rakyat dituntun bukan lagi
dengan program perjuangan, melainkan oleh survei dan politik pencitraan.
Jangan merasa heran, orang lebih percaya kepada seorang artis tampan
ketimbang aktivis partai yang sudah puluhan tahun bekerja di lapangan
politik.
Sikap
merakyat seorang calon pemimpin, misalnya, digambarkan dengan kedatangan
calon pemimpin tersebut ke perkampungan kumuh dan berbincang-bincang dengan
rakyat setempat, seraya memobilisasi media massa agar bisa meliput aksinya.
Mungkin ini yang disebut oleh Jean Baudrillard sebagai simulacra: tiruan,
imitasi, tidak nyata, tidak sesungguhnya. Selain media massa, lembaga survei
banyak memainkan peran dalam membentuk "politik
penuh kedangkalan ini".
Hal itu
berkontribusi merusak demokrasi. Pertama, kecenderungan survei semacam itu
berfungsi untuk menggiring opini rakyat mengenai kandidat terkuat. Dengan
begitu, calon pemilih mengambang-yang jumlahnya sangat besar-cenderung
memilih kandidat yang terkuat. Kedua, survei tersebut terkadang bias dan
tidak sesuai dengan kenyataan di tengah-tengah rakyat, bahkan bergerak atas
sponsor atau kelompok kepentingan yang mendanai surveinya. Dalam banyak
kasus, metode dan teknik survei bisa dimodifikasi sesuai dengan kepentingan
lembaga survei.
Ketiga,
pertanyaan dan kategori yang dipergunakan lembaga survei mengerdilkan
aspirasi dan sikap politik rakyat yang sangat beragam. Survei kandidat,
misalnya, terkadang mengunci pilihan rakyat pada figur-figur yang ada.
Padahal, belum tentu mereka mencerminkan atau sesuai dengan figur yang
diinginkan oleh rakyat.
Terakhir,
kecenderungan memunculkan "sosok pemenang" sebelum pemilu sangat
membuka peluang terjadinya kecurangan masif dalam pemilu. Dengan adanya nama pemenang
sebelum pemilu, pemilih pun tidak akan terlalu mempersoalkan kenapa dan
bagaimana ia bisa menang. Padahal, bisa saja si pemenang ala lembaga survei
ini menggunakan kecurangan dan memanipulasi hasil pemilu.
Akibatnya,
politik semakin jauh dari realitas. Realitas politik makin tergantikan oleh
indeks, statistik, dan angka-angka. Akibatnya, kebiasaan membaca persentase
ini membuat seorang pemimpin mengabaikan rakyatnya. Kalau indeks
ketidakpuasan masih di bawah 50 persen, hal itu dianggapnya masih normal.
Padahal, sebagai negara ber-Pancasila dan ber-UUD 1945, tak seorang pun warga
negara yang boleh diabaikan di negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar