Kau
Kugampar, Simpati Kuperoleh
Arif
Afandi ; Mantan Wartawan,
Ketua
umum Badan Kerja Sama BUMD Seluruh Indonesia
|
JAWA
POS, 18 Juni 2014
BELAKANGAN, media sering
menyuguhkan adegan kepala daerah yang marah-marah kepada anak buah. Yang
segar di ingatan adalah kasus Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang
mengamuk di jembatan timbang. Juga, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
’’Ahok’’ Purnama yang memarahi kepala dinas pertamanan dan PKL di Monas.
Semua peristiwa ngamuknya para pejabat itu diungguh di media sosial dan
disebarkan media massa nasional.
Uniknya, aksi berang para
pemimpin di depan umum tersebut mendapat respons hangat dari publik. Mereka
seakan ikut bertepuk tangan melihat anak buah para pemimpin itu takut dan
tertunduk malu. Seakan emosi publik ikut terwakili ketika melihat para
pejabat publik itu muring-muring. Simpati dan pujian-pujian pun terus
mengalir kepada para pemimpin tersebut. Ibarat kau kugampar, simpati
kuperoleh.
Aksi ngamuk dua kepala daerah
tersebut ikut menambah panjang daftar pejabat yang marah di depan publik.
Sebut saja Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya yang marah-marah melihat
terminal jorok. Juga, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang memaki habis
panitia Wall’s Ice Cream Day yang merusak Taman Bungkul beberapa waktu lalu.
Apakah fenomena itu merupakan
bukti terjadinya pergeseran idealisasi kepemimpinan dalam masyarakat kita?
Adakah prinsip-prinsip kepemimpinan yang elegan, penuh wisdom, dan selalu
mengayomi seperti yang terungkap dalam filosofi Jawa sudah tidak berlaku?
Akankah persepsi kepemimpinan yang temperamental itu menjadi mainstream model
kepemimpinan kita?
Cermin Masyarakat
Berbagai teori kebudayaan
menyebutkan, tata nilai yang muncul merupakan cerminan cara pandang
masyarakat. Nilai-nilai kepemimpinan yang berkembang merupakan wujud harapan
warga. Dalam cara pandang ini, masyarakat preman akan menghasilkan seorang
pemimpin yang preman pula. Masyarakat yang mayoritas mengikuti nilai-nilai
pragmatisme akan melahirkan pemimpin yang pragmatis pula.
Sistem rekrutmen kepemimpinan
melalui pemilihan langsung sejalan dengan paham itu. Hak masyarakat memilih
seorang pemimpin semakin memperkuat kebenaran paham tersebut. Nilai yang
dianut pemilih akan dimanifestasikan dalam pilihan mereka. Ketika punya
harapan tentang sosok pemimpin yang tegas, dia akan memilih calon yang
dianggap bisa bertindak tegas. Demikian seterusnya.
Namun, banyak faktor yang
memengaruhi seseorang terhadap sosok seorang pemimpin. Nilai dan
harapan-harapan dari seorang warga tidak berada dalam situasi vakum. Framing
media tentang sosok pemimpin dan mainstream kepemimpinan yang ada ikut
memengaruhi. Semua itu saling mengisi nilai dan harapan seseorang. Nilai
serta harapan tersebut lantas diwujudkan lewat dukungan terhadap pemimpinnya.
Demikian pula tentang tafsir
akan sikap tegas. Ketegasan pemimpin, tampaknya, mengalami penyempitan makna.
Ketegasan sikap hanya dimaknai sebagai keberanian pemimpin untuk memarahi
mereka yang dianggap bersalah. Tak peduli apakah kemarahan yang diumbar itu
pantas dipublikasikan atau tidak. Yang penting, dengan kemarahan sang
pemimpin tersebut, kejengkelan massa ikut tersalurkan.
Tapi, apakah seorang pemimpin
harus mengikuti kemauan publik dalam kepemimpinannya? Ataukah mereka harus
mengendalikan amarah karena setiap perilaku pemimpin akan menjadi panutan
publik yang dipimpinnya? Tampaknya, itu sangat bergantung pada pemimpin yang
bersangkutan. Apakah dia akan menjadikan dirinya sebuah produk yang mengikuti
keinginan pasar atau menjadi role model yang mengarahkan pasar.
Tuntunan
Kepemimpinan politik sangat
berbeda dengan kepemimpinan pasar sebuah produk. Kepemimpinan politik
mengandung idealisasi tentang sosok yang dianggap lebih dari pada umumnya.
Sosok pemimpin politik diharapkan tidak hanya terampil dalam urusan teknis.
Tapi, juga terampil mengonsolidasikan kekuatan dalam masyarakat. Selain
memiliki legitimasi teknis, dia perlu legitimasi nonteknis. Mereka juga
diharapkan menjadi tuntunan dalam perilaku warganya.
Masyarakat Jawa mengenal
falsafah asah, asuh, dan asih. Singkatnya, pemimpin harus memiliki kemampuan
intelektual, mempunyai sikap merawat dan mendidik masyarakat, serta mengasihi
mereka. Semua itu diramu dalam satu kata yang disebut wisdom atau bijak.
Bijak dalam pemahaman Jawa adalah kemampuan untuk menempatkan sesuatu pada
tempatnya.
Dalam perspektif ini, pemimpin
bukannya tidak boleh marah. Namun, kemarahan seorang pemimpin dimaksudkan
untuk memperbaiki, bukan membenci. Kemarahan juga tidak boleh diumbar,
melainkan dikendalikan. Pemimpin tidak boleh memaki. Apalagi dipertontonkan
kepada publik. Pemimpin harus menjadi role model tentang sesuatu yang patut
dan tidak patut di dalam masyarakat.
Demokratisasi politik memang
berhasil mengubah segala tatanan pola interaksi rakyat dan pemimpinnya.
Namun, sebagai sebuah bangsa, rasanya perlu ditumbuhkan kesadaran baru
tentang pentingnya membangun peradaban yang lebih baik. Perlu digalakkan
kembali pentingnya arah strategi kebudayaan kita. Itu penting dilakukan agar
kepemimpinan tidak sekadar memenuhi selera pasar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar