Faktor
Islam pada Pilpres
Arfanda
Siregar ; Dosen Politeknik Negeri Medan
|
TEMPO.CO,
20 Juni 2014
Faktor
umat Islam masih menjadi kunci kemenangan dalam pemilihan presiden (pilpres)
2014. Tim sukses pasangan calon presiden-wakil presiden Joko Widodo-Jusuf
Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menjadikan umat Islam sebagai sasaran
utama untuk menaikkan elektabilitas keduanya.
Tak usah
heran, kedua capres mengklaim bahwa dirinyalah yang paling merepresentasikan
umat Islam dan ini membuat mereka percaya diri menggunakan simbol Islam yang
biasanya tak pernah mereka kenakan dalam aktivitas sehari-hari. Efektifkah?
Penggunaan
simbol Islam tersebut bukan cakap kosong. Hanya demi membuktikan bahwa
seorang Joko Widodo (Jokowi) beragama Islam, sekarang, setiap kali putra Solo
tersebut berpidato selalu diawali dengan pengucapan salawat Nabi yang
panjang. Padahal tak biasanya beliau seperti itu. Namun kampanye hitam yang
menuduhnya bukan muslim membuat Jokowi harus menghafal salawat dan
menggunakannya ketika mulai berpidato.
Lain
lagi dengan Prabowo Subianto. Mantan menantu Presiden Soeharto tersebut
percaya diri mengatakan hubungannya dengan ulama sudah sangat dekat sejak
bertugas sebagai prajurit. Sudah lazim dia meminta restu kepada ulama setiap
kali menjalankan tugas di lapangan. Bagi Prabowo, ulama adalah tempat dia
memohon restu agar selamat di medan pertempuran.
Jokowi
maupun Prabowo sebenarnya tak punya rekam jejak yang panjang sebagai salah
satu tokoh yang dekat dengan umat Islam. Belum ada satu pun catatan yang
mengindikasikan keduanya adalah pentolan organisasi Islam, seperti
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Mereka juga tak terbiasa dengan
kegiatan-kegiatan keislaman selama karier politiknya.
Yang
jelas, menjelang kontestasi pilpres 2014, umat Islam memegang peranan
signifikan mengangkat harkat dan derajat mereka menjadi orang nomor satu di
negeri ini sehingga perlu diambil hatinya.
Pertama,
Islam masih menjadi agama dengan jumlah penganut terbesar di Indonesia,
sehingga suara pemilih muslim sangat diperhitungkan. Semua capres selalu
menggunakan isu Islam sebagai "daya sedot" suara. Bahkan dua ormas
Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah, diseret-seret dalam arus dukung mendukung
capres, sehingga secara internal terbelah dalam dua poros dukungan: ada yang
mendukung Jokowi dan ada yang mendukung Prabowo.
Semuanya
dilakukan demi mendapatkan dukungan dari massa kedua ormas tersebut. Lihat
saja tokoh NU, seperti KH Hasyim Muzadi, Alwi Shihab, dan Salahuddin Wahid,
yang terang-terangan mendukung Jokowi. Sedangkan tokoh NU yang lain, seperti
KH Said Aqil Siradj dan Mahfud Md., malah mendukung Prabowo. Begitu juga
Muhammadiyah. Meskipun tidak terang-terangan seperti tokoh NU, tokoh di tubuh
ormas Islam tersebut terpecah antara mendukung kubu Jokowi dan Prabowo.
Inilah
daya tarik suara umat Islam yang diwakili banyak ormas Islam, yang pada
gilirannya membuat para capres berlomba mencari simpati dengan menggunakan
simbol Islam agar mendapatkan dukungan nyata dari anggota ormas Islam itu.
Kedua,
suara partai politik Islam, seperti PKS dan PPP, yang akan terpecah ke dua
pasang capres karena tak adanya kader dari dua parpol Islam tersebut yang
maju sebagai capres ataupun cawapres.
Hasil survei
yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia ( LSI) pada 1-9 Mei 2014 terhadap
2.400 responden di 33 provinsi dengan metode acak bertingkat mencatat bahwa
32,69 persen pemilih PKS mendukung Jokowi-JK dan 33 persen memilih
Prabowo-Hatta. Meskipun secara legal formal kedua partai mendukung capres
Prabowo, bukan berarti akan diikuti secara mutlak oleh konstituennya. Inilah
keunikan konstituen partai Islam. Melabuhkan pilihan kepada partai Islam
bukan berarti akan taklid buta mendukung pilihan capres kedua partai Islam
tersebut.
Hal ini
juga menandakan bahwa suara pemilih muslim akan tersebar ke dua capres tanpa
memandang terlalu serius platform keislaman dan identitas keislaman capres.
Atau, dengan kata lain, keislaman seorang capres tak lagi menentukan pilihan
umat Islam. Umat Islam lebih melihat kualitas gagasan dan visi capres dalam
menakhodai negeri ini. Sementara itu, simbol-simbol Islam yang sering
dijadikan "daya tarik" capres dan partai Islam dalam menggaet suara
umat Islam sama sekali tidak efektif lagi. Jadi, tak perlulah capek-capek
menghafal doa dalam bahasa Arab ataupun menggunakan jubah ulama. Tampil apa
adanya saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar