Dolly
Putu
Setia ; Pengarang, Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
01 Juni 2014
Mari lupakan sejenak soal
capres-cawapres. Meski segera memasuki masa kampanye, urusan copras-capres
yang riuh selayaknya diselingi urusan lain. Saya tawarkan Dolly. Bukan kisah
Dolly Parton dan juga tak menelusuri Tante Dolly yang mewariskan Gang Dolly
itu. Ini cerita tebak-tebakan apakah upaya Ibu Tri Rismaharini berhasil
menutup lokalisasi Dolly.
Gang Dolly begitu populer.
Lokalisasi yang berada di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Surabaya,
Jawa Timur, ini akan ditutup oleh Wali Kota Surabaya Risma pada 19 Juni
nanti, 10 hari sebelum memasuki bulan suci Ramadan. Apakah Risma, wali kota
dengan seabrek penghargaan, berhasil menutup lokalisasi terbesar di Asia
Tenggara itu? Apa pun hasilnya, ini berita penting, sepenting berita Piala
Dunia di Brasil, dan jauh lebih penting dari kampanye capres yang bikin bodoh
rakyat itu.
Bisnis esek-esek di Dolly
dilayani lebih dari seribu wanita pelacur. Mau angka lebih pasti, ini catatan
bulan lalu: ada 1.187 pelacur dengan 311 muncikari. Angka itu melonjak
dibanding akhir 2012 sebesar 1.022 pelacur dan 292 muncikari. Jadi,
pertumbuhannya meyakinkan setiap tahun. Wali kota sebelum Risma gagal terus
menutup Dolly. Wali kota Bambang Dwi Hartono, misalnya, hanya berhasil
menahan pertumbuhan Dolly dengan membatasi jumlah pelacur di tiap wisma.
Kini Risma tegas menutup Dolly,
tapi tidak kejam, apalagi melanggar HAM. Tak ada wanita penghibur ataupun
muncikari yang diculik. Risma melakukan dialog berkali-kali dan menjanjikan
modal usaha kepada setiap pelacur setelah melakukan serangkaian pembinaan.
Tak ada janji-janji untuk jabatan atau lapangan pekerjaan tertentu bagi yang
lain, seperti tukang parkir, muncikari, dan para preman. Tak ada janji,
misalnya, kalau Dolly berhasil ditutup, tukang parkir itu akan ditampung di
tempat lain dengan status "tukang
parkir utama".
Langkah Risma tidak mulus.
Muncul koalisi penentang penutupan Dolly dari ormas dan LSM dadakan. Koalisi
ini adalah gabungan masyarakat sekitar yang sehari-hari mencari nafkah di
gang yang kini sudah tak mirip gang itu. Alasannya, rezeki terganggu, bahkan
menjadi pengangguran lantaran sulit mencari kerja. Jadi, koalisi yang
semata-mata urusan cari makan. Hebatnya, koalisi ini didukung juga oleh
sejumlah "intelektual" yang mungkin sakit hati kepada Risma dengan
alasan yang "ilmiah". Misalnya, kalau Dolly ditutup, bagaimana jika
pelacur itu bergentayangan ke jalan-jalan, bukankah lebih sulit mengontrol
kesehatannya? Penutupan Dolly hanya membikin resah kota lain yang akan
menampung wanita yang terusir itu. Dan mereka pun menyebut Lamongan, Tuban,
juga Bali, akan terkena dampak sistemik dari tutupnya Dolly.
Risma tetap konsisten, ora mikir dengan alasan itu. Ibu yang
dijuluki Singa Kota itu punya
alasan lebih manusiawi: memutus
generasi yang merendahkan harga diri dengan menjual tubuh. Risma
mengulang senjatanya yang terkenal ampuh, mengaku menangis dan miris ketika
menyaksikan kehidupan di Gang Dolly, melihat anak-anak kecil dan usia remaja
berada dalam "kawah prostitusi". Dan Risma pun bicara dalam bahasa
agama yang sederhana: mbok mencari
nafkah di jalan yang halal, jadilah wanita terhormat.
Saya tak tahu siapa nanti yang
menang, seperti juga saya sulit menebak siapa yang menang di Brasil, serta
siapa yang menang menjadi presiden, Jokowi atau Prabowo. Tapi, kalau Tuhan
memihak kebenaran, orang-orang jujur, ikhlas dan sederhana, bekerja sesuai
dengan perintah agama, dialah yang lebih besar menang. Dolly mungkin berhasil
ditutup seperti Kramat Tunggak di Jakarta, lenyap tanpa bekas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar