Antara
Kesejahteraan dan Pasar
Dinna
Wisnu ; Co-founder dan
Direktur Program Pascasarjana
Bidang Diplomasi
Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 18 Juni 2014
Pada
hari ini saya masih akan membicarakan tema debat calon presiden menjelang
pemilihan presiden tanggal 9 Juli nanti.
Media
massa dan masyarakat awam masih membicarakan isi dari debat calon presiden
yang dilaksanakan hari Minggu lalu tentang isu ekonomi dan kesejahteraan
sosial. Bagi yang kesehariannya menggeluti kedua bidang ilmu ini, perdebatan
kemarin mungkin lebih banyak meninggalkan pertanyaan- pertanyaan daripada
jawaban, terutama tentang praktik pelaksanaannya.
Kompleksitas
masalah yang sehari-harinya dihadapi para pekerja, wirausaha, bankir,
nelayan, ibu rumah tangga, apalagi pegawai pemerintah belum tersentuh di
sana. Meski demikian kita juga memahami kesulitan Prabowo Subianto dan Joko
Widodo untuk menganalisis dan memberikan jalan keluar atas masalah ekonomi
nasional dan internasional hanya dalam waktu 3-9 menit.
Dalam
kesempatan yang terbatas itu sangat wajar apabila para kandidat memusatkan
perhatiannya pada halhal yang lebih mudah melekat di ingatan masyarakat
seusai menyaksikan perdebatan. Karena kelompok masyarakat berpendidikan
tinggi yang diasumsikan sudah memahami konsep dan istilah teknis pembangunan
yang didiskusikan oleh para capres relatif kecil.
Menurut
BPS 2013, jumlah kelompok ini hanya 17,9% dari penduduk Indonesia. Apa yang
menarik dari inti yang disampaikan para capres tersebut dan dapat menjadi
diskusi untuk kita adalah dilema dalam mengharmoniskan tuntutan untuk
menyejahterakan rakyat dan fakta bahwa kita telah hidup dalam sistem pasar
yang mengutamakan daya saing. Memenuhi kesejahteraan rakyat dalam hal
kecukupan pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya
membutuhkan biaya yang tidak murah.
Masyarakat
masa kini punya tantangan ekonomi dan sosial yang berbeda dibandingkan era
tahun 1950-an, 1970-an atau bahkan 1990-an. Hari ini kepala keluarga dari
golongan menengah-bawah tidak dapat mengandalkan pendapatan hanya dari satu
orang pencari nafkah. Pengeluaran energi (listrik, bahan bakar, gas) semakin
mahal setiap tahunnya, demikian pula dengan pengeluaran kesehatan,
pendidikan, transportasi, dan pengeluaran lain.
Kenaikan
itu juga tidak lain karena faktor liberalisasi pasar yang membuka peluang
bagi modal asing untuk masuk berinvestasi dan menyumbangkan pendapatan untuk
anggaran belanja negara kita yang terus berkurang karena pendapatan utama
dari minyak bumi yang sempat berjaya di tahun 1980- an tidak lagi dapat
diandalkan. Liberalisasi memiliki risiko juga karena ketika harga komoditas
di pasar tinggi, harga di dalam negeri juga mengikuti.
Situasi
akan menjadi parah apabila persediaan langka sehingga kasusnya seperti bahan
bakar gas yang lebih untung dijual ke luar negeri daripada ke dalam negeri.
Pasar menjadi madu sekaligus racun bagi perekonomian negara kita. Jawaban
kedua capres atas dilema ini adalah tanggapan yang ditunggu-tunggu masyarakat
dan menjadi tantangan untuk mereka yang menjadi presiden di tahun 2014 ini.
Setiap presiden memiliki ujiannya masing-masing dalam masa jabatannya.
Presiden
BJ Habibie telah berhasil mengamankan langkah Reformasi 1998. Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berhasil mengawali transisi dan membuka toleransi
sosial dalam masyarakat. Presiden Megawati Soekarnoputri mampu menjaga
konsolidasi demokrasi dan membangun sendi-sendi kemandirian ekonomi bangsa.
Sementara itu pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah berhasil
membangun citra pemerintahan antikorupsi.
Presiden
yang baru punya momentum lain yang berbeda. Mengelola ekonomi pasar dan
tuntutan kesejahteraan bukan sesuatu yang mudah karena hal tersebut terkait
dengan ideologi pemerintahan yang berkuasa. Sebagai bagian dari ideologi,
program untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat tidak bisa
semata-mata dilihat dari sudut ekonomis.
Ada
faktor investasi pada masyarakat yang tidak semata dianggap sebagai beban.
Negaranegara yang memercayai pasar bebas sebagai sumber kemakmuran dan
pertumbuhan ekonomi yakin bahwa pasar akan menciptakan aktivitas ekonomi dan
membuka lapangan pekerjaan. Pengendali dari pasar antara lain berupa aturan
main (regulasi) dan pajak progresif.
Selain
itu, para pekerja terampil diberi insentif untuk melakukan ekspansi keahlian
dalam bentuk inovasi yang disokong pemerintah. Sektorekonomitersier(jasa,
teknologi) didukung untuk melakukan ekspansi sampai ke luar negeri. Para
pebisnis di sektorsektor strategis didorong marketing -nya oleh
pejabat-pejabat negara. Ada sinergi antarpelaku pasar dengan pejabat
pemerintah.
Sebagian
dari pajak disalurkan pada kelompok masyarakat yang kurang beruntung (miskin
atau punya keterbatasan tertentu) sebagai bentuk affirmative action atau kepedulian pemerintah. Sementara itu
negara-negara yang memercayai redistribusi kesejahteraan adalah sumber
kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi yakin bahwa negara harus aktif
mengembangkan program-program pemerataan kesempatan dan sumber daya pada
warga negara.
Negara
mengandalkan pajak tinggi yang relatif sama untuk beragam kalangan demi
menyediakan berbagai bentuk layanan publik dengan harga murah dan mutu
tinggi. Sektor-sektor primer akan ditopang untuk tumbuh dengan baik karena di
sanalah banyak orang yang menggantungkan hidupnya. Jika perlu, sektor
tersebut diproteksi dari kerentanan akibat fluktuasi pasar bebas. Indonesia
ada di persimpangan jalan dari kedua contoh ekstrem yang saya gambarkan di
atas.
Apakah
presiden baru kita akan mengandalkan pasar bebas sepenuhnya atau memegang
prinsip redistribusi kesejahteraan. Yang jelas, dengan pengalaman terkini
berdemokrasi selama 15 tahun, masyarakat Indonesia punya kemampuan baru,
yakni kesadaran bahwa mereka punya ruang untuk mengevaluasi kebijakan
pemerintah. Masyarakat juga relatif lebih sadar diri tentang kondisi sosial
ekonomi masing-masing.
Mereka
juga punya akses pada informasi tentang hal-hal yang seharusnya mereka terima
dari pemerintah. Sulit dibayangkan bahwa kesadaran masyarakat itu dengan
mudah diabaikan seorang presiden atau para pejabat pemerintah yang asalasalan
saja dalam membuat kebijakan. Lebih sulit lagi dibayangkan bahwa masyarakat
kemudian bisa dibungkam dengan pengurangan partisipasi politik dan demokrasi.
Akhir
kata, tidak semua hal bisa dimunculkan dan dicerna dalam waktu singkat debat
capres di televisi, tetapi bukan berarti bahwa para capres dapat abai pada
realitas tantangan di lapangan. Pada akhirnya pemimpin kita harus memilih dan
berpihak pada suatu model kebijakan kesejahteraan.
Apa pun
pilihan tersebut, semoga dijalankan dengan utuh dan konsekuen, lengkap dengan
antisipasi terhadap konsekuensi negatif yang melekat pada tiap pilihan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar