Minggu, 06 April 2014

“Ya Ampun…Segitunya”

“Ya Ampun…Segitunya”

Samuel Mulia ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS, 06 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Demikian teriakan kecil seorang teman lama, ketika ia mendengar jawaban mengapa saya sekarang sudah tidak aktif lagi di ranah sosial media. Setelah mendengar jawaban itu ia berkomentar lagi. ”Masak, sih, seorang kayak kamu enggak tahan banting?”

Pengelompokan

Beberapa waktu sebelum peristiwa di atas terjadi, saya mendapat undangan untuk menghadiri ulang tahun seorang pengusaha wanita yang juga socialite di Ibu Kota ini. Sejujurnya saya kaget menerima undangan itu karena selain saya sudah ”mengundurkan diri” dari jagat sosial media, saya juga sudah mengundurkan diri dari acara-acara macam pesta ulang tahun itu. Apalagi yang melibatkan sesuatu yang gemerlap.

Setelah menerima undangan itu, saya mengirim pesan kepada salah satu teman saya yang juga diundang pada acara yang sama. Saya menjelaskan bahwa saya ini malas sekali untuk hadir karena saya tak terlalu mengenal para undangan lainnya.

Teman saya itu membalas begini. ”Kayaknya orang-orang yang diundang beda, deh, enggak seperti biasanya. Acaranya sederhana, kok, cuma di rumah, ada misa dan acara berdoanya.” Saya membalas pesan itu begini.

”Waduh..., sekarang aku dimasukkan kelompok tamu yang beda dari biasanya, ya, kelompok tamu yang berdoa, bukan yang doyan pesta. Akhirnya aku dikelompokkan dalam grup yang tak doyan pesta.” Ia membalas pesan itu dengan singkat. ”Amin.”

Setelah dua kejadian itu, saya membuat janji bertemu dengan seorang teman lama. Seorang pria yang sejak lama sudah saya kenal sebagai sosok suami, ayah, pria yang santun dan tidak neko-neko. Seandainya perjalanan hidupnya dapat diukur, tak ada satu pun yang keluar dari jalur. Semuanya baik dan sejahtera.

Siang itu, ia menjelaskan bahwa perkawinannya dalam kondisi yang bergemuruh gara-gara ia berselingkuh. Kejadian itu diketahui istri dan anaknya yang sudah dewasa. Teman saya itu menjelaskan bahwa ia sempat terdiam ketika si anak bertanya begini. ”Aku tu gak nyangka, loh, orang kayak Papa, kok, bisa-bisanya berselingkuh. Kenapa Pa?”

Pertanyaan kenapa atau mengapa selalu saja melahirkan sejuta jawaban yang bisa jadi diterima dengan baik oleh si penanya atau malah melahirkan debat yang hebat. Mengapa orang baik bisa berbuat tidak baik, mengapa orang tidak baik bisa menjadi baik, mengapa orang berubah, mengapa orang tak mau berubah?

Namun buat saya, semua kejadian seperti di atas itu terjadi karena pelakunya memutuskan untuk memilih jalur yang berbeda, setelah cukup lama ada di jalur yang itu-itu saja yang mungkin tak lagi memberi faedah. Maka, keputusan itu juga memaparkan bahwa orang lain yang melihat, mulai mengelompokkan saya. Dari kelompok A ke kelompok B.

”Life is full of surprises”

Hal yang menarik adalah perpindahan itu tidak terlalu mengagetkan si pelaku, tetapi justru menyetrum mereka yang melihat perubahan itu dan acap kali komentar yang klise terdengar di gendang telinga. ”Kok bisa sih.”

Mungkin kok bisa sih dalam kasus saya dari kelompok pesta menjadi kelompok yang berdoa akan mengundang sedikit decak kagum. Itu mengapa teman saya membalas dengan jawaban amin.

Komentar yang singkat dan padat itu, saya yakini juga menyiratkan sebuah perasaan sukacita kalau saya sekarang menjadi manusia yang lebih baik. Seperti menggambarkan anak yang hilang telah ditemukan kembali.

Namun, berbeda masalahnya, ketika teman saya berkomentar ya ampun dalam cerita saya di atas. Ia tak menyangka bahwa saya yang selama ini dianggap kuat dan tegar, kok bisa KO dengan sebuah kejadian sehingga mengundurkan diri dari ranah sosial media.

Sejujurnya, saya tak suka dengan pengelompokan karena cenderung pada akhirnya menjadi sebuah penghakiman. Mungkin saya tak terlalu terganggu dihakimi, saya lebih terganggu karena soal kekagetan yang terjadi ketika ada perubahan.

Saya merasa kekagetan yang dicerminkan dengan kalimat kok bisa sih itu, sebuah kebiasaan saya sebagai manusia untuk tidak menerima orang itu bisa hidup di dua dunia. Dunia yang santun dan dunia yang tidak santun. Ia positif, tapi kadang ia bisa negatif.

Entah mengapa, saya selalu berusaha memositifkan orang dan terkaget-kaget kalau sampai ia menjadi negatif. Padahal, saya yang seharusnya kaget terhadap diri sendiri, bukan terhadap perubahan orang lain.

Seyogianya saya ini yang harusnya kaget, kok bisa-bisanya saya ini tak menyadari manusia itu sangat normal kalau hidup di dua dunia. Pengelompokan itu juga mencerminkan ketidakmampuan saya menerima kebebasan manusia untuk melakukan apa yang dianggapnya baik untuk dirinya sendiri, dan bukan untuk orang lain.

Bertahun lamanya saya takut negatif itu tersirat, mungkin tepatnya saya takut kebenaran itu terungkap bahwa manusia itu bisa negatif meski selama ini ia dikenal baik. Atau sebaliknya, kok, dulu nakal sekarang jadi baik. Kok, dulu suka pesta dan pulang dalam keadaan setengah sadar atau tak sadar sama sekali, sekarang rajin beribadah. Umumnya kasus yang saya sebut terakhir ini akan mengundang komentar. ”Muna banget, ya.”

Saya tahu pasti bahwa sebelum saya mati, maka kekagetan orang lain terhadap hidup saya akan selalu terjadi demikian juga sebaliknya. Semoga selain kaget, saya masih diberi kesempatan belajar untuk membiarkan manusia hidup di dua dunianya, jangan hanya tidak kaget kalau kodok bisa hidup di dua dunia. Kan, katanya life is full of surprises, bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar