Minggu, 06 April 2014

Impian Buruk Huttington

Impian Buruk Huttington

Jean Couteau  ;   Penulis Kolom “Udar Rasa” di Kompas
KOMPAS, 06 April 2014

                                                                                         
                                                             
Indonesia kini tengah memasuki periode pemilihan umum. Fokusnya pada masalah dalam negeri. Namun, melihat dinamika perekonomiannya, bukankah kini justru saatnya mempertanyakan posisi Indonesia di kancah dunia?

Oh, bukan untuk mengajak orang Indonesia sekadar berbangga atas ”kejayaan” bangsanya, melainkan merenungkan apa yang secara obyektif dapat disumbangkan bangsa dan negara ini pada tatanan dunia internasional kelak, katakanlah pada pertengahan abad ini. Siapa tahu terdapat sumbangan khusus.

Tak ayal perdamaian dunia mendatang akan bergantung pada kemampuan kita untuk menanggulangi konflik-konflik kepentingan yang bakal bermunculan selaras dengan semakin merosotnya daya tahan ekologi dan memuncaknya persaingan di seputar akses pada sumber daya alam seperti air dan minyak. Untuk menghadapi masalah-masalah tersebut, memang sudah hadir sejumlah lembaga antarbangsa (PBB, WTO, IMF, dan lain-lain) yang menyiapkan perangkat prosedural/hukum untuk mengelola konflik secara damai. Tetapi, apakah cukup?

Bukankah masalah yang sebenarnya lebih dari sekadar ekonomi dan politik? Ancaman terhadap perdamaian selalu muncul ketika perbedaan-perbedaan kepentingan ekonomi antarbangsa dipertajam oleh perbedaan kultural-nasional dan kultural-religius yang dikristalisasi oleh kelompok tertentu: perang dunia pertama dan kedua meletus ketika nasionalisme etno-rasial Jerman dan Jepang, menumpangi ”mitos” Niebelungan dan Bushido, bertemu-padu dengan ekspansi pesat kapitalisme negara-negara itu di putaran abad ke-19 menuju abad ke-20. Bagaimana menghindari pengulangan pengalaman hitam tersebut kelak?

Idealisme

Berkenaan dengan itu, yang menjadi pertanyaan ialah apakah idealisme yang melandasi perangkat institusional ”universalis” bangunan Barat pasca 1945 akan cukup ampuh untuk menanggulangi masalah-masalah eko-politik dari suatu dunia yang bakal semakin bersifat non-Barat itu?

Masalahnya untuk sebagian terletak pada makna ”universalisme” tersebut. Lahir pada akhir abad ke-18 sebagai sisi positif dari kapitalisme, ia telah berkembang di dalam dialektika kelam dengan berbagai fenomena yang sejatinya menisbikan pretensi universalisnya: penjajahan pada abad ke-19, komunisme dan fasisme-nazisme pada paruh pertama abad ke-20. Ia juga kini belum mampu menjawab tantangan-tantangan spesifik dari dunia Islam, yang cenderung menganggap sekularisme ”universal” sebagai alat dominasi Barat.

Dengan kata lain, apakah warna kultural Barat yang kini mendominasi tatanan internasional itu akan melumpuhkan efisiensi problem-solving dari tatanan tersebut dan mengancam perdamaian dunia kelak? After all, bukankah PBB, WTO, IMF, UNDP, dan Pengadilan Internasional, kini sudah kerap dituduh berbias pro Barat. Dan bukankah Tiongkok menuntut ruang politik dan kultural yang lebih luas serta sudah membuat bacaan tersendiri atas traktat-traktat lama? Jadi, bukankah terdapat ancaman kristalisasi-kristalisasi politik baru: ultra-nasionalisme baru, ultra-agamisme baru di Tiongkok, India, Rusia, dan lain-lain. Jangan-jangan impian buruk Huttington menjadi kenyataan kelak apabila masalah-masalah ekologis dan ekonomi mendatang dihadapi, atas nama bangsa, dengan jubah etno-kultural yang mutlak, seperti Jerman dan Jepang telah lakukan pada zaman dahulu kala.

Di situ pada hemat saya terdapat peran potensial bagi Indonesia. Indonesia adalah suatu negara yang telah berhasil menjadikan kelemahan potensialnya—kebhinnekaan—sebagai suatu kekuatan. Baik secara historis maupun sosiologis dan ideologis (di dalam Pancasila), bangsa ini telah mampu menciptakan sistem identiter multilapis nan inklusif: ada ruang untuk identitas lokal, religius, nasional, dan bahkan lintas bangsa. Agama tidak dipisahkan, sebaliknya disatukan di dalam kesatuan identiter yang setara: kebangsaan dan kemanusiaan. Jadi kelianan tidak dimutlakkan, sebaliknya senantiasa dijembatani oleh persamaan identitas lain. Akibatnya, negara ini kini relatif lebih terjaga dari konflik etnis dan agama daripada negara multi-etnis dan multi-agama seperti India, Nigeria, Myanmar, Suriah, Pakistan, serta luput dari wacana ultranasionalis yang marak di Asia Timur, Asia Selatan, dan Rusia.

Jadi, Indonesia telah berhasil membangun sejenis ”universalisme” lokal. Ajaran ini—mengembangkan dan menguniversalkan nilai-nilai lokal itu—pada hemat saya menjadi tugas kaum intelektual Indonesia untuk merumuskannya secara literer dan intelektual guna disebarluaskan secara internasional. Adalah tugas mendatang mereka untuk keluar dari cangkang nasionalnya dan turut memperjuangkan, demi perdamaian mendatang, universalisme-universalisme baru yang semakin lintas budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar