Minggu, 06 April 2014

Pemimpin Pembangunan Pertahanan

Pemimpin Pembangunan Pertahanan

Fahmi Alfansi P Pane  ;   Tenaga Ahli DPR RI
REPUBLIKA, 05 April 2014
                                     
                                                                                         
                                                             
Indonesia memang kekurangan radar militer, pesawat tempur, tank tempur utama, sistem rudal pertahanan udara, kapal perang, kapal selam, perlengkapan pelindung personel, dan sebagainya. Indonesia juga kekurangan radar sipil, pesawat komersial, kapal angkutan, jalan, jembatan, jaringan telekomunikasi yang aman dan berkecepatan tinggi, dan lain-lain. Tetapi, di banding sektor lain, masalah pertahanan lebih kompleks, sehingga solusinya bukan sekadar meningkatkan anggaran.

Masalah pertahanan lebih pelik karena perencanaan anggaran pertahanan bersifat lebih terbatas, bahkan pada tingkat tertentu seharusnya digolongkan sebagai rahasia negara. Pada satu sisi, ini baik karena melindungi informasi strategis. Tetapi pada sisi lain, ada risiko pemanfaatan ketertutupan informasi untuk kepentingan pribadi.

Masalah lain yang lebih besar adalah belanja alat utama sistem senjata (alutsista) dan instrumen nonalutsista tidak semudah pembelian alat-alat sipil. Anggaran besar tidak menjamin kita dapat, lebih tepatnya boleh, membeli alutsista sesuai kebutuhan kita. Negara produsen mempunyai kebijakan politik dan keamanan tertentu yang memengaruhi alutsista apa yang dapat dibeli, utamanya kapabilitasnya.

Rencana pembelian pesawat F-16 Blok 52 oleh suatu negara besar di Asia Tenggara misalnya, bisa jadi dipandang meningkatkan risiko keamanan bagi Singapura yang mempunyai pesawat berkapabilitas sama. Negara produsen pun berkeputusan menjual pesawat F-16 Blok 25 yang berkapabilitas lebih rendah. Jangankan Indonesia yang bukan anggota aliansi pertahanan mana pun, bahkan negara sekutu pertahanan dari negara besar juga tidak selalu memperoleh akses teknologi dan kapabilitas sesuai kebutuhannya.

Sebagian alutsista juga tidak tersedia di pasar (over the counter). Karenanya, harus dibeli setelah serangkaian negosiasi tertutup, terutama untuk berbagai sistem persenjataannya. Beberapa alutsista diproduksi bersama, tetapi dalam banyak kasus terjadi penundaan penyelesaian bertahun-tahun, ketidaktepatan komitmen semua pihak akan besar investasi, perubahan politik luar negeri, dan lain-lain. Misalnya, produksi bersama pesawat F-35 oleh AS dan beberapa sekutu NATO.

Rencana produksi bersama pesawat tempur KFX/IFX oleh Indonesia dan Korea juga tertunda begitu Presiden Korea Park Geun-hye berkuasa. Saat ini, ke dua negara sepakat memproduksi bersama kapal selam. Tetapi, perubahan lingkungan strategis di Semenanjung Korea akhir-akhir ini dapat kembali memengaruhi keputusan para pemimpin negara.

Karena itu, presiden mendatang sebaiknya paham urusan pertahanan, luar negeri, dan keamanan nasional yang sangat kompleks dan dinamis, penuh ketidakpastian, dan risikonya sangat tinggi.

Kepribadian dan integritasnya juga harus baik. Ahli strategi, dan pandai memprediksi situasi sementara informasi sangat terbatas. Dia juga harus berdeterminasi tinggi, dan tidak mau visinya mem bangun pertahanan dikalahkan oleh kendala regulasi, birokrasi dan politik. Terlebih, presiden mendatang harus mampu mereduksi ketergantungan kita akan alutsista impor, yang menurut data Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2013 mencapai sekitar 86 persen untuk TNI, dan 87,5 persen untuk Polri.

Adapun soal anggaran pembangunan pertahanan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah mengupayakannya dan memperbaiki implementasinya dari tahun ke tahun. Dari beberapa dokumen pemerintah terlihat bahwa pada periode tahun fiskal 2005-2009, total realisasi anggaran Kemenhan hanya mencapai sekitar Rp 141 triliun. Namun, pada periode kedua pemerintahan SBY, total realisasi anggaran tahun 2010- 2013, ditambah anggaran tahun 2014 mencapai sekitar Rp 334 triliun. Salah satu terobosan Presiden SBY adalah melahirkan Keppres No 35/2011 yang mengalokasikan dana tambahan maksimal Rp 57 triliun khusus untuk alutsista.

Sungguh pun Presiden SBY sudah melakukan perbaikan, namun kepemimpinannya terhambat regulasi, birokrasi, dan politik. Riset tesis penulis (2013) menemukan bahwa pelaksanaan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional tidak dapat mengatasi masalah kesenjangan posisi, kewenangan, dan informasi antara menkeu, menteri bappenas, menhan, panglima TNI dan jajarannya.

Pertemuan trilateral, sidang kabinet hingga rapat-rapat dengan DPR sering dilakukan, tetapi keputusan akhir tetap di tangan Menkeu. Presiden mendatang sebaiknya mengarahkan seluruh menteri dan pejabat terkait untuk mengambil keputusan pembangunan pertahanan secara bersama. Kolaborasi itu menciptakan kepercayaan, sehingga anggaran yang direncanakan dan dilaksanakan akan lebih besar.

Pemimpin mendatang juga perlu mengonsolidasikan kapabilitas pertahanan untuk operasi kemanusiaan. Indonesia adalah negeri rawan bencana (ring of fire). Dalam berbagai bencana alam, TNI/Polri mampu memberikan bantuan segera. Tetapi, kita butuh kapabilitas untuk menolong lebih cepat, lebih baik dan di tempat yang lebih banyak secara simultan. Ini diselaraskan dengan operasi kemanusiaan ke luar negeri, termasuk ke kawasan mayoritas Muslim yang lebih mudah percaya dengan anggota TNI/Polri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar