Kamis, 24 April 2014

Wanito Oetomo

Wanito Oetomo  

Parni Hadi  ;   Wartawan, Aktivis Sosial
SINAR HARAPAN, 22 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Kemarin, 21 April, kita memperingati Hari Kartini. Sekalipun tidak semeriah setengah abad yang lalu, peringatan hari kelahiran Raden Ajeng (RA) Kartini sebagai perintis dan tokoh pejuang perempuan Indonesia itu tetap melestarikan ciri khasnya. Apa itu? Ibu-ibu, remaja putri, dan murid-murid perempuan mengenakan kain batik panjang dan kebaya dengan atau tanpa konde.

Perempuan berpakaian seperti itu untuk mengingatkan kita pada penampilan Kartini dan tokoh-tokoh pergerakan perempuan prakemerdekaan Indonesia. Semangat Kartini meningkatkan derajat dan martabat perempuan melalui pendidikan telah menginspirasi lahirnya sejumlah organisasi perempuan.

Satu di antaranya Wanito Oetomo yang artinya perempuan utama. Sekilas ini kedengaran mirip atau ada hubungannya dengan Boedi Oetomo, organisasi pergerakan kebangkitan nasional yang didirikan pada 20 Mei 1908?

Anda betul. Wanito Oetomo, kita singkat WO, memang didirikan para istri anggota Boedi Oetomo (BO). Inisiator WO adalah Nyonya Aisah Bintang Abdulkadir (1899-1990), istri dokter RM Abdulkadir, pengurus BO Yogyakarta.

Rumah dr Abdulkadir di Sosrokusuman, Yogyakarta, pada 1921 sering dipakai untuk pertemuan pengurus BO dari Yogyakarta, Batavia (Jakarta), Bandung, Solo, Semarang, dan Surabaya. Melihat kesibukan dan keakraban para suami, Aisah Bintang menjadi iri dan ingin berkenalan dengan istri-istri para bapak yang selalu rapat di rumahnya.

Ia kemudian mengusulkan bapak-bapak mengajak serta istri mereka di rapat-rapat berikutnya. Usul itu hanya disambut senyuman oleh bapak-bapak.

Aisah penasaran, lalu mengusulkan langsung kepada pengurus BO Yogyakarta. Bak gayung bersambut, para istri pengurus BO Yogya mendukung ide itu.

Bertepatan dengan peringatan Hari Kartini pada 1921, diadakan pertemuan pertama para istri pengurus BO di Sosrokusuman, mengundang beberapa perempuan lain. Dari sana, terbentuklah organisasi yang mereka idamkan dengan nama Wanito Oetomo. Demikian catatan Aisah Bintang Abdulkadir dalam memoarnya yang kemudian dirangkum dalam buku Secercah Cahaya dari Abad Silam.

Dengan bantuan para suami, ibu-ibu itu dapat belajar berorganisasi tanpa mempersoalkan politik. Anggota WO masih sedikit jumlahnya dan cara berpikir mereka masih sederhana. Rapat-rapat berlangsung dalam bahasa Jawa, demikian pula Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) WO disusun dalam bahasa Jawa.

Tujuan WO, seperti tertulis dalam AD-nya, adalah memajukan kaum perempuan sebagai 1. Seorang perempuan sejati, 2. Istri pendamping suami, 3. Ibu dan pendidik anak-anaknya, dan 4. Kepala rumah tangga yang dapat mengatur rumah dan keuangan keluarga dari hasil kerja suami.

Cambuk bagi Kaum Laki-laki.
Pendirian WO didahului pidato Aisah Bintang yang cukup panjang dan disiarkan surat kabar Boedi Oetomo, pada 27 April 1921. Hal yang menarik adalah komentar di bagian akhir pidato yang dimuat lengkap itu.

Untuk menangkap semangat zaman waktu itu, berikut adalah komentar itu (ejaan disesuaikan).

“Pada penghabisan pidato itu, riuhlah suara bertepuk tangan dari pihak laki-laki yang sama mendengarkan dengan sungguh. Mudahan Wanito Oetomo lulus hidupnya dengan subur dan mendapat sokongan pihak laki-laki yang merasa berkewajiban menuntun istrinya ke lapang keutamaan. Kemajuan kaum istri adalah menjadi penyokong atau lebih tegas menjadi cambuk bagi kaum laki-laki. Sungguh benar Raden Ayu dokter Abdulkadir, sesuatu bangsa itu tidak tersebut maju bila kaumnya perempuan masih belum maju.”

Ketua WO adalah RA Rio Gondoatmodjo, sedangkan Aisah Bintang, sang pemrakarsa, terpilih sebagai bendahara. Ia adalah pengurus termuda.

Untuk kemajuan anggotanya dan perempuan pada umumnya, WO menyelenggarakan berbagai kursus, seperti memasak, menjahit, merajut, menyulam, membatik, menabuh gamelan, dan menari. Ada pula kursus bahasa Jawa Kuno, Kawi, tembang, bahasa Indonesia, bahasa Belanda, dan bahasa Inggris.

Bagi yang belum bisa membaca dan menulis, diadakan kursus buta huruf. Perlu diingat, para istri waktu itu masih disebut konco wingking (teman belakang), selalu tinggal di rumah, tidak mudah diajak keluar.

WO mendapat dukungan dari Sultan Hamengkubuwono VIII. Kebetulan, Abdulakdir adalah dokter keraton Yogyakarta dan yang mengkhitan BRM Dorojatun yang kemudian menjadi Hamengkubuwono IX. Sastrawan besar India, Rabindranath Tagore, pun pernah mengunjungi kegiatan WO dan memberikan pujiannya.

Tanggal 22 Desember 1928, WO berhasil mengadakan kongres perempuan seluruh Indonesia di Yogyakarta. Hadir wakil dari Wanita Taman Siswa, Wanita Katolik, dan Wanita Aisiyah (Muhammadiyah).

Kongres itu menghasilkan kesepakatan untuk menyatukan seluruh organisasi perempuan dengan nama Persatoean Perempuan Indonesia (PPI), selanjutnya menjadi Persatoean Perkoempoelan Isteri Indonesia (PPII). Organisasi inilah yang mengilhami lahirnya Kowani (Kongres Wanita Indonesia), kemudian 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu.

Aisah Bintang tidak berpendikikan tinggi, hanya lulusan sekolah dasar Belanda. Setamat sekolah, ia langsung menikah dengan dr Abdulkadir yang usianya 23 tahun lebih tua.

Sekalipun demikian, ia berpikiran cemerlang dan berhasil membangun keluarga yang harmonis, serta menjadi organisator dan aktivis sosial sampai menjelang tutup usia. Ia mendukung profesi suaminya dengan memproduksi jamu yang diberi nama Podo Slamete (Sama-sama Selamat), yang masih diproduksi hingga kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar