Kamis, 24 April 2014

Menimbang Sikap TNI terhadap Capres

Menimbang Sikap TNI terhadap Capres  

Teddy Rusdy  ;   Mantan Asisten Perencanaan dan Anggaran Umum (Asrenum) Panglima ABRI/TNI 1987-1992
SINAR HARAPAN, 22 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Beberapa waktu lalu, kita sudah mengelar pemilihan legislatif. Meski hasil resmi belum diumumkan, kisaran angka perolehan partai peserta pemilu dari beberapa hasil survei dapat diperkirakan. Itu menjadi petunjuk awal gambaran calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) yang akan berebut kursi RI-1 dan RI-2.

Lagi dan lagi, menjelang pilpres ini ruang publik sudah sesak diisi tarik-menarik gagasan untuk memasangkan capres dan cawapres dari kalangan sipil-militer, militer-sipil, sipil-sipil, dan militer-militer.

Sebelumnya, lembaga Center for International Relations Studies (CIReS) Universitas Indonesia (UI) menilai, sejumlah purnawirawan TNI yang mendukung capres tertentu telah memperburuk citra lembaga di mata publik. Dukungan terbuka tersebut dinilai dapat menggiring persepsi masyarakat, bahwa korps angkatan bersenjata mengalami perpecahan sekaligus tidak menjaga netralitas.

CIReS menyebut, dukungan purnawirawan TNI untuk capres tertentu dinilai bertentangan dengan komitmen kesatuan untuk menjaga netralitas dalam Pemilu 2014, meski tidak melakukan pelanggaran karena sudah tidak berdinas lagi.

Hal yang menjadi perhatian CIReS tersebut adalah dampak sikap purnawirawan TNI terhadap persepsi masyarakat luas. Seolah diberlakukan sikap TNI aktif tidak boleh berkecenderungan politik kepartaian, tapi para purnawirawan dibolehkan.

Sampai di sini, publik masih dapat menangkap kebenarannya. Namun, justru yang belakangan berkembang adalah isu di tubuh TNI aktif pun mulai merebak pengaruh friksi dukungan, yang diduga pararel dengan sikap para purnawirawan dalam pencapresan.

Menyikapi hal ini, bagaimanakah sikap TNI dalam menghadapi pemilu presiden yang di dalamnya “bertabur bintang” tersebut? Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko menegaskan di Markas Besar TNI, Cilangkap, Senin (14/4), bahwa ia mengikuti perkembangan isu TNI aktif friktif tersebut melalui pemberitaan dan menegaskan TNI berada di bawah kendalinya sebagai Panglima TNI. Tidak ada pengelompokan, tidak ada TNI A berkiblat ke TNI B, TNI C berkiblat ke TNI D, tidak ada. Seluruh prajurit kiblatnya satu, dari pangkat prada sampai jenderal di tangan Panglima TNI.

Ketegasan sikap Panglima TNI tersebut mengingatkan saya pada amanah pertama Panglima Besar Jenderal Soedirman di hadapan konferensi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 12 November 1945. Pak Dirman (demikian ia akrab dipanggil) menyatakan, “Tentara tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau orang siapa pun juga.”

Pesan tegas Pak Dirman tersebut terkait dinamika politik pascakemerdekaan, ketika Wakil Presiden Muhammad Hatta mengeluarkan Maklumat Nomor X tertanggal 3 November 1945, yang mendorong pembentukan partai-partai politik untuk persiapan rencana penyelenggaraan Pemilu 1946.

Maklumat ini juga melegitimasi partai-partai politik yang telah terbentuk sebelumnya sejak zaman Belanda dan Jepang, serta mendorong terus lahirnya partai-partai politik baru. Dengan maklumat ini, pemerintah berharap partai-partai politik telah terbentuk sebelum penyelenggaraan pemilu anggota badan-badan perwakilan rakyat pada Januari 1946.

Namun, kemudian proses pemantapan demokrasi Indonesia yang baru lahir melalui rencana penyelenggaraan Pemilu 1946 itu tidak bisa diwujudkan. Itu karena konsentrasi bangsa Indonesia terfokus pada perjuangan mempertahankan kemerdekaan akibat kedatangan pasukan militer Sekutu. Pemilu bukan lagi prioritas hingga akhirnya baru dapat digelar pada 1955.

Hal yang patut dicermati adalah, sejarah mencatat sejak awal kelahiran bangsa Indonesia, TNI sudah menyadari posisinya dengan tidak menempatkan diri di domain partai atau golongan tertentu yang terlibat dalam kontestasi politik, tetapi berada pada posisi politik kenegaraan.

Politik kenegaraan yang dimaksud sebagaimana tertuang dalam UU TNI Nomor 34/2004 adalah, TNI bertugas menjaga eksistensi bangsa atau negara, yakni kedaulatan negara yang harus tetap tegak, keutuhan wilayah NKRI yang harus tetap terjaga, serta keselamatan bangsa dan segenap tumpah darah Indonesia yang harus tetap terjamin.

Sebagai alat negara yang dipersenjatai, wilayah gerak TNI tidak boleh terminimalisasi sebatas keperluan golongan atau partai, baik yang sedang memerintah atau partai lain yang berusaha “memengaruhi” TNI.

 Memang, muncul kekhawatiran TNI secara langsung atau tidak langsung menjadi simpatisan partai (memberi dukungan terselubung), mengingat tidak sedikit purnawirawan yang aktif di partai politik atau yang maju sebagai calon presiden.

Kekhawatiran itu harus cepat-cepat ditepis dengan pelaksanaan sikap satuan/perorangan/fasilitas TNI tidak dilibatkan pada rangkaian kegiatan pemilu, baik legislatif maupun presiden atau pilkada, dalam bentuk apa pun di luar tugas dan fungsi TNI.

Ketidakterlibatan itu juga mengingat panggilan Sapta Marga sebagai “patriot” penjaga ideologi negara yang bertanggung jawab, juga sebagai “prajurit” bhayangkari negara dan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, meski tidak berpolitik praktis, TNI justru memiliki tugas politik jauh lebih mulia, yaitu menjaga koridor NKRI yang berideologi Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945.

Tugas TNI adalah dalam rangka menjaga negara agar tidak miring ke haluan ideologi kiri atau kanan, tetapi tetap tegak di atas landasaan ideologi Pancasila dan UUD 1945. Di sinilah kita menemukan ketinggian makna amanat Panglima Besar Jenderal Soedirman 68 tahun silam itu. Siapa pun capres dan cawapresnya, “Tentara tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau orang siapa pun juga.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar