Jumat, 18 April 2014

UN Bukan Titian Maut

UN Bukan Titian Maut

Tri Marhaeni Pudji Astuti  ;   Guru Besar Antropologi
Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes
SUARA MERDEKA, 17 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
SETIAP menjelang dan selepas ujian nasional (UN), termasuk tahun ini, selalu berkembang opini dan mindset yang sama. Mengapa? Tulisan ini tak hendak membahas diskusi klasik ”UN itu perlu atau tidak perlu”, tapi mencoba sedikit menuangkan pengalaman saya ketika menjadi anggota tim pemantau UN di sebuah kabupaten. Karenanya, tulisan ini lebih mencoba menelaah secara empirik, dan jauh dari tendensi analisis ilmiah yang muluk-muluk berbasis teori.

Dari pengalaman selama ini, menjelang penyelenggaraan UN banyak pihak selalu ”heboh”, terutama orang tua dan pihak sekolah. Mulai dari ritual-ritual seperti menggelar doa bersama, istigasah (istighosah), mengadakan seminar motivasi, sampai ”memberi asupan makanan tambahan”.

Diakui atau tidak, ”ritual-ritual” seperti itu menjadikan UN seolah-olah sebagai sesuatu yang sakral dan menakutkan. ”Aura”-nya dibentuk, diciptakan secara magis, yang akhirnya menanamkan cekaman mindset banyak orang bahwa UN begitu menakutkan, begitu sulit, dan begitu sakral.

Andai berbagai ritual menjelang UN itu biasa dilakukan sehari-hari, tentulah tidak timbul ”aura” sakral, menakutkan, dan seolah-olah ”titian maut” yang harus dilewati dengan konsentrasi ekstra karena menentukan hidup-mati siswa. Ya, bukankah berdoa bisa dilakukan tiap saat, dan istigasah juga sah-sah saja diselenggarakan tak hanya pas akan menempuh UN? Memberi motivasi kepada siswa bisa dibiasakan oleh guru tiap waktu sehingga ”meresap”, dan akhirnya menumbuhkan keyakinan dalam jiwa siswa. Membentuk motivasi tidak bisa hanya sehari dua hari, tak semudah membalik telapak tangan.

Bagaimana caranya? Gurulah yang berperan penting. Maka andai dibiasakan tiap guru masuk kelas, pada 10 menit atau 5 menit awal sebelum menyajikan materi memberi motivasi siswa dengan hal-hal kecil tetapi menginspirasi, bukankah lebih bermanfaat daripada menggelar sekali seminar menjelang UN dengan menghadirkan pembicara kaliber nasional?

Mengapa? Motivasi perlu pembiasaan, internalisasi, pengendapan nilai penyemangat yang diberikan, sampai akhirnya siswa meyakini apa yang dia dengar tadi benar dan bermanfaat, maka akan dilakukan. Hal-hal kecil yang dialami guru, dengan model menceriterakannya kepada siswa, bisa memberi inspirasi, dan yang terpenting aura guru harus ”positif” dulu. Dengan bahasa tubuh yang hangat, wajah yang selalu tersenyum, ”berbicara dengan mata, telinga, dan hati”. Siswa akan merasa menemukan tambahan pengalaman yang ”luar biasa”.

Cara memotivasi ini biasa saya praktikkan di ruang-ruang perkuliahan. Pada setiap kuliah, entah di awal, di tengah, atau di akhir, saya selalu menceritakan hal-hal kecil yang saya alami yang memotivasi saya. Tidak sia-sia metode ini saya terapkan karena mahasiswa selalu mengaku terinspirasi. Hampir semua alumni selalu menyatakan, ”Terima kasih Bu, waktu kuliah Ibu sangat memotivasi dan menginspirasi kami...”

Menyemangati siswa tidak selalu berbekal membaca buku teori motivasi yang tebal-tebal dan sulit. Lakukan saja kebiasaan sehari-hari, menyangkut hal-hal kecil; sikapi dan lakukan agar menginspirasi siswa. Jika diberikan tiap hari, itu akan lebih mengena. Tentu termasuk yang terkait dengan UN.

Sampaikan hal-hal yang bersifat umum tentang sikap, kebiasaan, pengambilan keputusan, nilai-nilai, dan norma yang diyakini sehari-hari oleh siswa, yang semuanya akan bermanfaat untuk menghadapi UN. Bukan masalah UN-nya yang harus selalu disebut tiap hari, karena hal itu justru akan menjadi ”teror” seolah-olah UN adalah bom waktu yang siap meledak. Kata kuncinya, ujian adalah sebuah keniscayaan. Maka perlu ditanamkan pemahaman bahwa sekolah, belajar, dan ujian merupakan suatu kesatuan kegiatan yang tidak bisa saling terpisahkan.

Evaluasi Pelaksanaan

Dari sedikit pengalaman ketika memantau pelaksanaan UN di sebuah kabupaten pada awal pekan ini, ada sejumlah catatan yang perlu saya bagi. Saya setuju pelaksanaan UN mulai dari urusan penyimpanan soal, pengambilan dan pengiriman kembali soal, hingga pendistribusian ke sekolah-sekolah, semua dikawal polisi.

Hanya, rasanya tidak usah membunyikan sirene meraung-raung. Suka atau tidak suka, atmosfer itu membentuk persepsi dan opini di masyarakat betapa ”UN itu seperti teroris yang harus dikawal polisi” lengkap dengan heboh ”nguing-nguing”. Cukuplah polisi pengawal itu adalah ”Polisi Siaga” yang siap menghadapi segala kemungkinan, dan cepat mengambil keputusan, karena bagaimanapun UN adalah dokumen negara yang perlu diamankan.

Polisi yang memantau di sekolah-sekolah juga memakai pakaian preman saja seperti yang sudah dilakukan di daerah yang saya evaluasi. Jadi keberadaan polisi di sekolah tidak menciptakan ketegangan dan ketakutan, justru menghadirkan rasa aman bagi siswa sehingga dengan perasaan lepas mereka melaksanakan UN dengan jujur, baik, dan benar karena sudah ada yang menangani siapa pun yang mencoba bersikap curang. Usulan lain yang saya gagas, harus ada petugas medis di sekolah. Hal ini untuk mengantisipasi insiden-insiden yang kemungkinan dialami siswa. Ketegangan siswa setelah mengerjakan soal bisa memicu stres. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar