UN
Bukan Titian Maut
Tri Marhaeni Pudji Astuti ; Guru Besar Antropologi
Jurusan
Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes
|
SUARA
MERDEKA, 17 April 2014
SETIAP
menjelang dan selepas ujian nasional (UN), termasuk tahun ini, selalu
berkembang opini dan mindset yang
sama. Mengapa? Tulisan ini tak hendak membahas diskusi klasik ”UN itu perlu atau tidak perlu”, tapi
mencoba sedikit menuangkan pengalaman saya ketika menjadi anggota tim
pemantau UN di sebuah kabupaten. Karenanya, tulisan ini lebih mencoba
menelaah secara empirik, dan jauh dari tendensi analisis ilmiah yang
muluk-muluk berbasis teori.
Dari
pengalaman selama ini, menjelang penyelenggaraan UN banyak pihak selalu
”heboh”, terutama orang tua dan pihak sekolah. Mulai dari ritual-ritual
seperti menggelar doa bersama, istigasah (istighosah), mengadakan seminar
motivasi, sampai ”memberi asupan makanan tambahan”.
Diakui
atau tidak, ”ritual-ritual” seperti itu menjadikan UN seolah-olah sebagai
sesuatu yang sakral dan menakutkan. ”Aura”-nya dibentuk, diciptakan secara
magis, yang akhirnya menanamkan cekaman mindset banyak orang bahwa UN begitu
menakutkan, begitu sulit, dan begitu sakral.
Andai
berbagai ritual menjelang UN itu biasa dilakukan sehari-hari, tentulah tidak
timbul ”aura” sakral, menakutkan, dan seolah-olah ”titian maut” yang harus
dilewati dengan konsentrasi ekstra karena menentukan hidup-mati siswa. Ya,
bukankah berdoa bisa dilakukan tiap saat, dan istigasah juga sah-sah saja
diselenggarakan tak hanya pas akan menempuh UN? Memberi motivasi kepada siswa
bisa dibiasakan oleh guru tiap waktu sehingga ”meresap”, dan akhirnya
menumbuhkan keyakinan dalam jiwa siswa. Membentuk motivasi tidak bisa hanya sehari
dua hari, tak semudah membalik telapak tangan.
Bagaimana
caranya? Gurulah yang berperan penting. Maka andai dibiasakan tiap guru masuk
kelas, pada 10 menit atau 5 menit awal sebelum menyajikan materi memberi
motivasi siswa dengan hal-hal kecil tetapi menginspirasi, bukankah lebih
bermanfaat daripada menggelar sekali seminar menjelang UN dengan menghadirkan
pembicara kaliber nasional?
Mengapa?
Motivasi perlu pembiasaan, internalisasi, pengendapan nilai penyemangat yang
diberikan, sampai akhirnya siswa meyakini apa yang dia dengar tadi benar dan
bermanfaat, maka akan dilakukan. Hal-hal kecil yang dialami guru, dengan
model menceriterakannya kepada siswa, bisa memberi inspirasi, dan yang
terpenting aura guru harus ”positif” dulu. Dengan bahasa tubuh yang hangat,
wajah yang selalu tersenyum, ”berbicara dengan mata, telinga, dan hati”.
Siswa akan merasa menemukan tambahan pengalaman yang ”luar biasa”.
Cara
memotivasi ini biasa saya praktikkan di ruang-ruang perkuliahan. Pada setiap
kuliah, entah di awal, di tengah, atau di akhir, saya selalu menceritakan
hal-hal kecil yang saya alami yang memotivasi saya. Tidak sia-sia metode ini
saya terapkan karena mahasiswa selalu mengaku terinspirasi. Hampir semua
alumni selalu menyatakan, ”Terima kasih
Bu, waktu kuliah Ibu sangat memotivasi dan menginspirasi kami...”
Menyemangati
siswa tidak selalu berbekal membaca buku teori motivasi yang tebal-tebal dan
sulit. Lakukan saja kebiasaan sehari-hari, menyangkut hal-hal kecil; sikapi
dan lakukan agar menginspirasi siswa. Jika diberikan tiap hari, itu akan
lebih mengena. Tentu termasuk yang terkait dengan UN.
Sampaikan
hal-hal yang bersifat umum tentang sikap, kebiasaan, pengambilan keputusan,
nilai-nilai, dan norma yang diyakini sehari-hari oleh siswa, yang semuanya
akan bermanfaat untuk menghadapi UN. Bukan masalah UN-nya yang harus selalu
disebut tiap hari, karena hal itu justru akan menjadi ”teror” seolah-olah UN
adalah bom waktu yang siap meledak. Kata kuncinya, ujian adalah sebuah
keniscayaan. Maka perlu ditanamkan pemahaman bahwa sekolah, belajar, dan
ujian merupakan suatu kesatuan kegiatan yang tidak bisa saling terpisahkan.
Evaluasi Pelaksanaan
Dari
sedikit pengalaman ketika memantau pelaksanaan UN di sebuah kabupaten pada
awal pekan ini, ada sejumlah catatan yang perlu saya bagi. Saya setuju
pelaksanaan UN mulai dari urusan penyimpanan soal, pengambilan dan pengiriman
kembali soal, hingga pendistribusian ke sekolah-sekolah, semua dikawal
polisi.
Hanya,
rasanya tidak usah membunyikan sirene meraung-raung. Suka atau tidak suka,
atmosfer itu membentuk persepsi dan opini di masyarakat betapa ”UN itu seperti teroris yang harus dikawal
polisi” lengkap dengan heboh ”nguing-nguing”. Cukuplah polisi pengawal
itu adalah ”Polisi Siaga” yang siap menghadapi segala kemungkinan, dan cepat
mengambil keputusan, karena bagaimanapun UN adalah dokumen negara yang perlu
diamankan.
Polisi
yang memantau di sekolah-sekolah juga memakai pakaian preman saja seperti
yang sudah dilakukan di daerah yang saya evaluasi. Jadi keberadaan polisi di
sekolah tidak menciptakan ketegangan dan ketakutan, justru menghadirkan rasa
aman bagi siswa sehingga dengan perasaan lepas mereka melaksanakan UN dengan
jujur, baik, dan benar karena sudah ada yang menangani siapa pun yang mencoba
bersikap curang. Usulan lain yang saya gagas, harus ada petugas medis di
sekolah. Hal ini untuk mengantisipasi insiden-insiden yang kemungkinan
dialami siswa. Ketegangan siswa setelah mengerjakan soal bisa memicu stres. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar