Perjuangkan
Terus Perempuan
Rini Sudarmanti ; Direktur Penelitian Paramadina Women Institute
|
MEDIA
INDONESIA, 16 April 2014
PESTA demokrasi baru saja
usai pada Rabu, 9 April lalu. Setiap warga negara, baik itu laki-laki maupun
perempuan, bebas memilih siapa saja yang dianggapnya dapat dipercaya untuk
mewakili opini atau aspirasinya di lembaga legislatif. Ingar-bingar
pesan-pesan politik pada masa kampanye mulai diperhitungkan pada hari
tersebut. Di antara pesan-pesan politik yang didengungkan terselip pesan `Pilihlah caleg perempuan'.
Mengapa perempuan? April
ini merupakan momen berarti buat perempuan. Bukan hanya bagi pemilih
perempuan, melainkan juga bagi para caleg perempuan terpilih untuk memastikan
dan memantapkan langkah ke depan guna menggariskan langkah upaya memperbaiki
kehidupan dan kesejahteraan perempuan sebagaimana dicita-citakan RA Kartini.
Pengharapan besar tentunya diemban di pundak para caleg perempuan yang
berhasil mendapatkan suara sehingga terpilih menjadi wakil rakyat.
Cara
perempuan mampu memperjuangkan suara perempuan lain dari kacamata sesama
perempuan menjadi wacana tersendiri yang merupakan agenda khusus di masa
keterwakilannya nanti.
Hasil sensus penduduk
mencatat proporsi penduduk perempuan mencapai sekitar 49,7%. Itu jumlah yang
hampir sama banyak dengan penduduk laki-laki. Proporsi tersebut pun merupakan
gambaran bahwa jumlah perempuan di Indonesia merupakan aset potensial yang
penting untuk berperan dalam pembangunan bangsa. Namun, sayangnya, potensi
itu tidak sebanding dengan peran partisipasi mereka di hampir semua bidang
kehidupan, yang umumnya masih didominasi laki-laki.
Kondisi tersebut dapat
dilihat, misalnya, dari nilai indeks kesejahteraan gender untuk aspek
pendidikan. Secara nasional, kesempatan penduduk perempuan berumur 15 tahun
ke atas yang dapat melek huruf atau mampu membaca menulis hanya sekitar 0,40
atau kurang dari separuhnya bila dibandingkan dengan penduduk laki-laki dalam
rentang usia yang sama.
Kesejahteraan perempuan
yang belum mumpuni juga bisa dilihat dari gagalnya penurunan jumlah angka
kematian ibu secara signifikan. Berdasarkan hasil survei BKKBN, angka
kematian ibu (AKI) Indonesia pada 2012 mencapai 359 per 100 ribu kelahiran
hidup. Angka rata-rata itu jauh lebih besar ketimbang hasil survei pada 2007
yang mencapai 228 per 100 ribu kelahiran.
Tidak hanya itu, menurut
catatan Komnas Perempuan, kasus kekerasan terhadap perempuan masih terjadi
dan mencapai angka 119.107 kasus hingga 2011. Jumlah itu meningkat
dibandingkan 2010 yang tercatat 105.103 kasus. Sebanyak 96% di antaranya
kasus kekerasan domestik dan bentuknya pun tidak hanya kekerasan fisik,
tetapi juga psikologis.
Kesempatan perempuan
berpartisipasi dalam barisan angkatan kerja hanya sekitar 1/5 kesempatan
lakilaki. Hal itu menunjukkan partisipasi perempuan dalam akses pasar dunia
kerja masih lebih rendah daripada laki-laki. Sementara itu, perempuan
berpotensi menjadi penganggur lebih tinggi ketimbang laki-laki, yaitu 1,14
kali dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan akan menjadi beban ekonomi negara.
Salah satu langkah yang tampak untuk
mengatasi hal tersebut ialah mendorong perempuan untuk berdaya secara ekonomi
melalui wiraswasta atau menjadi pengusaha pada level ekonomi kecil dan
menengah.
Kendala yang muncul ketika
perempuan bekerja dan berkarya ialah waktu. Pada umumnya perempuan masih
tetap berusaha menyelaraskan tanggung jawabnya untuk mengurus rumah tangga.
Nilai indeks untuk kategori jam kerja, perempuan lebih nyaman bekerja selama
10-14 jam seminggu sebesar 2,37 kali jika dibandingkan dengan laki-laki,
sedangkan untuk kategori 35 jam seminggu, perempuan hanya 0,49 kali jika
dibandingkan dengan waktu bekerja laki-laki.
Kondisi seperti itu
memengaruhi peluang perempuan bekerja dalam ruang publik atau bahkan menjadi
pemimpin. Meskipun terlihat ada peningkatan jumlah pemimpin perempuan, dari
9% pada pada 2009 menjadi 16% pada 2013, jumlah tersebut masih belumlah
memadai. UndangUndang No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu 2004 mengalokasikan
kuota 30% keterwakilan perempuan untuk berkiprah di lembaga legislatif. Data
dari Biro Pusat Statistik pada periode 1999-2004 mencatat hanya sekitar 45
perempuan atau 9% perempuan yang saat ini duduk di lembaga DPR.
Sementara itu, pada Pemilu
2009, jumlah anggota perempuan meningkat menjadi 101 orang (18,04%). Peningkatan
itu tentunya sangat signifikan karena akan memengaruhi suara perempuan dalam
proses pembuatan berbagai kebijakan atau keputusan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, terutama untuk kaum perempuan
Indonesia sendiri. Tentunya harapan ke depan, hasil Pemilu 2014 ini akan jauh
lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya seiring dengan meningkatnya kesadaran
perempuan akan hak-haknya termasuk hak politiknya.
Isu perempuan
memperjuangkan perempuan menjadi sangat penting untuk diangkat. Perempuan
untuk bisa muncul berkiprah dalam ruang publik saja sudah merupakan kesulitan
tersendiri, apalagi mem perjuangkan perempuan lainnya. Mata rantai utama pada
upaya itu dipegang perempuan-perempuan yang sudah lebih dahulu menggapai
mencapai puncak keberhasilan, semisal para wakil rakyat perempuan terpilih,
pemimpin perempuan baik itu di lingkungan swasta maupun pemerintahan,
komunitas rumah tangga, organisasi, dan bahkan pada sektor pendidikan.
Merekalah yang akan menjadi contoh, mengader, dan bahkan kemudian menularkan
semangat kepada perempuan-perempuan yang ada di sekitar mereka.
Itu merupakan modal awal
yang perlu dimiliki agar dapat dengan bijak mengurai permasalahan dan
menjembatani persoalan perempuan yang saat ini sudah telanjur berada dalam
konteks sosial kehidupan yang sudah dibangun laki-laki. Bukankah tidak ada perbedaan pemahaman di antara kita
semua bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama di mata Tuhan? Perempuan dan
laki-laki sama-sama diciptakan untuk bahu membahu membangun kehidupan manusia
yang adil dan beradab. Mari bersama membangun bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar