Penyerahan
Diri Sang Pemimpin
Aloys Budi Purnomo ; Rohaniwan, Budayawan Intereligius, Ketua Komisi Hubungan
Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang, Wakil Ketua FKUB Jateng
|
SUARA
MERDEKA, 17 April 2014
"Berkait pilpres, kita butuh
sosok pemimpin seperti Yesus Kristus, yang rela menyerahkan hidupnya untuk
rakyat"
KAHLIL
Gibran (1833-1931) berpuisi tentang kematian Yesus Kristus secara indah, dan
menjadi puisi abadi. Ia bertutur, ”Ketika
Orang kesayangan itu mati, seluruh manusia pun mati, seluruh makhluk sejenak
terdiam dan kelabu. Ufuk timur menggelap, badai terlepas dari sana menyapu
daratan. Mata langit berkedipan, hujan tercurah dari saluran membasuh darah
yang mengucur dari tangan dan kaki-Nya.” (Jesus, the Son of Man, New York:1928).
Puisi
Kahlil Gibran masih terus menyentuh jiwa. Bukan karena puisinya melainkan
karena sosok yang dipuisikannya: Yesus Kristus. Kematian-Nya membuat manusia
universal berduka, bahkan yang belum pernah mengenal-Nya sekalipun. Tak hanya
manusia, tetapi juga semesta.
Salib
adalah momen penyerahan total Yesus Kristus kepada Allah dan manusia. Yesus
yang disalibkan mati dalam kesadaran sepenuhnya, bukan akibat penganiayaan
dan penderitaan yang harus ditanggung, melainkan karena kecintaan-Nya kepada
Allah dan manusia. Yohanes, salah
seorang murid yang setia hingga Golgota, dalam Injil yang ditulisnya
menggambarkan kisah kematian-Nya yang penuh kesadaran itu sebagai sebuah
penyerahan diri.
Maka,
penulis Injil yang menjadi saksi mata detik-detik terakhir kematian-Nya
karena ia berdiri di dekat salib Yesus, berkata, ’’Ia berkata: Sudah selesai. Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan
menyerahkan nyawa-Nya” (Yohanes 19:30).
Itulah
kesaksian yang ditulis dari realitas yang dihadapinya dengan mata sendiri.
Yohanes menyaksikan dengan matanya, mendengar dengan telinganya, dan meraba
jenazah-Nya dengan tangannya. Dialah yang bersama Nikodemus dan Yusuf dari
Arimatea menurunkan jenazah Yesus dari kayu salib, mengafaninya dan
membaringkannya dalam kubur baru di sebuah taman tak jauh dari bukit
penyaliban.
Yesus
adalah sosok korban yang menjadi juru selamat. Ia tidak melarikan diri dari
rasa sakit. Justru dengan tulus ikhlas, rasa sakit, penderitaan dan kematian
itu diterima dan ditempuh sebagai bagian dari perutusan-Nya sampai akhir
hidup-Nya. Dengan itu, Ia telah menghadirkan kebenaran Allah sebagai Sang
Kasih yang memihak kepada umat, yang bersimpati kepada rakyat, yang rela
menyerahkan nyawa demi keselamatan universal umat manusia, tanpa
diskriminasi.
Ia
menyerahkan diri-Nya sebagai silih dan tebusan atas dosa manusia dan semesta.
Dengan luka-luka, sakit dan kematian-Nya, Yesus membawa kehidupan baru dan
pengharapan masa depan bagi semua orang. Yesus membuka lebar-lebar pintu
kasih bagi dunia dan hati tiap orang yang remuk redam dan hancur oleh
ketidakadilan.
Paling Dramatis
Adalah
fakta sejarah bahwa kematian Yesus di kayu salib merupakan salah satu
peristiwa yang paling dramatis dalam sejarah kehidupan manusia. Orang yang
tidak bersalah, penuh kasih, mewartakan damai dan sejahtera, disambut dengan
penolakan, penganiayaan, pengkhianatan, dan penyaliban. Ia datang dengan
tanda-tanda dan mukjizat yang hebat, namun disambut cemoohan, kekerasan, dan
kebengisan.
Pada
peristiwa salib, hidup-Nya seakan gagal. Kebencian seakan-akan sudah
mengalahkan kasih. Dia datang untuk menawarkan kehidupan, namun dilemparkan
ke dalam jurang kebengisan, penolakan, dan kesadisan hukuman salib. Tapi,
menilik cara kematian-Nya seperti diwartakan Yohanes dan dipuisikan Kahlil
Gibran, kita bisa melihat dan mengalami bahwa Dia yang tampaknya telah
dikalahkan, dan tampaknya telah gagal, bahkan mengalami kematian, justru
membuka sumber kehidupan baru, menghadirkan visi universal kemanusiaan, dan
merintis jalan menuju damai dan sejahtera.
Salib
dan kematian Yesus bukan akhir melainkan sebuah awal: awal terbukanya
pintu-pintu keselamatan universal dan awal pengharapan menuju masa depan yang
cerah. Dalam Bahasa Latin dikatakan, per
crucem ad lucem, melalui salib menuju cahaya. Pada peristiwa salib,
kebenaran menjadi cahaya yang bersinar dalam kegelapan.
Pada
kayu salib, Yesus memberikan hidup-Nya bagi orang-orang yang dikasihi juga
bagi orang-orang yang memusuhi. Apa relevansi penyerahan diri Yesus bagi kita
saat ini? Setelah proses pemilu legislatif pada 9 April lalu, dan dalam
rangka menyongsong pemilu presiden 9 Juli mendatang, kita butuh sosok
pemimpin seperti Yesus Kristus, yang rela menyerahkan hidupnya untuk rakyat.
Kita merindukan pemimpin yang mau berkorban demi kepentingan umum. Bukan
pemimpin yang haus kekuasaan, kekayaan dan kejayaan, apalagi melalui korupsi
dan kekerasan.
Kalau
demikian, proses demokrasi laksana peristiwa salib menuju kehidupan. Per
crucem ad lucem. Semoga demikianlah masa depan bangsa ini, dipenuhi para
pemimpin yang rela menyerahkan diri dan hidupnya bagi rakyat dan masyarakat.
Dengan begitu mereka akan sungguh-sungguh menjadi bapak bangsa. Selamat Paskah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar