Jumat, 18 April 2014

Penyerahan Diri Sang Pemimpin

Penyerahan Diri Sang Pemimpin

Aloys Budi Purnomo  ;   Rohaniwan, Budayawan Intereligius, Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang, Wakil Ketua FKUB Jateng
SUARA MERDEKA, 17 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
"Berkait pilpres, kita butuh sosok pemimpin seperti Yesus Kristus, yang rela menyerahkan hidupnya untuk rakyat"

KAHLIL Gibran (1833-1931) berpuisi tentang kematian Yesus Kristus secara indah, dan menjadi puisi abadi. Ia bertutur, ”Ketika Orang kesayangan itu mati, seluruh manusia pun mati, seluruh makhluk sejenak terdiam dan kelabu. Ufuk timur menggelap, badai terlepas dari sana menyapu daratan. Mata langit berkedipan, hujan tercurah dari saluran membasuh darah yang mengucur dari tangan dan kaki-Nya.” (Jesus, the Son of Man, New York:1928).

Puisi Kahlil Gibran masih terus menyentuh jiwa. Bukan karena puisinya melainkan karena sosok yang dipuisikannya: Yesus Kristus. Kematian-Nya membuat manusia universal berduka, bahkan yang belum pernah mengenal-Nya sekalipun. Tak hanya manusia, tetapi juga semesta.

Salib adalah momen penyerahan total Yesus Kristus kepada Allah dan manusia. Yesus yang disalibkan mati dalam kesadaran sepenuhnya, bukan akibat penganiayaan dan penderitaan yang harus ditanggung, melainkan karena kecintaan-Nya kepada Allah dan manusia. Yohanes,  salah seorang murid yang setia hingga Golgota, dalam Injil yang ditulisnya menggambarkan kisah kematian-Nya yang penuh kesadaran itu sebagai sebuah penyerahan diri.

Maka, penulis Injil yang menjadi saksi mata detik-detik terakhir kematian-Nya karena ia berdiri di dekat salib Yesus, berkata, ’’Ia berkata: Sudah selesai. Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya” (Yohanes 19:30).

Itulah kesaksian yang ditulis dari realitas yang dihadapinya dengan mata sendiri. Yohanes menyaksikan dengan matanya, mendengar dengan telinganya, dan meraba jenazah-Nya dengan tangannya. Dialah yang bersama Nikodemus dan Yusuf dari Arimatea menurunkan jenazah Yesus dari kayu salib, mengafaninya dan membaringkannya dalam kubur baru di sebuah taman tak jauh dari bukit penyaliban.

Yesus adalah sosok korban yang menjadi juru selamat. Ia tidak melarikan diri dari rasa sakit. Justru dengan tulus ikhlas, rasa sakit, penderitaan dan kematian itu diterima dan ditempuh sebagai bagian dari perutusan-Nya sampai akhir hidup-Nya. Dengan itu, Ia telah menghadirkan kebenaran Allah sebagai Sang Kasih yang memihak kepada umat, yang bersimpati kepada rakyat, yang rela menyerahkan nyawa demi keselamatan universal umat manusia, tanpa diskriminasi.

Ia menyerahkan diri-Nya sebagai silih dan tebusan atas dosa manusia dan semesta. Dengan luka-luka, sakit dan kematian-Nya, Yesus membawa kehidupan baru dan pengharapan masa depan bagi semua orang. Yesus membuka lebar-lebar pintu kasih bagi dunia dan hati tiap orang yang remuk redam dan hancur oleh ketidakadilan.

Paling Dramatis

Adalah fakta sejarah bahwa kematian Yesus di kayu salib merupakan salah satu peristiwa yang paling dramatis dalam sejarah kehidupan manusia. Orang yang tidak bersalah, penuh kasih, mewartakan damai dan sejahtera, disambut dengan penolakan, penganiayaan, pengkhianatan, dan penyaliban. Ia datang dengan tanda-tanda dan mukjizat yang hebat, namun disambut cemoohan, kekerasan, dan kebengisan.

Pada peristiwa salib, hidup-Nya seakan gagal. Kebencian seakan-akan sudah mengalahkan kasih. Dia datang untuk menawarkan kehidupan, namun dilemparkan ke dalam jurang kebengisan, penolakan, dan kesadisan hukuman salib. Tapi, menilik cara kematian-Nya seperti diwartakan Yohanes dan dipuisikan Kahlil Gibran, kita bisa melihat dan mengalami bahwa Dia yang tampaknya telah dikalahkan, dan tampaknya telah gagal, bahkan mengalami kematian, justru membuka sumber kehidupan baru, menghadirkan visi universal kemanusiaan, dan merintis jalan menuju damai dan sejahtera.

Salib dan kematian Yesus bukan akhir melainkan sebuah awal: awal terbukanya pintu-pintu keselamatan universal dan awal pengharapan menuju masa depan yang cerah. Dalam Bahasa Latin dikatakan, per crucem ad lucem, melalui salib menuju cahaya. Pada peristiwa salib, kebenaran menjadi cahaya yang bersinar dalam kegelapan.

Pada kayu salib, Yesus memberikan hidup-Nya bagi orang-orang yang dikasihi juga bagi orang-orang yang memusuhi. Apa relevansi penyerahan diri Yesus bagi kita saat ini? Setelah proses pemilu legislatif pada 9 April lalu, dan dalam rangka menyongsong pemilu presiden 9 Juli mendatang, kita butuh sosok pemimpin seperti Yesus Kristus, yang rela menyerahkan hidupnya untuk rakyat. Kita merindukan pemimpin yang mau berkorban demi kepentingan umum. Bukan pemimpin yang haus kekuasaan, kekayaan dan kejayaan, apalagi melalui korupsi dan kekerasan.

Kalau demikian, proses demokrasi laksana peristiwa salib menuju kehidupan. Per crucem ad lucem. Semoga demikianlah masa depan bangsa ini, dipenuhi para pemimpin yang rela menyerahkan diri dan hidupnya bagi rakyat dan masyarakat. Dengan begitu mereka akan sungguh-sungguh menjadi bapak bangsa. Selamat Paskah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar