Jurus
Tandur
Sukardi Rinakit ; Pendiri Soegeng Sarjadi Syndicate dan Kaliaren Foundation
|
KOMPAS,
22 April 2014
Hormat
saya kepada Surya Paloh yang cita-citanya lebih besar dari dirinya sendiri.
Dengan tidak menegosiasikan dirinya sebagai calon wakil presiden Joko Widodo,
calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, ia telah membunuh
libido kekuasaannya. Sekecil apa pun keputusan tersebut, itu merupakan bagian
dari kebajikan (virtue) politik.
Hal
tersebut konkuren dengan langkah Jokowi yang tampak sedang berusaha
membangkitkan alam bawah sadar bangsa. Dalam geraknya mendekati partai lain
setelah hasil hitung cepat pemilu legislatif diumumkan, bukan istilah koalisi
yang dia pergunakan, melainkan kerja sama.
Terminologi
tersebut tampaknya sederhana. Namun, kerja sama adalah formulasi lain dari
istilah sakral yang dulu sudah selesai dirumuskan oleh para pendiri Republik
berdasarkan sejarah panjang Nusantara, yaitu musyawarah mufakat dan gotong
royong. Sebuah praktik demokrasi yang tidak semata-mata bertumpu pada satu
orang satu suara dan transaksi politik seperti dikandung dalam koalisi,
tetapi konsensus bersama demi kepentingan yang lebih besar, yaitu bangsa dan negara.
Mencermati
langkah Jokowi tersebut, saya jadi teringat lagu grup musik Slank yang
berjudul ”Jurus Tandur”, akronim dari maju terus pantang mundur. ”Maju terus
pantang mundur/langkah ke depan/jangan ke belakang. Maju terus pantang
mundur/untuk kebenaran.... Maju terus pantang mundur, demi keadilan...”.
Meskipun
banyak pihak, terutama analis politik, mencemooh penggunaan istilah kerja
sama sebagai pijakan dasar dalam mendekati partai-partai politik agar
bergabung dengan PDI-P untuk mengusung dia sebagai calon presiden, Jokowi
jalan terus. Mungkin dia meyakini bahwa formulasi itulah yang menjadi jiwa
dari kemerdekaan Indonesia dan kelangsungan hidup bangsa ke depan.
Dengan
konstruksi berpikir seperti itu, bisa dipahami apabila partai politik yang
selama ini terkungkung dalam wahana berpolitik adalah dalam rangka
mendapatkan kekuasaan dan memperoleh hak-hak istimewa ekonomi merasa aneh
dengan langkah Jokowi tersebut. Penulis yang selama ini terbiasa
mempergunakan istilah koalisi sejujurnya juga belum terbiasa dengan istilah
kerja sama.
Hal itu
menunjukkan tanpa sadar sebagian besar dari kita telah mengubur semangat dan
praktik musyawarah mufakat dan gotong royong yang sejatinya merupakan
identitas dan kebijaksanaan asli Nusantara. Tidak mengherankan apabila wacana
penggabungan partai politik menjadi berisik seperti yang sekarang ini
berlangsung.
Hampir
semua partai menengah bermanuver semata-mata ingin menaikkan bargaining
position di mata tiga partai yang menurut hasil hitung cepat menduduki tempat
teratas (PDI-P, Golkar, dan Gerindra). Bahkan, partai Islam mencoba menggodok
kemungkinan membentuk poros tengah untuk mengubah konfigurasi politik.
Harapannya,
poros Islam menjadi kaukus baru menggeser posisi salah satu dari tiga partai
utama itu. Apabila langkah itu gagal, setidaknya daya tawar mereka terhadap
salah satu dari ketiga partai tersebut akan kuat. Namun, kalau dilihat dari
miskinnya tokoh yang menjadi preferensi publik di partai-partai Islam,
rasanya sulit mereka memenangi kontestasi pemilu presiden. Terlebih lagi, di
era budaya pop sekarang ini, pencitraan figur dalam batas-batas tertentu
diperlukan.
Di sisi
lain, berbeda dengan PDI-P dan Golkar, Partai Gerindra sangat aktif melakukan
pendekatan kepada partai-partai lain. Dalam perspektif budaya politik,
langkah aktif itu akan mendatangkan manfaat apabila dilakukan secara terukur.
Sayang sekali,
Gerindra
cenderung terlalu aktif jika tidak boleh disebut agresif dalam bermanuver
sejak kampanye pemilu legislatif digelar.
Itu
mengurangi daya dobrak kerja jaring- an di struktur basis yang sudah digarap
lama dan iklan yang ditebar di media massa. Alam bawah sadar bangsa ini tidak
suka sindiran berlebih, kesinisan, dan pameran kekuatan. Secara hipotesis,
kalau pimpinan Gerindra bisa mengukur secara bijak langkah politiknya,
perolehan suaranya diperkirakan lebih tinggi daripada yang diperoleh
sekarang.
Langkah
yang kurang terukur, seperti yang kini sedang berlangsung, yaitu terkesan
tidak mengambil jarak dalam konflik internal Partai Persatuan Pembangunan,
dapat memicu partai-partai lain mempertimbangkan lebih dalam untuk bergabung
dengan Gerindra. Apabila hal itu berlaku, Gerindra bisa berjalan sendirian.
Sungai politik yang semula berpusar di tiga kaukus (PDI-P, Golkar, dan
Gerindra) tidak tertutup kemungkinan akan mengkristal ke dalam dua aliran,
yaitu kelompok PDI-P dan Golkar.
PDI-P
akan bermitra dengan Partai Nasdem, PKB, kemungkinan PAN, dan PKPI
(nonfaktor) dalam mengusung Jokowi sebagai calon presiden. Sesuai hasil
survei lembaga-lembaga independen, Jusuf Kalla mempunyai peluang tertinggi
sebagai cawapresnya. Adapun mitra Golkar adalah PD, Hanura, PKS, PPP, dan PBB
(nonfaktor). Sampai hari ini, Aburizal Bakrie adalah calon presiden yang
mungkin diusung kaukus ini.
Melihat
itu semua, suka atau tidak, rasanya sulit membendung Jokowi yang kini sudah
memegang narasi publik. Dengan kesederhanaan dan kekerempengan-nya, dia
adalah pemanggul prinsip ”jurus tandur” demi Indonesia Raya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar