Rabu, 23 April 2014

Jurus Tandur

Jurus Tandur  

Sukardi Rinakit  ;   Pendiri Soegeng Sarjadi Syndicate dan Kaliaren Foundation
KOMPAS, 22 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Hormat saya kepada Surya Paloh yang cita-citanya lebih besar dari dirinya sendiri. Dengan tidak menegosiasikan dirinya sebagai calon wakil presiden Joko Widodo, calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, ia telah membunuh libido kekuasaannya. Sekecil apa pun keputusan tersebut, itu merupakan bagian dari kebajikan (virtue) politik.

Hal tersebut konkuren dengan langkah Jokowi yang tampak sedang berusaha membangkitkan alam bawah sadar bangsa. Dalam geraknya mendekati partai lain setelah hasil hitung cepat pemilu legislatif diumumkan, bukan istilah koalisi yang dia pergunakan, melainkan kerja sama.

Terminologi tersebut tampaknya sederhana. Namun, kerja sama adalah formulasi lain dari istilah sakral yang dulu sudah selesai dirumuskan oleh para pendiri Republik berdasarkan sejarah panjang Nusantara, yaitu musyawarah mufakat dan gotong royong. Sebuah praktik demokrasi yang tidak semata-mata bertumpu pada satu orang satu suara dan transaksi politik seperti dikandung dalam koalisi, tetapi konsensus bersama demi kepentingan yang lebih besar, yaitu bangsa dan negara.

Mencermati langkah Jokowi tersebut, saya jadi teringat lagu grup musik Slank yang berjudul ”Jurus Tandur”, akronim dari maju terus pantang mundur. ”Maju terus pantang mundur/langkah ke depan/jangan ke belakang. Maju terus pantang mundur/untuk kebenaran.... Maju terus pantang mundur, demi keadilan...”.

Meskipun banyak pihak, terutama analis politik, mencemooh penggunaan istilah kerja sama sebagai pijakan dasar dalam mendekati partai-partai politik agar bergabung dengan PDI-P untuk mengusung dia sebagai calon presiden, Jokowi jalan terus. Mungkin dia meyakini bahwa formulasi itulah yang menjadi jiwa dari kemerdekaan Indonesia dan kelangsungan hidup bangsa ke depan.

Dengan konstruksi berpikir seperti itu, bisa dipahami apabila partai politik yang selama ini terkungkung dalam wahana berpolitik adalah dalam rangka mendapatkan kekuasaan dan memperoleh hak-hak istimewa ekonomi merasa aneh dengan langkah Jokowi tersebut. Penulis yang selama ini terbiasa mempergunakan istilah koalisi sejujurnya juga belum terbiasa dengan istilah kerja sama.

Hal itu menunjukkan tanpa sadar sebagian besar dari kita telah mengubur semangat dan praktik musyawarah mufakat dan gotong royong yang sejatinya merupakan identitas dan kebijaksanaan asli Nusantara. Tidak mengherankan apabila wacana penggabungan partai politik menjadi berisik seperti yang sekarang ini berlangsung.

Hampir semua partai menengah bermanuver semata-mata ingin menaikkan bargaining position di mata tiga partai yang menurut hasil hitung cepat menduduki tempat teratas (PDI-P, Golkar, dan Gerindra). Bahkan, partai Islam mencoba menggodok kemungkinan membentuk poros tengah untuk mengubah konfigurasi politik.

Harapannya, poros Islam menjadi kaukus baru menggeser posisi salah satu dari tiga partai utama itu. Apabila langkah itu gagal, setidaknya daya tawar mereka terhadap salah satu dari ketiga partai tersebut akan kuat. Namun, kalau dilihat dari miskinnya tokoh yang menjadi preferensi publik di partai-partai Islam, rasanya sulit mereka memenangi kontestasi pemilu presiden. Terlebih lagi, di era budaya pop sekarang ini, pencitraan figur dalam batas-batas tertentu diperlukan.

Di sisi lain, berbeda dengan PDI-P dan Golkar, Partai Gerindra sangat aktif melakukan pendekatan kepada partai-partai lain. Dalam perspektif budaya politik, langkah aktif itu akan mendatangkan manfaat apabila dilakukan secara terukur. Sayang sekali,
Gerindra cenderung terlalu aktif jika tidak boleh disebut agresif dalam bermanuver sejak kampanye pemilu legislatif digelar.

Itu mengurangi daya dobrak kerja jaring- an di struktur basis yang sudah digarap lama dan iklan yang ditebar di media massa. Alam bawah sadar bangsa ini tidak suka sindiran berlebih, kesinisan, dan pameran kekuatan. Secara hipotesis, kalau pimpinan Gerindra bisa mengukur secara bijak langkah politiknya, perolehan suaranya diperkirakan lebih tinggi daripada yang diperoleh sekarang.

Langkah yang kurang terukur, seperti yang kini sedang berlangsung, yaitu terkesan tidak mengambil jarak dalam konflik internal Partai Persatuan Pembangunan, dapat memicu partai-partai lain mempertimbangkan lebih dalam untuk bergabung dengan Gerindra. Apabila hal itu berlaku, Gerindra bisa berjalan sendirian. Sungai politik yang semula berpusar di tiga kaukus (PDI-P, Golkar, dan Gerindra) tidak tertutup kemungkinan akan mengkristal ke dalam dua aliran, yaitu kelompok PDI-P dan Golkar.

PDI-P akan bermitra dengan Partai Nasdem, PKB, kemungkinan PAN, dan PKPI (nonfaktor) dalam mengusung Jokowi sebagai calon presiden. Sesuai hasil survei lembaga-lembaga independen, Jusuf Kalla mempunyai peluang tertinggi sebagai cawapresnya. Adapun mitra Golkar adalah PD, Hanura, PKS, PPP, dan PBB (nonfaktor). Sampai hari ini, Aburizal Bakrie adalah calon presiden yang mungkin diusung kaukus ini.

Melihat itu semua, suka atau tidak, rasanya sulit membendung Jokowi yang kini sudah memegang narasi publik. Dengan kesederhanaan dan kekerempengan-nya, dia adalah pemanggul prinsip ”jurus tandur” demi Indonesia Raya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar