Sabtu, 19 April 2014

Ujian Nasional Anak Bangsa

Ujian Nasional Anak Bangsa

Iman Matin  ;   Guru Bahasa Arab di Sekolah SMART Ekselensia Dompet Dhuafa
REPUBLIKA, 15 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Tahun ini memang pemberitaan media seputar isu ujian nasional (UN) banyak berkurang ketimbang pada tahun-tahun sebelumnya. Sebelumnya sudah sering kita dengar dan baca di media-media banyak sekali kericuhan dan perselisihan terjadi seputar isu UN.

Tapi, bagaimanapun, kita tidak boleh terlalu kebablasan memandang buruk sesuatu. UN dengan berbagai kelebihan dan kekuranganya adalah usaha dan ijtihad aparatur pendidikan negara untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia ini. Adapun sisi-sisi negatifnya tidak lain hanyalah kesalahan-kesalahan yang bersifat manusiawi.

Menurut saya ada hal lain yang patut mendapat perhatian dari kita semua.
Beberapa tahun ini kita sering melihat tayangan berita di televisi, koran, atau internet yang memberitakan gambaran jelas bagaimana respons masyarakat terutama para peserta didik sekolah terhadap UN. UN terkesan sangat menyeramkan, bahkan dianggap sebuah musibah besar. Kondisi ini menandakan dua hal.

Pertama, kurangnya persiapan para peserta didik dari sisi penguasaan terhadap materi, dan kurang berhasilnya pendidikan mental di sekolah secara umum terutama terkait dengan bagaimana seharusnya para peserta didik memaknai hakikat ujian. Kedua, sangat sulitnya UN sehingga bagi murid yang rajin belajar pun akan sulit untuk lulus.

Lantas, di antara dua kemungkinan di atas, alasan manakah yang lebih mendekati kebenaran? Kalau kita melihat kembali rapor dunia pendidikan negara kita ini, yang masih dikotori oleh banyaknya catatan hitam, dari tawuranan tarpelajar, sarana-sarana sekolah yang jauh dari kelayakan, aksi sontek massal, dan sebagainya, rasanya kita harus berani jujur pada diri kita sendiri untuk introspeksi bahwa kemungkinan pertamalah yang menjadi alasan.

Substansi dari ujian bukanlah untuk membuat murid-murid tidak lulus, dan bukan untuk membuat murid-murid menderita atau susah. Pada hakikatnya ujian adalah barometer, sarana untuk introspeksi dan kemudian konsolidasi, baik untuk para peserta didik atau para pendidik bahkan sampai lembaga pendidikan itu sendiri. Dengan ujian ini, kita bisa mengetahui apakah proses didik-mendidik, belajar-mengajar yang berjalan selama ini sudah menuai hasil yang diharapkan atau tidak.

Sebenarnya yang diuji bukan materi pengetahuan saja, akan tetapi lebih jauh dari itu yang diuji juga adalah mentalnya. Karena sekolah-sekolah pada dasarnya tidak didirikan untuk transformasi pengetahuan semata, akan tetapi juga untuk mendidik murid agar memiliki mental yang baik.

Sayangnya, masih sedikit orang yang menyadari makna pendidikan yang seperti ini. Sehingga, kebanyakan orang tua dan guru lebih fokus hanya pada kualitas penguasaan materi pengetahuan saja, dan mengabaikan pentingnya pendidikan mental atau karakter. Padahal kita tahu, bahwa multikrisis yang sejak dahulu telah menggerogoti bangsa kita ini faktor terbesarnya adalah krisis mental atau moral.

Karena tidak sedikit orang pintar dan cerdas di masyarakat ini, akan tetapi di antara mereka sedikit sekali yang bermental baik. Sehingga, banyak orang yang pintar, berpendidikan tinggi, tapi saat menjabat malah tidak menggunakan kepintarannya untuk kepentingan rakyat malah lebih fokus memenuhi kepentingan sendiri dan golongan. Mereka tak peduli meski harus berbohong, tak peduli meski harus merugikan orang lain, bahkan tak peduli meskipun harus mengorbankan nyawa orang lain.

Maka hendaknya krisis berkepan jangan di Indonesia ini menjadi cambuk evaluasi bagi kita semua, para orang tua, institusi-institusi pendidikan, dan terkhusus para guru. Karena bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan anak-anak kita tumbuh dengan kejujuran sementara kita para pendidiknya mengajari mereka berbuat tidak jujur dengan membiarkan menyontek saat ujian, atau hanya sekadar membuka peluang nyontek, apalagi sampai memberikan kunci jawaban.

Seharusnya setiap guru berpikir berulang-ulang sebelum ia bertindak demikian, karena tindakan yang seperti itu akan mewariskan kepada generasi masa depan kita sifat tidak jujur, mental penipu, mental menghalalkan segala cara untuk kepentingan sendiri. Pada akhirnya saat mereka dewasa akan menjelma menjadi manusia-manusia kotor sejenis penipu dan koruptor yang secara pelan tapi pasti menghancurkan bangsa kita sendiri.

Harapan saya, semoga saja apa yang diberitakan media tentang kasus sontek massal atau kasus pemberian kunci jawaban yang dilakukan oleh pihak sekolah adalah berita yang tidak benar. Atau paling tidak, meskipun benar adanya, itu hanya terjadi di satu sekolah, sedang kan ribuan sekolah yang lainnya masih berpegang pada prinsip kejujuran dan keteladanan. Sehingga, masih banyak generasi kita yang nantinya akan tumbuh menjadi manusia-manusia jujur yang akan membesarkan bangsa kita dan membanggakan kita semua. Semoga generasi yang akan datang bisa menjadi lebih baik, mampu membenahi negara kita yang sudah carut-marut ini. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar