Ujian
Nasional Anak Bangsa
Iman Matin ; Guru Bahasa Arab di Sekolah SMART Ekselensia Dompet Dhuafa
|
REPUBLIKA,
15 April 2014
Tahun
ini memang pemberitaan media seputar isu ujian nasional (UN) banyak berkurang
ketimbang pada tahun-tahun sebelumnya. Sebelumnya sudah sering kita dengar
dan baca di media-media banyak sekali kericuhan dan perselisihan terjadi
seputar isu UN.
Tapi,
bagaimanapun, kita tidak boleh terlalu kebablasan memandang buruk sesuatu. UN
dengan berbagai kelebihan dan kekuranganya adalah usaha dan ijtihad aparatur
pendidikan negara untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia ini.
Adapun sisi-sisi negatifnya tidak lain hanyalah kesalahan-kesalahan yang bersifat
manusiawi.
Menurut
saya ada hal lain yang patut mendapat perhatian dari kita semua.
Beberapa
tahun ini kita sering melihat tayangan berita di televisi, koran, atau
internet yang memberitakan gambaran jelas bagaimana respons masyarakat
terutama para peserta didik sekolah terhadap UN. UN terkesan sangat
menyeramkan, bahkan dianggap sebuah musibah besar. Kondisi
ini menandakan dua hal.
Pertama,
kurangnya persiapan para peserta didik dari sisi penguasaan terhadap materi,
dan kurang berhasilnya pendidikan mental di sekolah secara umum terutama
terkait dengan bagaimana seharusnya para peserta didik memaknai hakikat
ujian. Kedua, sangat sulitnya UN sehingga bagi murid yang rajin belajar pun
akan sulit untuk lulus.
Lantas,
di antara dua kemungkinan di atas, alasan manakah yang lebih mendekati
kebenaran? Kalau kita melihat kembali rapor dunia pendidikan negara kita ini,
yang masih dikotori oleh banyaknya catatan hitam, dari tawuranan tarpelajar,
sarana-sarana sekolah yang jauh dari kelayakan, aksi sontek massal, dan
sebagainya, rasanya kita harus berani jujur pada diri kita sendiri untuk introspeksi
bahwa kemungkinan pertamalah yang menjadi alasan.
Substansi
dari ujian bukanlah untuk membuat murid-murid tidak lulus, dan bukan untuk
membuat murid-murid menderita atau susah. Pada hakikatnya ujian adalah
barometer, sarana untuk introspeksi dan kemudian konsolidasi, baik untuk para
peserta didik atau para pendidik bahkan sampai lembaga pendidikan itu
sendiri. Dengan ujian ini, kita bisa mengetahui apakah proses didik-mendidik,
belajar-mengajar yang berjalan selama ini sudah menuai hasil yang diharapkan
atau tidak.
Sebenarnya
yang diuji bukan materi pengetahuan saja, akan tetapi lebih jauh dari itu
yang diuji juga adalah mentalnya. Karena sekolah-sekolah pada dasarnya tidak
didirikan untuk transformasi pengetahuan semata, akan tetapi juga untuk
mendidik murid agar memiliki mental yang baik.
Sayangnya,
masih sedikit orang yang menyadari makna pendidikan yang seperti ini.
Sehingga, kebanyakan orang tua dan guru lebih fokus hanya pada kualitas
penguasaan materi pengetahuan saja, dan mengabaikan pentingnya pendidikan
mental atau karakter. Padahal kita tahu, bahwa multikrisis yang sejak dahulu
telah menggerogoti bangsa kita ini faktor terbesarnya adalah krisis mental
atau moral.
Karena
tidak sedikit orang pintar dan cerdas di masyarakat ini, akan tetapi di
antara mereka sedikit sekali yang bermental baik. Sehingga, banyak orang yang
pintar, berpendidikan tinggi, tapi saat menjabat malah tidak menggunakan
kepintarannya untuk kepentingan rakyat malah lebih fokus memenuhi kepentingan
sendiri dan golongan. Mereka tak peduli meski harus berbohong, tak peduli
meski harus merugikan orang lain, bahkan tak peduli meskipun harus
mengorbankan nyawa orang lain.
Maka
hendaknya krisis berkepan jangan di Indonesia ini menjadi cambuk evaluasi
bagi kita semua, para orang tua, institusi-institusi pendidikan, dan terkhusus
para guru. Karena bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan anak-anak kita
tumbuh dengan kejujuran sementara kita para pendidiknya mengajari mereka
berbuat tidak jujur dengan membiarkan menyontek saat ujian, atau hanya
sekadar membuka peluang nyontek, apalagi sampai memberikan kunci jawaban.
Seharusnya
setiap guru berpikir berulang-ulang sebelum ia bertindak demikian, karena
tindakan yang seperti itu akan mewariskan kepada generasi masa depan kita sifat
tidak jujur, mental penipu, mental menghalalkan segala cara untuk kepentingan
sendiri. Pada akhirnya saat mereka dewasa akan menjelma menjadi manusia-manusia
kotor sejenis penipu dan koruptor yang secara pelan tapi pasti menghancurkan
bangsa kita sendiri.
Harapan
saya, semoga saja apa yang diberitakan media tentang kasus sontek massal atau
kasus pemberian kunci jawaban yang dilakukan oleh pihak sekolah adalah berita
yang tidak benar. Atau paling tidak, meskipun benar adanya, itu hanya terjadi
di satu sekolah, sedang kan ribuan sekolah yang lainnya masih berpegang pada
prinsip kejujuran dan keteladanan. Sehingga, masih banyak generasi kita yang
nantinya akan tumbuh menjadi manusia-manusia jujur yang akan membesarkan
bangsa kita dan membanggakan kita semua. Semoga generasi yang akan datang
bisa menjadi lebih baik, mampu membenahi negara kita yang sudah carut-marut
ini. Amin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar