Skenario
Pencapresan
M Dawam Rahardjo ; Ketua Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF)
|
REPUBLIKA,
15 April 2014
Ketika
pemilihan legislatif sudah terselenggara pada 9 April 2014, tiga pemenang
yang muncul dengan suara terbanyak versi perhitungan cepat berbagai lembaga
survei sudah resmi mengajukan calon presiden untuk pemilihan bulan Juli 2014.
Terakhir diumumkan calon PDIP, Joko Widodo, populer dipanggil Jokowi, yang
baru setahun lebih menjabat gubernur DKI-Jakarta itu, tetapi langsung mencuat
elektabilitasnya sebagai calon presiden hasil jajak pendapat berkat
gebrakan-gebrakan dan gaya komunikasi dan kepemimpinan yang membuatnya
populer itu.
Sebelumnya,
Golkar telah menetapkan Aburizal Bakrie (ARB) sebagai calon tunggal. Namun,
yang pertama mengajukan calon presiden adalah Partai Gerindra, yang
menampilkan Prabowo Subianto yang juga cepat populer dan menimbulkan
optimisme tinggi. Akan tetapi, berbagai lembaga survei juga telah menampilkan
beberapa calon dari berbagai partai yang memiliki tingkat elektabilitas yang
berbeda. Yang tinggi diproyeksikan sebagai presiden, sedangkan yang sedang
dan rendah sebagai wakil presiden.
Dalam
basa-basi politik, pencalonan tidak hanya didasarkan pada ketokohan atau
popularitasnya, tetapi juga pada platform politik dan ideologi yang menjadi
basis partai dari mana calon berasal. Mengantisipasi penyederhanaan struktur
dan sistem kepartaian, di antara 12 partai kontestan pemilu dapat dibagi
menjadi tiga atau empat golongan atau kekuatan politik.
Pertama,
adalah golongan kebangsaan yang didukung
oleh parta-partai, di antaranya Golkar, Hanura, dan PKP, dengan perolehan
suara 20,9 persen. Kedua, golongan Islam, yang terdiri dari PKB, PAN, PKS,
PPP, dan PBB dengan 31,4 persen suara. Ketiga, golongan kerakyatan dengan basis PDIP, Gerindra, dan
Nasdem dengan elektabilitas 37,7 persen.
Namun,
golongan-golongan yang berbasis ideologi dan platform politik itu sulit
dibentuk dalam menghadapi pemilu, pertama-tama karena setiap partai dengan
kesamaan ideologi, misalnya PDIP dan Gerindra, pemenang pileg telah menetapkan
calon presidennya sendiri-sendiri. Sungguhpun begitu jika PDIP memenangi
pemilu presidensial, partai kerakyatan itu bisa mengajak Gerindra dan Nasdem
ikut dalam pemerintahan dan mendukung kabinet dari DPR.
Ketika
ditanya mengenai koalisi, Jokowi menolak berbicara mengenai koalisi yang
berkonotasi transaksional, yaitu berbagi-bagi kursi. Namun dalam realitas,
partai-partai manapun, termasuk pemenang pileg, tetap akan melakukan koalisi,
terutama untuk mengajak pasangan presiden-wakil presiden dengan berbagai
pertimbangan. Misalnya untuk mencapai ambang batas pencalonan atas dasar
perolehan suara (popular vote) dan
perolehan kursi (elektoral vote), memperoleh pasangan yang saling
mengisi atau memilih pasangan yang bisa bekerja sama, dukungan dana, tapi
ujung-ujungnya mendukung elektabilitas. Namun, demi elegansi, koalisi akan
dilakukan atas dasar kesamaan platform politik atau ideologi walaupun tidak
jadi pertimbangan utama.
Akan
tetapi, atas dasar elegansi itu, Solahuddin Wahid, pemimpin Pesantren Tebuireng,
yang juga tokoh NU itu mengusulkan tokoh Mahfud MD untuk menjadi pasangan
Jokowi yang juga didasarkan pada kedekatan politik kebangsaan antara NU dan
kelompok nasionalis. Namun, Surya Paloh mengusulkan Jusuf Kalla untuk
pasangan Jokowi atas dasar pertimbangan lain, yaitu memperkuat kepemimpinan
Jokowi dengan pengalaman merealisasikan kebijakan dan program.
Prabowo
Subianto konon juga melirik JK, tapi JK sendiri punya banyak pilihan.
Sebelumnya, Prabowo konon melirik Hatta Rajasa karena perimbangan "kuat
gizinya". Namun, melalui Hatta Rajasa, Gerindra bisa menghimpun
partai-partai Islam lainnya yang sedang memikirkan nasibnya karena perolehan
suara di bawah 10 persen itu, kecuali dari PKB jika mengajukan Mahfud MD
untuk pasangan Jokowi. Akan tetapi, PKB bisa diterima jika dipasangkan dengan
JK walaupun kemungkinan tidak memperoleh dukungan PAN.
Golkar agak
sulit memperoleh pasangan karena calonnya, ARB, tersandera dengan kasus
Lapindo sehingga elektabilitasnya ical
(hilang) dalam survei. Namun,
karena kampanye ARB yang simpatik terhadap Islam, peluangnya akan muncul jika
partai-partai Islam bisa bersatu untuk mencalonkan tokoh yang komplementer,
yaitu Mahfud MD. Jika tidak, peluang satu-satunya adalah berkoalisi dengan
Partai Demokrat (PD), apabila PD bersatu untuk mencalonkan Jenderal Pramono
Edhie Wibowo, adik ipar SBY.
Dengan
skenario semacam itu, persatuan partai-partai Islam, dengan indikator mampu
memiliki suara yang sama dalam pencalonan presiden-wakil presiden, diperkirakan
sulit terjadi. Hambatan utamanya adalah bahwa pemimpin partai yang punya
orientasi sendiri-sendiri. Di antara yang tampak adalah bahwa PKB ingin
mencalonkan Mahfud MD atau JK berpasangan dengan Jokowi, tapi Hatta Rajasa
masih ingin berkuasa melalui Prabowo yang memiliki postur yang lebih kuat
untuk menjadi presiden itu. Kedua tokoh itu sama-sama memiliki peluang untuk
mendapatkan dukungan dari partai-partai Islam yang bisa menyebabkan
partai-partai Islam sulit kompak untuk bersatu.
Namun,
jika ada negosiator yang berwibawa, misalnya para ulama terkemuka yang
mendorong partai Islam untuk bersatu dan menjadi kekuatan politik yang menentukan,
karena suaranya mencapai 31,4 persen itu, partai Islam bersatu akan bisa
mengajukan calon presiden-wakil presiden sendiri dari kalangan mereka
sendiri. Meski begitu, partai-partai Islam itu belum menemukan tokoh yang
bisa mempersatukan mereka. Dan, peluang tertinggi ada pada JK.
Kemungkinan
pasangan JK ada dua. Pertama, Mahfud MD. Namun, dua tokoh itu dicalonkan oleh
PKB sendiri sehingga perlu dipilih tokoh dari luar PKB.
Kedua,
tokoh yang pantas adalah dari kalangan lelaki, Hidayat Nurwahid dari PKS, dan
dari perempuan, Khofifah Indar Parawansa.
Fachry Ali mengusulkan agar dilakukan suatu konvensi untuk bisa menentukan
pilihan calon presiden-wakil presiden. Gagasan ini perlu diikuti karena
pilihan calon tidak bisa dilakukan melalui tawar-menawar transaksional. Dengan
konvensi itu, pilihan akan dilakukan dari bawah secara bebas-rahasia, jujur,
dan adil yang bisa mengawali tradisi demokrasi yang sehat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar