Jumat, 18 April 2014

Ke Mana Perginya Militansi KPK?

Ke Mana Perginya Militansi KPK?

Bambang Satriya  ;   Guru besar Stiekma dan Dosen Luar Biasa
Universitas Merdeka Malang dan UIN Malang
MEDIA INDONESIA, 17 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
PERTANYAAN besar sekarang harus dialamatkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), masihkah KPK punya jiwa militansi dalam pemberantasan korupsi, atau masihkah KPK berintegritas moral tinggi atau teguh dalam menjaga kesakralan fungsionalitasnya sebagai pejuang antikorupsi.

Pertanyaan itu sejatinya sebagai gugatan terhadap kinerja KPK yang dinilai mengidap penyakit malapraktik profesi. Terindikasi ada di antara elemen strategis KPK yang menyalahgunakan kewenangan dengan cara menciptakan ‘duri’ internal terhadap penanganan korupsi.

Elemen itu diduga menerima suap dengan target bisa membelokkan atau ‘mengaburkan’ objektivitas penanganan korupsi Hambalang. Kasus yang diduga melibatkan elitis ini dimainkan kelompok-kelompok tertentu atau melibatkan ‘tangan-tangan gaib’ yang berpengaruh.

Seperti diingatkan dalam Editorial Media Indonesia, 16 April, bahwa kasus megaskandal korupsi proyek pembangunan kompleks olahraga Hambalang, Bogor, betul-betul menguras energi dan waktu. Komisi antirasywah yang mestinya bisa segera menuntaskan perkara Hambalang dan kemudian berlari cepat mengusut kasus-kasus korupsi yang lain malah seperti tersandera.

KPK seolah kehilangan keahlian untuk mengurai labirin duit korupsi yang diduga tidak hanya mengalir ke tempat yang jauh, tapi juga ke lingkup terdekat mereka, yakni orang dalam KPK sendiri. Beberapa waktu lalu kabar itu masih berupa desas-desus, tetapi kini dugaan salah satu mantan pejabat eselon dua KPK bermain api telah menjadi fakta di persidang an. Pada sidang perkara Hambalang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (15/4), dengan terdakwa Teuku Bagus Mokhamad Noor, terkuak bahwa pada 2011 ada aliran dana sebesar Rp2 miliar kepada Deputi Penindakan KPK saat itu, Ade Rahardja, untuk mengamankan kasus Hambalang agar tidak naik ke tingkat penyidikan.

Soal benar tidaknya berita itu, tetapi seperti halnya setiap bentuk dugaan terjadinya suap pada elemen yudisial, seharusnya ditelusuri. Khususnya oleh KPK dengan melibatkan aparat kejaksaan atau kepolisian. Kalau KPK saja yang menangani kasus ini, secara psikologis layak diragukan objektivitasnya. Pasalnya dengan terduga ‘orang KPK’, idealitasnya yang melakukan pemeriksaan ialah penyidik (aparat) dari institusi di luar KPK.

Di luar siapa yang harus menangani ‘oknum’ KPK itu, yang secepatnya ditangani oleh pimpinan KPK ialah bagaimana seharusnya setiap mesin-mesin KPK berusaha terus mengembangkan atau meningkatkan kinerja dengan jiwa militan, kukuh dalam menjaga integritas moral, atau tidak sampai terperosok dalam ‘pengembangan’ malapraktik profesi yang dijual oleh koruptor atau siapa pun yang berkolaborasasi kriminalistik dengannya.

Terhadap kasus korupsi di negeri ini, apalagi sehebat dan sesensasional kasus Hambalang, siapa pun yang diangkat sebagai lembaga penanggulangan korupsi semacam KPK tetaplah wajib diposisikan menjadi lembaga yang layak dikontrol, tidak boleh dibiarkan punya hak imunitas, atau dipraduga sebagai institusi paling bersih yang tidak mungkin ternoda atau tergoda oleh limbah korupsi. Intitusi jadi kumpulan manusia penghafal tatanan (hukum), tetapi belum tentu ‘bernyawa’ saat menghadapi superioritas mafioso kekuasaan di negeri ini.

Memang seperti kata Tanuwijaya (2009), kalau diposisikan secara riil, ‘teroris sejati’ di negeri ini ialah koruptor, karena koruptor merupakan penjahat kerah putih atau istilah Edwind Sutherland pelaku white collar crime, yang punya kemampuan istimewa di bidang intelektualitas, pengolahan kekuasaan atau manajemen birokrasi, jaringan yang memadai, dan targat-target yang jauh hari sudah dikalkukasi secara sistemis. Akibat kuatnya jaringan yang dibangun koruptor ini, KPK juga bisa menjadi sasaran utamanya.

KPK sejatinya menjadi cermin utama politik penanggulangan korupsi yang dilakukan negara. KPK menjadi gambar an syahwat negara (pemerintah) untuk memerangi korupsi. Jika KPK-nya menunjukkan kinerja terbaik atau berjiwa militan dalam menghadapi koruptor, konstruksi negara layak distigmatisasi sebagai negara yang kuat.

Jika sampai kasus suap terhadap elemen KPK itu benar, ini menandakan bahwa koruptor lebih kuat atau adidaya ketimbang kemampuan aparat. Elemen KPK, yang seharusnya bisa mengerahkan segala bentuk senjata dalam memaksimalkan bekerjanya sistem peradilan pidana perkara korupsi, sedang menghadapi tembok besar yang membuatnya kehilangan keberdayaan atau ‘kecerdasan’ moral profetisnya.

Ketika institusi yudisial itu (KPK) tereduksi militansinya dalam menangani perkara korupsi berkategori gurita, logis kalau pilar-pilarnya mendapatkan dakwaan publik sebagai institusi yang mandul, yang kehilangan daya jelajahnya untuk memerangi korupsi.

Memang selama ini bukan hanya terhadap kasus Hambalang KPK digugat militansinya oleh publik. Tidak sedikit kasus korupsi yang tipenya ‘korupsi kelas gurita’, yang tidak atau belum disentuh oleh KPK. Semestinya KPK tidak perlu membeda-bedakan besar kecilnya kasus dan mengandung muatan politik tidaknya kasus, karena kinerjanya sudah disumpah untuk menjalankan profesi ini dengan prinsip jujur, adil, dan egaliter.

Dalam dugaan suap pada KPK itu, kita layak merefleksi apa yang diingatkan oleh kimiawan kenamaan Albert Enstein bahwa ‘dunia ini menjadi tidak aman dan semakin tidak mengharmoniskan bukanlah disebabkan oleh pelaku kejahatan, melainkan oleh kita yang mendiamkan kejahatan itu terjadi’.

Itu menunjukkan, meskipun negara ini telah membentuk lembaga baru bernama KPK untuk mengawasi penanganan kasus korupsi, rakyat juga wajib memberdayakan kontrol secara maksimal, selalu membuka mata, dan memasang telinga terhadap kinerja KPK yang mengemban amanat menangani kasus korupsi. Mereka bisa leluasa dan mengulturkan suap secara absolut bila kita mendiamkan atau mengamininya.

Kalau kita tidak gigih menjalankan peran itu, kitalah yang layak menanggung dosa, karena kita ini identik dengan membuka keran bersemainya kasus korupsi di negeri ini. Ketika lembaga strategis berpenyakitan, kita wajib menjadi kekuatan yang sehat supaya bisa menjadi dokter yang mengingatkan penyakit yang sedang mengidap dan potensial mematikannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar