Ke
Mana Perginya Militansi KPK?
Bambang Satriya ; Guru besar Stiekma dan Dosen Luar Biasa
Universitas
Merdeka Malang dan UIN Malang
|
MEDIA
INDONESIA, 17 April 2014
PERTANYAAN besar sekarang
harus dialamatkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), masihkah KPK punya
jiwa militansi dalam pemberantasan korupsi, atau masihkah KPK berintegritas moral
tinggi atau teguh dalam menjaga kesakralan fungsionalitasnya sebagai pejuang antikorupsi.
Pertanyaan itu sejatinya
sebagai gugatan terhadap kinerja KPK yang dinilai mengidap penyakit
malapraktik profesi. Terindikasi ada di antara elemen strategis KPK yang
menyalahgunakan kewenangan dengan cara menciptakan ‘duri’ internal terhadap penanganan
korupsi.
Elemen itu diduga menerima
suap dengan target bisa membelokkan atau ‘mengaburkan’ objektivitas
penanganan korupsi Hambalang. Kasus yang diduga melibatkan elitis ini dimainkan
kelompok-kelompok tertentu atau melibatkan ‘tangan-tangan gaib’ yang
berpengaruh.
Seperti diingatkan dalam Editorial
Media Indonesia, 16 April, bahwa kasus megaskandal korupsi proyek pembangunan
kompleks olahraga Hambalang, Bogor, betul-betul menguras energi dan waktu. Komisi
antirasywah yang mestinya bisa segera menuntaskan perkara Hambalang dan
kemudian berlari cepat mengusut kasus-kasus korupsi yang lain malah seperti
tersandera.
KPK seolah kehilangan
keahlian untuk mengurai labirin duit korupsi yang diduga tidak hanya mengalir
ke tempat yang jauh, tapi juga ke lingkup terdekat mereka, yakni orang dalam
KPK sendiri. Beberapa waktu lalu kabar itu masih berupa desas-desus, tetapi kini
dugaan salah satu mantan pejabat eselon dua KPK bermain api telah menjadi fakta
di persidang an. Pada sidang perkara Hambalang di Pengadilan Tipikor Jakarta,
Selasa (15/4), dengan terdakwa Teuku Bagus Mokhamad Noor, terkuak bahwa pada
2011 ada aliran dana sebesar Rp2 miliar kepada Deputi Penindakan KPK saat
itu, Ade Rahardja, untuk mengamankan kasus Hambalang agar tidak naik ke tingkat
penyidikan.
Soal benar tidaknya berita
itu, tetapi seperti halnya setiap bentuk dugaan terjadinya suap pada elemen
yudisial, seharusnya ditelusuri. Khususnya oleh KPK dengan melibatkan aparat kejaksaan
atau kepolisian. Kalau KPK saja yang menangani kasus ini, secara psikologis layak
diragukan objektivitasnya. Pasalnya dengan terduga ‘orang KPK’, idealitasnya
yang melakukan pemeriksaan ialah penyidik (aparat) dari institusi di luar
KPK.
Di luar siapa yang harus menangani
‘oknum’ KPK itu, yang secepatnya ditangani oleh pimpinan KPK ialah bagaimana seharusnya
setiap mesin-mesin KPK berusaha terus mengembangkan atau meningkatkan kinerja
dengan jiwa militan, kukuh dalam menjaga integritas moral, atau tidak sampai
terperosok dalam ‘pengembangan’ malapraktik profesi yang dijual oleh koruptor
atau siapa pun yang berkolaborasasi kriminalistik dengannya.
Terhadap kasus korupsi di negeri
ini, apalagi sehebat dan sesensasional kasus Hambalang, siapa pun yang
diangkat sebagai lembaga penanggulangan korupsi semacam KPK tetaplah wajib
diposisikan menjadi lembaga yang layak dikontrol, tidak boleh dibiarkan punya
hak imunitas, atau dipraduga sebagai institusi paling bersih yang tidak
mungkin ternoda atau tergoda oleh limbah korupsi. Intitusi jadi kumpulan
manusia penghafal tatanan (hukum), tetapi belum tentu ‘bernyawa’ saat
menghadapi superioritas mafioso kekuasaan di negeri ini.
Memang seperti kata
Tanuwijaya (2009), kalau diposisikan secara riil, ‘teroris sejati’ di negeri
ini ialah koruptor, karena koruptor merupakan penjahat kerah putih atau
istilah Edwind Sutherland pelaku white
collar crime, yang punya kemampuan istimewa di bidang intelektualitas,
pengolahan kekuasaan atau manajemen birokrasi, jaringan yang memadai, dan
targat-target yang jauh hari sudah dikalkukasi secara sistemis. Akibat kuatnya
jaringan yang dibangun koruptor ini, KPK juga bisa menjadi sasaran utamanya.
KPK sejatinya menjadi
cermin utama politik penanggulangan korupsi yang dilakukan negara. KPK
menjadi gambar an syahwat negara (pemerintah) untuk memerangi korupsi. Jika
KPK-nya menunjukkan kinerja terbaik atau berjiwa militan dalam menghadapi
koruptor, konstruksi negara layak distigmatisasi sebagai negara yang kuat.
Jika sampai kasus suap
terhadap elemen KPK itu benar, ini menandakan bahwa koruptor lebih kuat atau
adidaya ketimbang kemampuan aparat. Elemen KPK, yang seharusnya bisa
mengerahkan segala bentuk senjata dalam memaksimalkan bekerjanya sistem peradilan
pidana perkara korupsi, sedang menghadapi tembok besar yang membuatnya kehilangan
keberdayaan atau ‘kecerdasan’ moral profetisnya.
Ketika institusi yudisial
itu (KPK) tereduksi militansinya dalam menangani perkara korupsi berkategori
gurita, logis kalau pilar-pilarnya mendapatkan dakwaan publik sebagai
institusi yang mandul, yang kehilangan daya jelajahnya untuk memerangi korupsi.
Memang selama ini bukan hanya
terhadap kasus Hambalang KPK digugat militansinya oleh publik. Tidak sedikit
kasus korupsi yang tipenya ‘korupsi kelas gurita’, yang tidak atau belum disentuh
oleh KPK. Semestinya KPK tidak perlu membeda-bedakan besar kecilnya kasus dan
mengandung muatan politik tidaknya kasus, karena kinerjanya sudah disumpah untuk
menjalankan profesi ini dengan prinsip jujur, adil, dan egaliter.
Dalam dugaan suap pada KPK
itu, kita layak merefleksi apa yang diingatkan oleh kimiawan kenamaan Albert Enstein
bahwa ‘dunia ini menjadi tidak aman dan semakin tidak mengharmoniskan bukanlah
disebabkan oleh pelaku kejahatan, melainkan oleh kita yang mendiamkan kejahatan
itu terjadi’.
Itu menunjukkan, meskipun negara
ini telah membentuk lembaga baru bernama KPK untuk mengawasi penanganan kasus
korupsi, rakyat juga wajib memberdayakan kontrol secara maksimal, selalu
membuka mata, dan memasang telinga terhadap kinerja KPK yang mengemban amanat
menangani kasus korupsi. Mereka bisa leluasa dan mengulturkan suap secara absolut
bila kita mendiamkan atau mengamininya.
Kalau kita tidak gigih
menjalankan peran itu, kitalah yang layak menanggung dosa, karena kita ini
identik dengan membuka keran bersemainya kasus korupsi di negeri ini. Ketika
lembaga strategis berpenyakitan, kita wajib menjadi kekuatan yang sehat supaya
bisa menjadi dokter yang mengingatkan penyakit yang sedang mengidap dan potensial
mematikannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar