Tukang
Survei
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum
Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 12 April 2014
Kekeliruan,
bahkan kesalahan, berbagai hasil survei politik kembali terjadi secara mengejutkan
ketika pada 9 April 2014, sekitar jam 17.00 WIB, hasil quick count (hitung cepat) pemungutan suara untuk pemilu
legislatif (pileg) diumumkan.
Ternyata,
kembali terjadi perbedaan yang tajam antara hasil-hasil survei sebelumnya
dengan hasil hitung cepat seperti yang terjadi pada Pilgub DKI Jakarta pada
2012. Pada Pilgub DKI Jakarta, sampai hari-hari terakhir menjelang pemungutan
suara, hampir semua hasil survei menyebut Foke-Nara sebagai pemenang
signifikan. Tetapi, hasil pilgub membuktikan kesalahan berbagai survei karena
yang menang ternyata Jokowi-Ahok, pasangan calon yang sebelumnya diremehkan
berbagai survei. Pada Pileg 2014 kesalahan-kesalahan hasil survei tampak
mencolok juga.
Partai-partai
berbasis massa Islam yang semula diduga akan terkubur karena merosotnya
kepercayaan masyarakat ternyata meningkat secara mengejutkan dengan kumulasi
perolehan sampai sekitar 31%. Partai Golkar yang semula diunggulkan dengan
kisaran suara 19% ternyata hanya meraih 15%. Perolehan PDIP terpaut signifikan
dari hasil survei maupun targetnya. Kejutan perlawanan hasil hitung cepat
terhadap hasil-hasil survei sebelumnya tampak jelas pula pada beberapa
partai.
Partai
NasDem yang oleh banyak survei dilihat secara pesimistis karena untuk
mendapat 3,5% saja dianggap susah ternyata mendapat hampir 7%, menyamai
partai lama, Partai Persatuan Pembangunan yang juga mengalami kenaikan
sedikit. PKS yang karena terpaan isu korupsi hanya akan bertahan pas-pasan di
dekat parliamentary threshold,
ternyata mampu bertahan di posisinya pada kisaran 7%. PKB pun meroket secara
mengejutkan dari perolehan Pileg 2009 sebesar 4,8% menjadi sekitar 9,1%.
Padahal
sebelum pileg banyak survei yang selalu meletakkan PKB pada perolehan sekitar
4%, bahkan ada yang tega meletakkan di bawah parliamentary threshold 3,5%. Ada juga yang memang mendekati
hasil survei yakni fakta bahwa PBB dan PKPI benar-benar tidak masuk ke parliamentary threshold. Begitu pula,
meski angkanya kurang akurat, hasil survei menyatakan bahwa Partai Demokrat
akan terjun bebas sesuai hasil pileg karena terjun dari 20% ke kisaran 9%.
Hasil-hasil survei politik belakangan ini memang banyak yang meleset sehingga
tak lagi bisa dijadikan pegangan sebagai produk kerja ilmiah yang logis dan predictable.
Hasil
survei dan hasil pemilihan yang sesungguhnya kerapkali berbeda secara
mengejutkan. Kalau metodologinya benar, mestinya
hasil-hasil survei lebih banyak benarnya daripada salahnya, bahkan tingkat
kesalahannya sudah bisa diukur sebelumnya oleh metode dan hasil survei itu
sendiri yang dibatasi dengan margin tertentu. Ketika itu ditanyakan kepada
pembuat survei, jawaban yang sama selalu dikemukakan bahwa hasil survei hanya
memotret pada saat dilakukan survei dan bisa berubah pada saat-saat akhir.
Ya, juga sih.
Survei
memang potret saat dilakukan wawancara. Tetapi, tentu itu bukan jawaban yang
tepat. Kalau jawabannya hanya begitu, ya tak perlu survei-surveian segala.
Mestinya ada metode agar perbedaan itu tak terjadi dengan sangat mencolok.
Mungkin benar yang dikatakan Dradjad Wibowo, banyak intelektual dan lembaga
survei yang belakangan ini melacurkan diri, tidak melakukan survei dengan
cara-cara profesional-ilmiah sehingga survei lebih banyak melesetnya atau
malah dipelesetkan asal mendapat uang. Sekarang ini banyak lembaga survei
yang mengerjakan survei sudah didahului dengan tendensi politis tertentu.
Bahkan
ada penyurvei yang membawa lembaganya untuk menjadi tim sukses atau konsultan
salah satu kontestan dalam sebuah kontestasi politik. Berusaha seobjektif apa
pun, kalau sudah menjadi tim sukses atau konsultan suatu kontestan, akan
menyebabkan hasil survei tak lagi akurat karena akan diarahkan membentuk dan
menggiring opini untuk menguntungkan kliennya. Waktu saya masih ketua MK, ada
pimpinan lembaga survei yang mengurus perkara kliennya yang diperkarakan di
MK. Luar biasa. Dalam kenyataan kita sering dikagetkan oleh munculnya satu
lembaga survei secara tiba-tiba yang kiprahnya belum pernah terdengar.
Tiba-tiba
lembaga ini memasukkan nama orang yang tadinya ada di luar pusaran
tokoh-tokoh populer menjadi bagian dari tiga atau lima besar. Kemasan
metodologinya okey juga, tetapi substansinya tak masuk akal. Kemasan yang
dipergunakan misalnya menyebut melibatkan 1500 orang di 33 provinsi yang diwawancarai
secara langsung dengan toleransi kesalahan 2% dan berbagai tetek bengek
kemasan lainnya. Dari kemasan yang seakanakan ilmiah itu dimunculkanlah orang
yang sebenarnya tidak masuk dalam survei atau tidak pernah disurvei.
Itulah
sebabnya banyak hasil survei yang tak sesuai hasil pemilihan yang
sesungguhnya. Membaca fakta maraknya penyurvei yang instan dan tak jelas
belakangan ini saya teringat pernyataan Gus Dur pada awal 1990-an bahwa di
Indonesia banyak sekali ilmuwan tukang yakni ilmuwan yang menggunakan
kepandaiannya untuk menukangi temuan ilmiah sesuai pesanan.
Sekarang
pun banyak penyurvei dan lembaga survei yang tidak bekerja pada prinsip
objektivitas-ilmiah, tapi bekerja sesuai pesanan. Mereka menukangi rencana
dan hasil survei agar sesuai keinginannya sendiri atau pesanan klien sehingga
lebih tepat disebut sebagai tukang survei atau ahli menukangi survei. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar