Minggu, 13 April 2014

Pemilu dan Watak Presidensialisme Multipartai

Pemilu dan Watak Presidensialisme Multipartai

W Riawan Tjandra  ;   Pengajar pada Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
KORAN SINDO, 12 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Membaca hasil pemilu legislatif versi hitung cepat (quick count) beberapa lembaga survei mainstream saat ini dalam logika politik ketatanegaraan membawa pada pemetaan bahwa meskipun PDIP, partai yang mengusung Joko Widodo (Jokowi), berhasil memperoleh peringkat atas dalam perolehan suara, terlihat masih belum mampu memenuhi parliamentary threshold 20% perolehan kursi DPR atau 25% perolehan suara secara nasional sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 9 UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden (Pilpres). Akibat itu, dalam praktik politik ketatanegaraan PDIP belum bisa mengusung pasangan capres pilihannya sendiri untuk diajukan sebagai kontestan dalam pilpres. PDIP sebagai partai dengan suara terbanyak, namun belum memenuhi ambang batas pencalonan capres, dipaksa untuk melakukan koalisi dengan partai lain agar dapat memenuhi ambang batas dalam pencalonan pasangan capres.

Praktik politik ketatanegaraan semacam inilah yang selain tak mampu menguatkan sistem presidensial, juga telah menjadikan sistem pemerintahan di negeri ini menjadi ”banci” atau sering diperhalus dengan sebutan quasi presidensial. Dalam sistem pemerintahan semacam itu, meski konstitusi negaranya mengamanatkan kedudukan presiden yang kuat baik sebagai kepala pemerintahan (the chief of executive) maupun sebagai kepala negara (the head of state), sebenarnya presiden acapkali tersandera oleh kepentingan koalisi partai.

Utang budi semasa pencalonan seringkali berujung pada keharusan untuk melakukan sejumlah kompromi, bargaining, dan negosiasi politik saat harus menjalankan kewenangannya sebagai kepala pemerintahan. Secara teoretis ciri-ciri dari sistem pemerintahan presidensial adalah sebagai berikut. Pertama, penyelenggara negara berada di tangan presiden. Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau suatu dewan majelis.

Kedua, kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh presiden. Kabinet bertanggung jawab kepada presiden dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen atau legislatif. Ketiga, presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen. Itu karena presiden tidak dipilih oleh parlemen. Keempat, presiden tidak dapat membubarkan parlemen seperti dalam sistem parlementer. Kelima, parlemen memiliki kekuasaan legislatif dan sebagai lembaga perwakilan. Anggota parlemen dipilih oleh rakyat. Keenam, presiden tidak berada di bawah pengawasan langsung parlemen.

Watak sistem presidensial tersebut sebenarnya sangat kentara dari substansi pasal-pasal dalam UUD Negara RI 1945, bahkan sejak era Soekarno pada masa berlaku UUD 1945 asli negeri ini sistem pemerintahannya lebih dominan dengan watak presidensialisme. Pascareformasi dan amendemen UUD Negara RI 1945 beberapa variabel demokrasi dan politik di luar konstitusi tampaknya cukup signifikan pengaruhnya, bahkan nyaris mampu mengubah watak praktik ketatanegaraan menjadi menyerupai sistem parlementer.

Pemberhentian Presiden (almarhum) Abdurrahman Wahid oleh MPR pada masa lalu bisa dikemukakan sebagai contoh dari menguatnya watak parlementerisme dalam sistem pemerintahan di negeri ini. Memang, kemudian pascaamendemen beberapa pasal dalam UUD Negara RI 1945 berupaya memperkuat kembali watak presidensialisme dalam sistem pemerintahan, namun masih belum ideal.

Ditinjau dari sudut kekuasaan presiden dalam UUD Negara RI 1945 sebenarnya kedudukan presiden sudah cukup kuat dan tidak serapuh sebelum dilakukannya amandemen UUD 1945. Namun, realitaspolitikketatanegaraan ternyata memaksa presiden untuk harus membuat kalkulasi politik dalam melaksanakan kekuasaannya melalui dukungan kabinetnya jika tak mau kebijakan-kebijakan pemerintahannya tersandera oleh kekuatan politik di parlemen.

Meskipun sekarang proses pemakzulan seorang presiden bukan sekadar persoalan yang mudah, relasi checks and balances antara eksekutif dan legislatif merupakan arena praksis politik yang harus selalu diperhitungkan oleh seorang presiden. Sistem multipartai yang dianut ditambah ada ambang batas pencalonan presiden dalam UU Pilpres telah memaksa seorang presiden untuk sejak awal pencalonannya, jika partai yang mengusungnya tak berhasil meraih suara mutlak yang melampaui ambang batas (parliamentary threshold), dipaksa oleh praktik politik riil untuk melakukan banyak kompromi dan bargaining politik dengan partai-partai lain.

Situasi politik pascapemilu legislatif yang kembali memunculkan diskursus perlunya koalisi partai pemenang dalam mekanisme pencalonan capres sejatinya disebabkan putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 gagal melakukan pembatalan terhadap UU Pilpres secara langsung. MK justru hanya mampu menghasilkan putusan yang menyatakan inkonstitusional bersyarat atas UU Pilpres. Meskipun membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU Pilpres, baru memberlakukan kekuatan mengikat putusan itu pada 2019.

Dengan putusan tersebut, MK sejatinya telah menciptakan dualisme nilai inkonstitusionalitas UU Pilpres yang kini dirasakan dampaknya pascahasil pileg mulai diumumkan meski baru versi hitung cepat beberapa lembaga survei. Padahal, salah satu butir putusan MK tersebut sempat membuat pernyataan mengenai sifat disfungsionalitas akibat ada norma parliamentary threshold dan sistem pemilu legislatif serta presiden yang tidak dilakukan secara serentak.

Menurut MK, dalam salah satu butir pertimbangannya: ”Presiden pada faktanya menjadi sangat tergantung pada partai-partai politik yang menurut Mahkamah dapat mereduksi posisi presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem pemerintahan presidensial. Dengan demikian, menurut MK, penyelenggaraan pilpres harus menghindari terjadi negosiasi dan tawar menawar (bargaining) politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat sehingga tercipta negosiasi dan koalisi strategis partai politik untuk kepentingan jangka panjang. Hal demikian akan lebih memungkinkan bagi penggabungan partai politik secara alamiah dan strategis sehingga dalam jangka panjang akan lebih menjamin penyederhanaan partai politik. Dalam kerangka itulah, ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 harus dimaknai.”

Konsiderasi putusan MK tersebut sebenarnya justru bisa melemahkan kekuatan politik parlemen dan hasil pilpres meskipun MK dalam salah satu pertimbangan hukumnya juga menyatakan bahwa hasil Pemilu Presiden 2014 tetap sah. MK sebenarnya tidak menyetujui pola koalisi dalam mekanisme pencalonan capres akibat tidak dilakukan pemilu serentak.

Sayangnya, putusan tersebut tak mengubah apa pun dari pengaruh pemberlakuan UU Pilpres. Diperlukan ada terobosan dalam upaya menyikapi dilema pemilihan presiden saat ini meski susah untuk menghindari realitas keharusan dilakukannya koalisi saat pencalonan capres. Rakyat kini mengharapkan suara yang diberikannya tidak hanya raib di tengah tawar-menawar politik dalam koalisi antarpartai, namun sungguh-sungguh memiliki kekuatan signifikan dan relevan sebagai dasar bertindak pasangan presiden terpilih pascapilpres nanti. Rakyat sudah bosan memiliki presiden yang hanya menjadi ”sandera” koalisi partai karena sejatinya kedaulatan adalah di tangan rakyat. Setidak-tidaknya demikian konstitusi telah menyatakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar