Pemilu
dan Watak Presidensialisme Multipartai
W Riawan Tjandra ; Pengajar pada
Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 12 April 2014
Membaca
hasil pemilu legislatif versi hitung cepat (quick count) beberapa lembaga survei mainstream saat ini dalam
logika politik ketatanegaraan membawa pada pemetaan bahwa meskipun PDIP,
partai yang mengusung Joko Widodo (Jokowi), berhasil memperoleh peringkat
atas dalam perolehan suara, terlihat masih belum mampu memenuhi parliamentary threshold 20% perolehan
kursi DPR atau 25% perolehan suara secara nasional sebagaimana diamanatkan
oleh Pasal 9 UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden (Pilpres). Akibat
itu, dalam praktik politik ketatanegaraan PDIP belum bisa mengusung pasangan
capres pilihannya sendiri untuk diajukan sebagai kontestan dalam pilpres.
PDIP sebagai partai dengan suara terbanyak, namun belum memenuhi ambang batas
pencalonan capres, dipaksa untuk melakukan koalisi dengan partai lain agar
dapat memenuhi ambang batas dalam pencalonan pasangan capres.
Praktik
politik ketatanegaraan semacam inilah yang selain tak mampu menguatkan sistem
presidensial, juga telah menjadikan sistem pemerintahan di negeri ini menjadi
”banci” atau sering diperhalus
dengan sebutan quasi presidensial.
Dalam sistem pemerintahan semacam itu, meski konstitusi negaranya
mengamanatkan kedudukan presiden yang kuat baik sebagai kepala pemerintahan (the chief of executive) maupun sebagai
kepala negara (the head of state),
sebenarnya presiden acapkali tersandera oleh kepentingan koalisi partai.
Utang
budi semasa pencalonan seringkali berujung pada keharusan untuk melakukan
sejumlah kompromi, bargaining, dan
negosiasi politik saat harus menjalankan kewenangannya sebagai kepala
pemerintahan. Secara teoretis ciri-ciri dari
sistem pemerintahan presidensial adalah sebagai berikut. Pertama, penyelenggara negara berada di tangan
presiden. Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih langsung oleh rakyat
atau suatu dewan majelis.
Kedua, kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh presiden. Kabinet bertanggung
jawab kepada presiden dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen atau
legislatif. Ketiga, presiden tidak
bertanggung jawab kepada parlemen. Itu karena presiden tidak dipilih oleh
parlemen. Keempat, presiden tidak dapat
membubarkan parlemen seperti dalam sistem parlementer. Kelima, parlemen memiliki kekuasaan legislatif
dan sebagai lembaga perwakilan. Anggota parlemen dipilih oleh rakyat. Keenam, presiden tidak berada di bawah
pengawasan langsung parlemen.
Watak
sistem presidensial tersebut sebenarnya sangat kentara dari substansi
pasal-pasal dalam UUD Negara RI 1945, bahkan sejak era Soekarno pada masa
berlaku UUD 1945 asli negeri ini sistem pemerintahannya lebih dominan dengan
watak presidensialisme. Pascareformasi dan amendemen
UUD Negara RI 1945 beberapa variabel demokrasi dan politik di luar konstitusi
tampaknya cukup signifikan pengaruhnya, bahkan nyaris mampu mengubah watak
praktik ketatanegaraan menjadi menyerupai sistem parlementer.
Pemberhentian
Presiden (almarhum) Abdurrahman Wahid oleh MPR pada masa lalu bisa
dikemukakan sebagai contoh dari menguatnya watak parlementerisme dalam sistem
pemerintahan di negeri ini. Memang, kemudian pascaamendemen beberapa pasal
dalam UUD Negara RI 1945 berupaya memperkuat kembali watak presidensialisme
dalam sistem pemerintahan, namun masih belum ideal.
Ditinjau
dari sudut kekuasaan presiden dalam UUD Negara RI 1945 sebenarnya kedudukan
presiden sudah cukup kuat dan tidak serapuh sebelum dilakukannya amandemen
UUD 1945. Namun, realitaspolitikketatanegaraan ternyata memaksa presiden
untuk harus membuat kalkulasi politik dalam melaksanakan kekuasaannya melalui
dukungan kabinetnya jika tak mau kebijakan-kebijakan pemerintahannya
tersandera oleh kekuatan politik di parlemen.
Meskipun sekarang proses pemakzulan seorang presiden bukan sekadar
persoalan yang mudah, relasi checks and
balances antara eksekutif dan legislatif merupakan arena praksis politik
yang harus selalu diperhitungkan oleh seorang presiden. Sistem multipartai
yang dianut ditambah ada ambang batas pencalonan presiden dalam UU Pilpres
telah memaksa seorang presiden untuk sejak awal pencalonannya, jika partai
yang mengusungnya tak berhasil meraih suara mutlak yang melampaui ambang
batas (parliamentary threshold),
dipaksa oleh praktik politik riil untuk melakukan banyak kompromi dan
bargaining politik dengan partai-partai lain.
Situasi
politik pascapemilu legislatif yang kembali memunculkan diskursus perlunya
koalisi partai pemenang dalam mekanisme pencalonan capres sejatinya
disebabkan putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 gagal melakukan pembatalan
terhadap UU Pilpres secara langsung. MK justru hanya mampu menghasilkan
putusan yang menyatakan inkonstitusional bersyarat atas UU Pilpres. Meskipun
membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat
(2), dan Pasal 112 UU Pilpres, baru memberlakukan kekuatan mengikat putusan
itu pada 2019.
Dengan
putusan tersebut, MK sejatinya telah menciptakan dualisme nilai
inkonstitusionalitas UU Pilpres yang kini dirasakan dampaknya pascahasil
pileg mulai diumumkan meski baru versi hitung cepat beberapa lembaga survei.
Padahal, salah satu butir putusan MK tersebut sempat membuat pernyataan
mengenai sifat disfungsionalitas akibat ada norma parliamentary threshold dan sistem pemilu legislatif serta
presiden yang tidak dilakukan secara serentak.
Menurut
MK, dalam salah satu butir pertimbangannya: ”Presiden pada faktanya menjadi sangat tergantung pada partai-partai
politik yang menurut Mahkamah dapat mereduksi posisi presiden dalam
menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem pemerintahan presidensial.
Dengan demikian, menurut MK, penyelenggaraan pilpres harus menghindari
terjadi negosiasi dan tawar menawar (bargaining) politik yang bersifat taktis
demi kepentingan sesaat sehingga tercipta negosiasi dan koalisi strategis
partai politik untuk kepentingan jangka panjang. Hal demikian akan lebih
memungkinkan bagi penggabungan partai politik secara alamiah dan strategis
sehingga dalam jangka panjang akan lebih menjamin penyederhanaan partai
politik. Dalam kerangka itulah, ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 harus
dimaknai.”
Konsiderasi
putusan MK tersebut sebenarnya justru bisa melemahkan kekuatan politik
parlemen dan hasil pilpres meskipun MK dalam salah satu pertimbangan hukumnya
juga menyatakan bahwa hasil Pemilu Presiden 2014 tetap sah. MK sebenarnya
tidak menyetujui pola koalisi dalam mekanisme pencalonan capres akibat tidak
dilakukan pemilu serentak.
Sayangnya,
putusan tersebut tak mengubah apa pun dari pengaruh pemberlakuan UU Pilpres. Diperlukan ada terobosan dalam upaya menyikapi dilema
pemilihan presiden saat ini meski susah untuk menghindari realitas keharusan
dilakukannya koalisi saat pencalonan capres. Rakyat
kini mengharapkan suara yang diberikannya tidak hanya raib di tengah tawar-menawar
politik dalam koalisi antarpartai, namun sungguh-sungguh memiliki kekuatan
signifikan dan relevan sebagai dasar bertindak pasangan presiden terpilih
pascapilpres nanti. Rakyat sudah bosan memiliki presiden yang hanya menjadi
”sandera” koalisi partai karena sejatinya kedaulatan adalah di tangan rakyat.
Setidak-tidaknya demikian konstitusi telah menyatakannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar