Sabtu, 12 April 2014

Transparansi Penggalangan Dana Publik

Transparansi Penggalangan Dana Publik

Sudaryatmo  ;   Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
KOMPAS, 11 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Setiap kali terjadi bencana selalu ada lembaga yang berinisiatif menggalang dana publik. Pada masa kampanye seperti sekarang, dapat dipastikan hal yang sama terjadi. Pertanyaannya kemudian, sampaikah dana-dana tersebut ke tujuan? Dihargaikah hak-hak masyarakat yang menyumbangkan uangnya?

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencoba meneliti transparansi dan akuntabilitas penggalangan dana publik untuk korban banjir Jakarta 2013.
YLKI menyumbang ke sejumlah lembaga yang beraktivitas menggalang dana publik, kemudian YLKI meminta laporan penggunaan dana publik yang sudah terkumpul. Inilah hasil penelitian pendahuluannya.

Profil lembaga yang menggalang dana publik untuk korban banjir Jakarta 2013 ternyata cukup beragam. Dari 11 lembaga yang dijadikan sampel, paling banyak adalah lembaga sosial kemanusiaan dan keagamaan (Aksi Cepat Tanggap, Lazismu, PKPU, Palang Merah Indonesia DKI Jakarta, Daarut Tauhid), disusul lembaga komersial (MNC TV, Radio Elshinta, PT XL Axiata, PT Mabua Harley Davidson). Sisanya adalah lembaga negara (Dewan Perwakilan Rakyat) dan himpunan asosiasi pengusaha (HIPMI Jaya).

Dari 11 lembaga itu, ternyata hanya tiga lembaga yang teridentifikasi memiliki perizinan dari Kementerian Sosial (MNC TV Peduli, PKPU, dan Elshinta Peduli).
Padahal, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelak-
sanaan Pengumpulan Sumbangan, setiap penyelenggaraan pengumpulan uang atau barang untuk keperluan korban bencana harus mendapat izin dari Kementerian Sosial.

Rekening dana

Aspek lain adalah penyaluran donasi dari masyarakat. Pemerintah mensyaratkan rekening harus atas nama rekening lembaga, sehingga semua arus uang masuk tercatat oleh bank. Ternyata, dari sepuluh lembaga yang menyediakan akses sumbangan melalui bank, sembilan lembaga menggunakan rekening lembaga dan satu lembaga (DPR) menggunakan rekening pribadi, salah satunya anggota staf ketua DPR atas nama Nunu Nugraha. Satu lembaga, akses sumbangan melalui pesan singkat (SMS) (PT XL Axiata).

Penggunaan rekening lembaga dalam penggalangan dana publik oleh lembaga sosial kemanusiaan tidak ada masalah dan memang seharusnya begitu.
Namun, tidak demikian halnya dengan lembaga komersial. Penggalangan dana publik oleh lembaga komersial dengan menggunakan rekening atas nama PT, seperti yang dilakukan MNC TV Peduli dan Mabua Harley Davidson, berpotensi bermasalah. Sebab, dana publik bercampur dengan dana korporasi.

Maka, sebuah lembaga komersial yang memiliki kepedulian kepada korban
banjir dan menggalang dana publik seyogianya membuat lembaga sosial terpisah sehingga rekening pun atas nama lembaga tersebut.

Penggalangan dana publik oleh DPR dengan menggunakan rekening pribadi adalah sebuah kesalahan fatal. Selain melanggar ketentuan, tampaklah bahwa DPR menggampangkan masalah, selain sebenarnya juga tidak pas.

Laporan ke donatur

Salah satu hak donatur adalah memperoleh laporan penggunaan dana publik yang disumbangnya. Dari 11 lembaga yang menggalang dana publik, ada empat lembaga yang memberikan laporan secara tertulis kepada YLKI, yakni MNC TV Peduli, PT XL Axiata, ACT, dan Elshinta Peduli). Itu pun setelah YLKI mengirimkan surat, meminta laporan. Seharusnya, ada atau tidak ada permintaan, sebagai bentuk apresiasi kepada donatur, lembaga mengirimkan laporannya.

Bagi para donatur, ketika mau menyumbang ke suatu lembaga, angka rasio biaya operasional lembaga dibanding biaya program adalah hal penting untuk diketahui. Apakah dana publik yang terhimpun ini sebagian besar sampai ke korban, atau habis untuk biaya operasional termasuk menggaji pengurusnya. Kementerian Sosial menetapkan, biaya administrasi dan biaya operasional lembaga tidak boleh lebih dari 10 persen dari jumlah keseluruhan sumbangan yang terkumpul.

Dari 11 lembaga, hanya dua lembaga yang memberikan keterangan (Aksi Cepat Tanggap dan PT XL Axiata). Untuk ACT, dari total dana publik yang dihimpun untuk korban banjir Jakarta 2013 sebesar Rp 263.566.618, dipakai untuk biaya operasional lembaga sebesar Rp 13.179.330 atau setara 5 persen dari total dana terkumpul. Sisanya adalah sepenuhnya untuk korban banjir Jakarta dalam bentuk bantuan pangan, sandang, dan kesehatan.

Pada PT XL Axiata, dari total dana yang berhasil dihimpun melalui SMS setelah dipotong Pajak Pertambahan Nilai 10 persen adalah Rp 54.964.503. Dana tersebut disalurkan kepada korban banjir Jakarta melalui Yayasan Dompet Dhuafa dalam bentuk program pemulihan ekonomi masyarakat pasca bencana banjir di Kelurahan Jati Pulo, Jakarta Barat. Dari total dana untuk korban banjir yang disalurkan melalui Yayasan Dompet Dhuafa, Rp 5.500.000, setara 10 persen dari total dana terhimpun untuk fee manajemen Dompet Dhuafa.
Yang jelas, masyarakat sebagai donatur mempunyai hak sebagai untuk mendapat laporan atas penggunaan dana yang telah disumbangkannya. Namun, dari 11 lembaga yang menggalang dana publik untuk korban banjir Jakarta 2013, perhatian akan arti penting hak-hak donatur masih sangat minim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar