Sabtu, 12 April 2014

Personal Branding Jokowi

Personal Branding Jokowi

Dewi Haroen  ;   Pakar Personal Branding, Penulis Buku “Personal Branding : Kunci Kesuksesan Berkiprah di Dunia Politik”
REPUBLIKA, 11 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
"Kemenangan di atas ring adalah kemenangan kedua setelah saya dapat meraih kemenangan atas diri saya."
(Mohamad Ali, petinju legendaris Amerika)

Saat ini, di berbagai media ramai dengan pemberitaan mengenai efek Jokowi yang tidak berhasil melejitkan perolehan suara PDI Perjuangan di Pileg 2014. Padahal, berbagai lembaga survei tampak begitu yakin dengan analisisnya bahwa pencapresan Jokowi sebelum pileg akan membuat PDIP menang telak di atas 30 persen.

Meski menjadi pemenang berdasarkan hasil quick count, PDIP hanya meraih suara di kisaran 19 persen yang selaras dengan perkiraan hasil survei sebelum Jokowi dideklarasikan menjadi capres PDIP. Hasil ini jauh panggang dari api dengan target minimal 27,02 persen supaya mereka bisa mengusung capres sendiri tanpa berkoalisi dengan partai lain. Berkebalikan dengan itu, partai-partai berbasis massa Islam yang sebelumnya diperkirakan ditenggelamkan oleh ketokohan Jokowi, justru meraih hasil menggembirakan dengan kenaikan perolehan suara signifikan.

Kondisi ini membuat banyak orang tercengang. Terlebih, jika membandingkan dengan pengaruh Prabowo (Efek Prabowo) yang secara kasat mata hasilnya jauh lebih baik dibanding Jokowi, yaitu Gerindra pada Pemilu 2009 meraih 4,46 persen, saat ini menurut quick count menempati urutan ketiga dengan 11-12 persen. Kenyataan lain yang menyesakkan, yakni pernyataan pengamat bahwa efek Rhoma dianggap lebih bergigi karena isu pencapresan Rhoma berimbas terdong kraknya suara PKB lebih dari 100 per sen, dari 4,94 persen (2009) menjadi se kitar sembilan persen.

Tentunya kenyataan ini membuat kubu PDIP kecewa berat. Kepercayaan diri PDIP yang merupakan hasil kalkulasi Pileg 1999, 2004, dan 2009 itu pun runtuh. Pikiran mereka cukup dengan "hanya" mengusung sosok Jokowi yang di elu-elukan masya rakat berdasarkan hasil berbagai lem baga survei membuat boarding passsudah "dipastikan" digenggam dengan mudah.

Kemenangan yang hanya 19 persen ini diterima berat hati dan membuat mereka "gamang" terhadap Jokowi. Berbagai alasan pun dikemukakan untuk menjelaskan mengapa ini bisa terjadi. Mereka berkilah bahwa penyebab utamanya adalah gempuran lawan politik dan sempitnya waktu sosialiasi di media mengenai pencapresan Jokowi. Sehingga, rakyat pemilih belum banyak yang tahu.

Bisa jadi alasan ini benar, tapi jika PDIP dan tim pendukung Jokowi jeli, dari beberapa hasil survei elektabilitas Jokowi terus menurun meski masih unggul dibanding capres lainnya. Dan, beberapa kali Jokowi membantu kampanye gubernur seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatra Utara, dan Bali, ternyata calon yang diusung PDIP tidak berhasil meraih kemenangan.

Ojo dumeh lan ojo lali

Namun, terlepas dari hal ini ada penjelasan lain yang lebih masuk akal terkait dengan personal branding Jokowi, yaitu apa yang membuat masyarakat "jatuh cinta" terhadap Jokowi. Ada persepsi sangat kuat di masyarakat yang sudah terbentuk sehingga menjadi satu narasi, yatu Jokowi dipersepsi sebagai: santun, pekerja keras, sederhana, tidak cari muka, jujur, dan amanah yang secara keseluruhan telah menjadi personal brand yang kuat dari Jokowi.

Meski begitu, dengan hengkangnya Jokowi dari kursi gubernur yang diamanahkan masyarakat DKI dan menerima pencapresan dari Megawati (PDIP), tidak semua orang merespons positif.

Masyarakat mengatakan Jokowi ingkar karena telah berjanji menjadi Gubernur Jakarta selama lima tahun ke depan. Jokowi dianggap belum matang dan belum menunjukkan kinerja dan prestasi nyata. Dengan menerima pencapresan itu dipersepsikan Jokowi haus kekuasaan.

Kegalauan masyarakat ini tidak disikapi dengan baik oleh Jokowi dan PDIP. Malahan setelah pencapresan, Jokowi terlihat lebih asyik runtang-runtung dengan Mega ataupun kampanye pileg daripada mengurus Jakarta. Yang lebih parah, yaitu bersibuk diri menjawab berbagai serangan dari lawan politiknya. Jokowi lali (lupa) dengan janjinya. Padahal sebagai pemimpin, sebuah janji harus ditepati dan dipegang teguh. Janji merupakan trust atau kepercayaan.

Wajar jika publik mempersepsikan dirinya sebagai calon presiden boneka karena PDIP tidak menunjukkan adanya keprofesionalan partai, ketika Mega bisa mengajak seorang pemimpin daerah berziarah pada jam kerja. Bahkan, Jokowi pun sampai mencium tangan Mega. Hal yang tidak disukai masyarakat di luar Jawa karena berbau feodalisme.

Blusukan yang menjadi andalan Jokowi ke pasar-pasar tradisional maupun ke permukiman warga menjadi kehilangan makna dan terasa oleh masyarakat sebagai "sekadar’ pencitraan karena tidak memberi solusi masalah masyarakat. Jokowi terbuai dengan menjadi media darling, selain ia menjadi over confidence dengan mengatakan sebelum hari H pileg, PDIP akan menang tebal.

Jokowi yang rendah hati berubah menjadi dumeh atau mentang-mentang, satu sikap yang paling tidak disukai masyarakat Indonesia yang menunjukkan arogansi atau kesombongan.

Hal-hal seperti ini membuat personal brand Jokowi turun. Indikasinya adalah menurunnya citra Jokowi menjelang pileg sehingga akhirnya efeknya bagi suara PDIP juga tidak begitu besar.

What next?

Dengan tidak berpengaruhnya Efek Jokowi terhadap PDIP pada Pileg 2014, selang hanya sehari mulai terlihat penurunan personal branding-nya di masyarakat. Ini kenyataan yang merugikan.

Hari ini di berbagai media online mulai timbul kritikan langsung terhadapnya dari pengamat yang sebelumnya jarang terjadi. Mereka mulai mempertanyakan kinerja dan track record Jokowi. Ini harus dengan cepat disadari dan ditangani PDI Perjuangan dan tim sukses Jokowi jika tak ingin menemui kegagalan yang sama di pilpres.

Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan agar personal branding-nya tidak semakin melemah, antara lain, fokus pada kinerja serta menampakkan prestasi dalam sisa waktu tiga bulan memimpin Jakarta dan menunjukkan brand yang asli serta bukan manipulasi atau hasil rekaan media. Jokowi juga harus menunjukkan pengabdian pada kemaslahatan rakyat, bukan ke partai atau kelompok. Dia perlu bersikap tegas dan menjaga jarak dengan Mega sehingga tidak lagi dipersepsi sebagai capres boneka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar