Personal
Branding Jokowi
Dewi Haroen ; Pakar Personal
Branding, Penulis Buku “Personal Branding : Kunci Kesuksesan Berkiprah di
Dunia Politik”
|
REPUBLIKA,
11 April 2014
"Kemenangan
di atas ring adalah kemenangan kedua setelah saya dapat meraih kemenangan
atas diri saya."
(Mohamad
Ali, petinju legendaris Amerika)
Saat ini, di berbagai media
ramai dengan pemberitaan mengenai efek Jokowi yang tidak berhasil melejitkan
perolehan suara PDI Perjuangan di Pileg 2014. Padahal, berbagai lembaga
survei tampak begitu yakin dengan analisisnya bahwa pencapresan Jokowi
sebelum pileg akan membuat PDIP menang telak di atas 30 persen.
Meski menjadi pemenang berdasarkan
hasil quick count, PDIP hanya meraih
suara di kisaran 19 persen yang selaras dengan perkiraan hasil survei sebelum
Jokowi dideklarasikan menjadi capres PDIP. Hasil ini jauh panggang dari api
dengan target minimal 27,02 persen supaya mereka bisa mengusung capres
sendiri tanpa berkoalisi dengan partai lain. Berkebalikan dengan itu,
partai-partai berbasis massa Islam yang sebelumnya diperkirakan ditenggelamkan
oleh ketokohan Jokowi, justru meraih hasil menggembirakan dengan kenaikan
perolehan suara signifikan.
Kondisi ini membuat banyak orang
tercengang. Terlebih, jika membandingkan dengan pengaruh Prabowo (Efek
Prabowo) yang secara kasat mata hasilnya jauh lebih baik dibanding Jokowi,
yaitu Gerindra pada Pemilu 2009 meraih 4,46 persen, saat ini menurut quick count menempati urutan ketiga
dengan 11-12 persen. Kenyataan lain yang menyesakkan, yakni pernyataan
pengamat bahwa efek Rhoma dianggap lebih bergigi karena isu pencapresan Rhoma
berimbas terdong kraknya suara PKB lebih dari 100 per sen, dari 4,94 persen
(2009) menjadi se kitar sembilan persen.
Tentunya kenyataan ini membuat
kubu PDIP kecewa berat. Kepercayaan diri PDIP yang merupakan hasil kalkulasi
Pileg 1999, 2004, dan 2009 itu pun runtuh. Pikiran mereka cukup dengan
"hanya" mengusung sosok Jokowi yang di elu-elukan masya rakat
berdasarkan hasil berbagai lem baga survei membuat boarding passsudah
"dipastikan" digenggam dengan mudah.
Kemenangan yang hanya 19 persen
ini diterima berat hati dan membuat mereka "gamang" terhadap
Jokowi. Berbagai alasan pun dikemukakan untuk menjelaskan mengapa ini bisa
terjadi. Mereka berkilah bahwa penyebab utamanya adalah gempuran lawan
politik dan sempitnya waktu sosialiasi di media mengenai pencapresan Jokowi.
Sehingga, rakyat pemilih belum banyak yang tahu.
Bisa jadi alasan ini benar, tapi
jika PDIP dan tim pendukung Jokowi jeli, dari beberapa hasil survei
elektabilitas Jokowi terus menurun meski masih unggul dibanding capres
lainnya. Dan, beberapa kali Jokowi membantu kampanye gubernur seperti Jawa
Barat, Jawa Timur, Sumatra Utara, dan Bali, ternyata calon yang diusung PDIP
tidak berhasil meraih kemenangan.
Ojo dumeh lan ojo lali
Namun, terlepas dari hal ini ada
penjelasan lain yang lebih masuk akal terkait dengan personal branding Jokowi, yaitu apa yang membuat masyarakat
"jatuh cinta" terhadap Jokowi. Ada persepsi sangat kuat di
masyarakat yang sudah terbentuk sehingga menjadi satu narasi, yatu Jokowi
dipersepsi sebagai: santun, pekerja keras,
sederhana, tidak cari muka, jujur, dan amanah yang secara keseluruhan telah
menjadi personal brand yang kuat
dari Jokowi.
Meski begitu, dengan hengkangnya
Jokowi dari kursi gubernur yang diamanahkan masyarakat DKI dan menerima pencapresan
dari Megawati (PDIP), tidak semua orang merespons positif.
Masyarakat mengatakan Jokowi
ingkar karena telah berjanji menjadi Gubernur Jakarta selama lima tahun ke
depan. Jokowi dianggap belum matang dan belum menunjukkan kinerja dan
prestasi nyata. Dengan menerima pencapresan itu dipersepsikan Jokowi haus
kekuasaan.
Kegalauan masyarakat ini tidak
disikapi dengan baik oleh Jokowi dan PDIP. Malahan setelah pencapresan,
Jokowi terlihat lebih asyik runtang-runtung dengan Mega ataupun kampanye
pileg daripada mengurus Jakarta. Yang lebih parah, yaitu bersibuk diri menjawab
berbagai serangan dari lawan politiknya. Jokowi lali (lupa) dengan janjinya. Padahal sebagai pemimpin, sebuah
janji harus ditepati dan dipegang teguh. Janji merupakan trust atau kepercayaan.
Wajar jika publik mempersepsikan
dirinya sebagai calon presiden boneka
karena PDIP tidak menunjukkan adanya keprofesionalan partai, ketika Mega bisa
mengajak seorang pemimpin daerah berziarah pada jam kerja. Bahkan, Jokowi pun
sampai mencium tangan Mega. Hal yang tidak disukai masyarakat di luar Jawa
karena berbau feodalisme.
Blusukan yang menjadi andalan
Jokowi ke pasar-pasar tradisional maupun ke permukiman warga menjadi kehilangan
makna dan terasa oleh masyarakat sebagai "sekadar’ pencitraan karena tidak
memberi solusi masalah masyarakat. Jokowi terbuai dengan menjadi media
darling, selain ia menjadi over
confidence dengan mengatakan sebelum
hari H pileg, PDIP akan menang tebal.
Jokowi yang rendah hati berubah
menjadi dumeh atau mentang-mentang,
satu sikap yang paling tidak disukai masyarakat Indonesia yang menunjukkan
arogansi atau kesombongan.
Hal-hal seperti ini membuat personal brand Jokowi turun.
Indikasinya adalah menurunnya citra Jokowi menjelang pileg sehingga akhirnya
efeknya bagi suara PDIP juga tidak begitu besar.
What next?
Dengan tidak berpengaruhnya Efek
Jokowi terhadap PDIP pada Pileg 2014, selang hanya sehari mulai terlihat penurunan
personal branding-nya di
masyarakat. Ini kenyataan yang merugikan.
Hari ini di berbagai media
online mulai timbul kritikan langsung terhadapnya dari pengamat yang
sebelumnya jarang terjadi. Mereka mulai mempertanyakan kinerja dan track record Jokowi. Ini harus dengan
cepat disadari dan ditangani PDI Perjuangan dan tim sukses Jokowi jika tak
ingin menemui kegagalan yang sama di pilpres.
Ada beberapa langkah yang perlu
dilakukan agar personal branding-nya
tidak semakin melemah, antara lain, fokus pada kinerja serta menampakkan
prestasi dalam sisa waktu tiga bulan memimpin Jakarta dan menunjukkan brand yang asli serta bukan manipulasi
atau hasil rekaan media. Jokowi juga harus menunjukkan pengabdian pada
kemaslahatan rakyat, bukan ke partai atau kelompok. Dia perlu bersikap tegas
dan menjaga jarak dengan Mega sehingga tidak lagi dipersepsi sebagai capres boneka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar