Insinyur
si Pasar Bebas
Tulus Santoso ; Tenaga Ahli Anggota Komisi X DPR
|
KOMPAS,
19 April 2014
PADA
Februari lalu, DPR akhirnya mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2014
tentang Keinsinyuran. Baik pemerintah, DPR, maupun para insinyur berharap
agar UU yang telah digodok selama 15 tahun ini mampu meningkatkan kualitas
insinyur nasional demi menghadapi persaingan global, terutama Masyarakat
Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community)
pada 2015. Namun, benarkah UU Keinsinyuran ini mampu menjawab tantangan di
bidang keinsinyuran?
Perlu
kita ketahui, selain adanya liberalisasi di sektor perdagangan barang (goods) di wilayah ASEAN, pada tahun
depan juga akan terjadi liberalisasi jasa (services). Berdasarkan mutual recognition agreement (MRA), ada
delapan sektor jasa yang akan diliberalisasikan, salah satunya adalah jasa
keinsinyuran (engineering services).
Dengan adanya kesepakatan tersebut, otomatis akan terdapat standardisasi di bidang
keinsinyuran di antara negara-negara ASEAN.
Pertanyaannya,
apakah sumber daya manusia (SDM) Indonesia sudah siap menghadapi tantangan
tersebut? Kualitas pendidikan kita masih kalah dibandingkan negara-negara
tetangga. Bahkan, di sektor pendidikan
teknik,
hanya Institut Teknologi Bandung (ITB) yang mampu meraih akreditasi dari
Accreditation Board for Engineering and
Technology (ABET).
Selain
kualitas pendidikan, kemauan mahasiswa fakultas teknik untuk bekerja sesuai
dengan bidangnya juga masih minim. Hal ini semakin diperparah lantaran
kampus-kampus kita sedikit mencetak insinyur sehingga Indonesia masih
kekurangan insinyur.
Kalah dari negara lain
Data
yang didapat ASEAN Study Center UI
(2013) dari Persatuan Insinyur Indonesia (PII) menunjukkan bahwa pada 2008,
populasi sarjana teknik kita masih kalah dibandingkan dengan negara-negara
tetangga. Di Indonesia, setiap 1 juta penduduk hanya ada 2.671 sarjana
teknik. Bandingkan dengan Malaysia, setiap 1 juta penduduk terdapat 3.333
sarjana teknik, Thailand setiap 1 juta penduduk ada 4.121 sarjana teknik, dan
Vietnam dalam 1 juta penduduk ada 9.037 sarjana teknik.
Pertumbuhan
sarjana teknik di Indonesia juga terbilang rendah. Setiap tahun, pertumbuhan
sarjana teknik di Indonesia hanya 164 per 1 juta penduduk. Adapun di Malaysia
367 per 1 juta penduduk, Thailand 202 per 1 juta penduduk, dan Vietnam 282
per 1 juta penduduk. Statistik ini tentu memprihatinkan di tengah usaha kita
menjawab tantangan liberalisasi jasa keinsinyuran. Bahkan, PII memproyeksikan,
jika tidak ada usaha untuk mengubah kebijakan pendidikan, sampai tahun 2030
Indonesia akan kekurangan sekitar 15.000 insinyur. Celah inilah yang
selanjutnya akan dimanfaatkan oleh insinyur dari negara lain.
Lahirnya
UU No 11/2014 memang penting dalam upaya menciptakan regulasi agar kita bisa
melindungi diri dari gempuran insinyur asing dan tercipta persaingan yang
seimbang. Karena pada prinsipnya, UU tersebut menjadi pegangan dan bukti
bahwa suatu negara menjamin kualitas insinyurnya. Namun, untuk berdiri sama
tegak dan supaya kita bisa ikut menjadi pemain utama, tentu kebijakan di
sektor keinsinyuran tidak boleh berhenti sampai regulasi saja. Peningkatan
SDM melalui pendidikan harus segera dilakukan.
Rumuskan kurikulum
Apakah
Kemdikbud dan perguruan tinggi (PT) telah memikirkan langkah untuk
menyinergikan kebijakan pendidikannya demi meningkatkan daya saing di sektor
keinsinyuran? Kemdikbud bersama-sama PT perlu merumuskan kurikulum yang
mumpuni untuk menjawab tantangan di sektor keinsinyuran. Bukan hanya
menyangkut keilmuan semata, kemampuan secara praktikal juga perlu
dikembangkan. Memang pendidikan teknik tidak murah, di ITB, untuk jenjang
doktoral per semester sekitar Rp 9.000.000, sedangkan di Universitas
Indonesia biaya pendidikan untuk program doktor Rp 13.000.000 per semester
(biaya operasional pendidikan/BOP) dan dana pengembangan Rp 26.000.000.
Untuk
itulah kehadiran beasiswa sangat penting demi merangsang sarjana teknik dalam
mengembangkan ilmunya. Tentunya beasiswa yang dimaksud di sini haruslah
terkonsep dengan baik, bukan seperti yang ada saat ini, beasiswa tidak sesuai
dengan renstra di bidang pendidikan. Selain itu, pembayarannya pun selalu
telat.
Selanjutnya,
dari aspek regulasi, pemerintah harus segera membuat aturan turunan, seperti peraturan
pemerintah (PP) yang menjadi bagian dari UU tentang Keinsinyuran tersebut.
Sebab, pelaksanaan liberalisasi jasa ASEAN tinggal beberapa bulan lagi.
Jangan sampai UU yang ada tidak bisa dilaksanakan dengan alasan belum ada
aturan pelaksanaannya. Apalagi kultur kita dalam membuat PP selalu memakan
waktu yang lama, terbukti dari banyaknya UU yang PP-nya tidak lengkap.
Bahkan, terkait dengan kelambanan tersebut, Indonesia menjadi negara
kedelapan di ASEAN yang baru memiliki UU tentang keinsinyuran.
Sektor
jasa keinsinyuran hanyalah satu tantangan yang mesti dihadapi oleh Indonesia
dalam perdagangan berskala regional. Masih ada tujuh sektor jasa lain, yaitu:
jasa arsitek, jasa perawatan, praktik medis, dokter gigi, jasa akuntan,
pariwisata, dan jasa survei. Hal ini belum termasuk persaingan di sektor
perdagangan barang. Akibatnya, tugas kabinet pemerintahan dan legislatif
hasil Pemilu 2014 sangat berat, terutama dalam menjawab permasalahan daya
saing Indonesia di kancah global. Semoga
mereka semua bisa tanggap dan trengginas menghadapi tantangan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar