Tiga
Juta Lapangan Kerja Berkualitas
P Agung Pambudhi ; Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia;
Wakil Ketua
Dewan Pengurus Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
|
KOMPAS,
22 April 2014
SEDERET
data ditampilkan Ahmad Erani Yustika untuk menunjukkan elastisitas penciptaan
lapangan kerja yang memburuk di mana setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi
menciptakan jumlah lapangan kerja yang semakin kecil dari tahun ke tahun. Diungkapkan,
pertumbuhan ekonomi tinggi tak serta-merta menciptakan lapangan kerja besar,
bahkan yang terjadi pertumbuhan ekonomi tinggi telah menciptakan perangkap
pertumbuhan berupa disparitas pendapatan antar-golongan yang secara sempurna
terjadi di Indonesia.
Artikel
Erani ini menanggapi pendapat Gustav Papanek, Presiden Boston Institute for Developing Economies.
Sayangnya, komentar Papanek tentang pentingnya menaruh perhatian pada
industri padat karya tidak dibahas Erani.
Dalam
penciptaan lapangan kerja, gagasan studi Papanek terbagi dalam dua bagian:
dukungan bagi investasi industri padat karya dan kebijakan penciptaan
lapangan kerja aktif (active employment)
lewat anggaran pemerintah dengan melibatkan rakyat dalam aktivitas
pembangunan.
Lapangan kerja berkualitas
Mengapa
investasi padat karya? Industri inilah yang paling berpotensi menyerap tenaga
kerja dalam jumlah besar, jauh melampaui daya serap tenaga kerja industri
padat modal ataupun jasa pada umumnya. Industri padat karya seperti tekstil,
garmen, dan alas kaki mampu menyerap banyak tenaga kerja dengan tingkat
keterampilan rendah (low skills).
Tersedia
surplus tenaga kerja yang dapat dilatih dengan segera untuk mengerjakan
pekerjaan low skills itu. Industri
padat karya inilah yang mampu menjadi pull-factor
untuk menarik ”surplus” tenaga kerja di sektor tak produktif seperti
pertanian dan para pekerja informal. Secara meyakinkan, Papanek memaparkan
surplus tenaga kerja, di antaranya ditunjukkan dalam analisis soal ”surplus”
tenaga kerja pertanian.
Untuk
penciptaan tiga juta lapangan kerja berkualitas per tahun dan mencapai
pertumbuhan ekonomi tinggi, Papanek mensyaratkan beberapa hal utama.
Pertama,
Indonesia harus mampu mengambil 10 persen pasar investasi padat karya
Tiongkok yang akan ditinggalkannya mengingat upah tenaga kerjanya sudah tidak
akan kompetitif lagi. Jika Indonesia tidak mampu memanfaatkannya, kesempatan
ini tak akan berulang mengingat negara-negara kompetitor seperti Vietnam,
Kamboja, dan India akan mengambilnya.
Kedua,
pembenahan daya dukung industri padat karya, di antaranya dengan mengurangi
biaya logistik dan transportasi yang saat ini masih sekitar 26,5 persen dari
total biaya, jauh lebih tinggi dibandingkan negara kompetitor seperti
Malaysia (13 persen) dan Jepang (10 persen). Ketiga, dukungan ketersediaan
energi dengan biaya kompetitif, di antaranya dengan konversi penggunaan
minyak (BBM) ke gas (BBG) yang didukung sarana dan prasarana distribusi gas
dari lokasi produksi ke area konsumsi.
Keempat,
penciptaan kluster industri di luar Jakarta yang lebih murah biaya lahan dan
tenaga kerja dengan meningkatkan anggaran infrastruktur yang saat ini sekitar
1 persen dari PDB menjadi 5 persen (yang dapat dibiayai dari pengurangan
subsidi BBM dan insentif pajak bagi investasi yang membangun infrastruktur).
Kelima,
menjaga upah minimum buruh yang masuk akal disertai program peningkatan
kualitasnya agar naik produktivitasnya sehingga meningkatkan pendapatan
buruh. Keenam, kebijakan kurs BI dengan menjaga penguatan rupiah di tingkat
yang dapat diterima sehingga memberikan insentif bagi eksportir. Ketujuh,
pengurangan biaya regulasi dengan kepastian dan penegakan hukum serta
implementasi tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Karya
Papanek memberikan rekomendasi operasional yang amat dibutuhkan, relatif
konkret dan tidak terlalu normatif sebagaimana kebanyakan studi. Tentu
sejumlah catatan bahkan barangkali sanggahan bisa ditujukan ke studi
tersebut.
Soal
fokus industri padat karya, selain soal upah minimum, berbagai prasyarat
Papanek tersebut bukan merupakan kepentingan spesifik industri padat karya,
melainkan juga kebutuhan industri manufaktur pada umumnya. Maka, persoalannya
bukan picking the winner untuk
industri yang diutamakan, melainkan penciptaan daya dukung investasi yang
memungkinkan setiap bidang industri lebih berdaya saing. Baik industri
manufaktur padat karya maupun padat modal akan diuntungkan.
Namun,
Papanek juga benar bahwa perhatian pada industri padat karya memungkinkan
untuk penyerapan tenaga kerja yang besar. Di sisi lain, industri manufaktur
padat modal juga penting untuk penciptaan nilai tambah yang membawa tarikan
aktivitas ekonomi lainnya.
Biaya tenaga kerja
Tantangan
utama dari implementasi rekomendasi Papanek adalah terkait upah minimum.
Sejatinya tak ada yang baru dalam gagasan menempatkan upah minimum sebagai
jaring pengaman (safety net)
sehingga besarannya hanya untuk memenuhi kebutuhan minimum—mirip basis
kebutuhan fisik minimum yang berlaku sebelumnya, bukan berdasar kebutuhan hidup
layak (KHL) yang kini berlaku.
Namun,
sebagai negara yang masih sangat muda dalam berdemokrasi, di mana euforia
kebebasan demikian kuat memengaruhi berbagai aspek kehidupan termasuk dalam
pola relasi pemberi kerja dan tenaga kerja, gagasan institusionalisasi upah
minimum sebagai jaring pengaman hampir merupakan utopia, jauh panggang dari
api. Politisasi pengupahan yang menempatkan posisi pengusaha-pekerja
berhadapan secara diametral dalam tata kehidupan ekonomi politik Indonesia
merupakan tantangan amat besar untuk mencapai keharmonisan hubungan bipartit,
terlebih ketika unsur pemerintah dalam relasi tripartit demikian lemah dalam
menjamin kepastian dan penegakan hukum.
Formula
ideal upah minimum yang mengakomodasi kepentingan pengusaha, pekerja, dan pencari
kerja secara teknokratis obyektif bisa dirancang. Termasuk dengan
mempertimbangkan kemampuan pemerintah menyediakan pelayanan dasar kesehatan,
pendidikan, dan infrastruktur dasar yang berpengaruh terhadap penentuan upah
minimum. Namun, soalnya lebih pada kemauan politik dan kemampuan pemerintah
menegakkan aturan demokrasi berupa pelaksanaan peraturan perundang-undangan
yang didukung ukuran-ukuran obyektif dengan baik.
Lebih
lanjut, tak mudah untuk menempatkan kebijakan pengupahan dalam kaitannya dengan
produktivitas sebagai basis penentuan upah yang adil bagi pengusaha dan
pekerja—yang pengukuran akuratnya lebih mungkin ditentukan di tingkat
perusahaan—di tengah kuatnya pengaruh gerakan buruh terhadap serikat
pekerja/serikat buruh (SP/SB) di tingkat perusahaan.
Belum
lagi jika bicara berbagai ketentuan lain ketenagakerjaan dalam UU No 13/2003
dan sejumlah peraturan turunannya terkait pemutusan hubungan kerja, pesangon,
kebijakan alih daya (outsourcing),
dan lain-lain yang sangat kontroversial.
UU ketenagakerjaan
ini mencatat rekor UU yang paling banyak dilakukan uji materi, baik oleh
pengusaha maupun pekerja, sehingga tidak keliru jika dikatakan sebagai UU
yang tidak diinginkan pengusaha ataupun pekerja, tetapi ironisnya sampai saat
ini segala upaya untuk merevisinya selalu menemui jalan buntu.
Rekomendasi
Papanek soal upah minimum semestinya bisa dilaksanakan, tetapi mensyaratkan
kepemimpinan nasional yang amat kuat untuk bisa melampaui uji pertama:
amendemen UU No 13/2003 sebagai awal pembenahan berbagai persoalan
ketenagakerjaan.
Diskusi
lanjut rekomendasi Papanek tentu bisa diteruskan, tetapi saya membatasi
tulisan ini di sini, untuk menyambut ajakan Erani dalam mendiskusikan suatu
karya akademik. Rekomendasi akademik Papanek untuk penciptaan tiga juta
lapangan kerja mungkin bisa dilaksanakan berdasarkan catatan di atas, dan
sejumlah kontribusi pemikiran lainnya dari para pemangku kepentingan atas
kerja akademiknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar