Dakwah
dan Kearifan Lokal
Ali Mustafa Yaqub ; Imam Besar Masjid
Istiqlal dan Ketua Umum IPIM
(Ikatan Persaudaraan Imam Masjid)
|
REPUBLIKA,
08 April 2014
Bulan Agustus 1982, almarhum
Bapak Mr (Mester in de Rechte/Sarjana
Hukum) H Muhammad Roem memberikan ceramah di hadapan anggota Young Muslim
Association in Europe (YMAE), yang akrab di kalangan masyarakat Indonesia
dengan sebutan PPME (Persatuan Pemuda Muslim Eropa), di kediaman Bapak H
Hambali Ma'sum di Denhaag, negeri Belanda.
Pak Roem mengatakan bahwa Buya
Hamka pernah ditanya oleh Dr Syauqi Futaki (Ketua Japan Islamic Congress), "Apa
penyebab orang Indonesia, khususnya orang Jawa, begitu mudah masuk Islam
dengan serentak dalam jumlah yang banyak tanpa ada konflik sedikit pun?"
Menurut Pak Roem, Buya Hamka saat itu menjawab, "Itulah yang sedang saya
pelajari." Buya Hamka rahima
hullah wafat pada tahun 1984. Semoga sebelum itu, beliau sudah menemukan
jawaban yang dipelajarinya tadi.
Para ahli berbeda pendapat
tentang kapan Islam masuk ke Indonesia, khususnya di tanah Jawa. Sebagian
berpendapat, Islam sudah masuk di Kepulauan Indonesia abad pertama Hijriyah
(sekitar abad ke-7 atau 8 Masehi). Sebagian berpendapat, Islam masuk ke
Indonesia abad ke-14 Masehi.
Kendati begitu, para ahli
sependapat Islam masuk ke Indonesia tidak melalui cara-cara kekerasan dan
lain sebagainya, melainkan dengan cara yang sangat damai. Para ahli juga
tampaknya sependapat bahwa pendekatan dakwah yang dilakukan para dai yang
datang dari Jazirah Arab, khususnya dari Hadhra maut, adalah pendekatan
kultural. Sehingga, masyarakat khususnya di tanah Jawa tidak merasa terusik
sedikit pun dalam masalah sosial budaya.
Apabila kita mengamati masalah
sosial budaya di kalangan masyarakat Jawa saat ini, maka tampaknya pendapat
di atas dapat dibenarkan. Peninggalan Islam yang merupa kan warisan para dai
yang sering disebut dengan para wali sangat kental sekali dengan
budaya-budaya lokal alias budaya Jawa.
Kendati mereka banyak berasal
dari negeri Arab, mereka tidak serta-merta mengubah secara radikal budaya
lokal dengan budaya Arab. Mereka justru membaur dan meleburkan diri dengan
budaya lokal alias budaya Jawa.
Arsitektur masjid-masjid yang
mereka tinggalkan, semisal Masjid Agung Sunan Ampel Surabaya, Masjid Agung
Demak, Masjid Menara Kudus, dan lain-lain menunjukkan bahwa para dai itu
sangat arif dengan budaya-budaya lokal sehingga mereka tidak menggantinya
dengan budaya Arab. Arsitek masjid-masjid tersebut sampai sekarang menjadi
saksi sejarah tentang begitu bijaknya para dai dalam berdakwah sehingga
bangunan-bangunan tersebut masih ken tal dengan budaya Jawa.
Bagi para dai, bangunan bukanlah
akidah dan bukan ibadah, melainkan bagian dari muamalah. Maka sepanjang tidak
bertentangan dengan syariat Islam, budaya-budaya tersebut tetap mereka lestarikan.
Hasilnya, orang Jawa tidak merasa kaget memasuki masjid karena merasa masuk
ke rumah adat mereka sendiri.
Menurut catatan para ahli, para
dai di samping melestarikan budaya fisik se perti arsitektur Jawa dalam
bangunan masjid, juga melakukan pendekatan kultural dalam menyampaikan pesan
keislaman kepada masyarakat Jawa. Dr Purwadi MHum, Rektor Institut Kesenian
Jawa di Yogyakarta, dalam bukunya Dakwah Sunan Kalijaga, menyebutkan, para
wali khususnya Kanjeng Sunan Kalijaga dalam mentrans for masikan
ajaran-ajaran Islam, menciptakan tembang-tembang (lagu-lagu) seperti tembang
Dandang Gulo dan sebagainya.
Di bidang sosial, khususnya di kawasan
pesisir utara Jawa Tengah, sampai saat ini masih banyak masyarakat yang tidak
mengonsumsi daging sapi. Di daerah Pekalongan, misalnya, kita akan melihat
apa yang namanya bakso kerbau, bukan bakso sapi. Bahkan, sebagai bagian dari
masyarakat pesisir utara Jawa Tengah, kami mengonsumsi daging sapi setelah
kami tinggal di Jawa Timur.
Konon, ketika Islam masuk di
kawasan utara Jawa Tengah, masyarakat yang saat itu masih beragama Hindu sangat
keberatan apabila orang Islam membunuh dan mengonsumsi sapi, hewan yang
mereka sucikan. Maka dalam rangka dakwah, para dai melakukan pendekatan
sosial dengan tidak mengonsumsi daging sapi. Inilah bentuk-bentuk kearifan
lokal yang dilakukan para dai dalam menjalankan dakwah pada saat itu. Dan
hasilnya adalah seperti yang dikatakan oleh Dr Syauqi Futaki.
Saat ini, ada kecenderungan para
dai tidak memperhatikan kearifan lokal seperti tersebut di atas. Dalam
masalah sosial budaya, tampak ada sebuah pemaksaan harus bercorak Arab. Pakaian
harus dengan jubah dan ubel-ubel
serban yang membungkus kepala. Bangunan masjid juga mesti berbentuk kubah,
kendati sebenarnya kubah bukan dari Arab melainkan dari gereja Byzantium.
Di Bali, Kalimantan Utara, dan
lain-lain, kami sempat menanyakan ketika warga setempat membangun masjid, "Mengapa ornamen Bali dan Dayak tidak
Anda masukkan dalam masjid yang sedang Anda bangun?" Kami mengatakan,
sekiranya masjid di Bali memasukkan ornamen-ornamen Bali, dan masjid di
Kalimantan Utara memasuk kan ornamen-ornamen Dayak, maka orang Bali dan orang
Dayak akan mudah dan tidak merasa terkejut saat memasuki masjid karena mereka
merasa memasuki rumah adat mereka sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar