Tantangan
Presidensialisme Multipartai
W Riawan Tjandra ; Pengajar
Bidang Hukum Kenegaraan
Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
KOMPAS,
14 April 2014
HASIL
hitung cepat pemilu yang ditampilkan oleh beberapa lembaga survei menempatkan
PDI-P, yang mengusung Joko Widodo sebagai bakal capres mereka, sebagai peraih
suara terbanyak. Namun, angka kemenangan yang diraih dalam versi hitung cepat
tersebut masih terlihat belum mampu memenuhi kriteria ambang batas perolehan
kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari
suara sah nasional, sebagaimana digariskan Pasal 9 UU No 42/2008 tentang
Pilpres untuk dapat mengusung sendiri secara otonom pasangan capres-cawapres.
Di sinilah sesungguhnya dilema presidensialisme multipartai yang dicanangkan
oleh UU Pilpres, yang sebenarnya secara materiil telah dibatalkan oleh
Putusan MK No 14/PUU-XII/2013, meski secara formil putusan MK tersebut
dinyatakan baru akan berlaku pada 2019.
Menurut
MK, dalam satu butir pertimbangan putusan tersebut, penyelenggaraan pilpres
harus menghindari terjadinya negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik
yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat. Hal itu dinilai tidak mampu
menjadi sarana transformasi perubahan sosial. Selain itu, berkaca pada Pemilu
2004 dan 2009, pilpres yang dilaksanakan setelah pemilu legislatif tidak
mampu memberikan penguatan atas sistem presidensialisme yang diamanatkan
konstitusi.
Namun,
sayangnya, sifat putusan MK mengenai UU Pilpres tersebut bersifat
inkonstitusional bersyarat, yang pelaksanaannya harus menunggu 2019. Dengan
dualisme nilai (in)konstitusionalitas putusan MK atas UU Pilpres tersebut,
tentu kembali membuka ruang bagi partai pemenang pemilu yang tak berhasil
memenuhi ambang batas pencalonan capres dalam UU Pilpres untuk melakukan
koalisi antarpartai. Hal ini terutama dalam pencalonan pasangan capres agar
syarat ambang batas pencalonan terpenuhi, tetapi dengan segala konsekuensi
politiknya.
Kartel politik
Meski
konstitusionalitas hasil pilpres dijamin oleh putusan MK No 14/PUU-XII/2013,
praktik ketatanegaraan tak mampu beranjak untuk mempertegas karakter
presidensialisme sistem pemerintahan yang diamanatkan oleh UUD 1945.
Negosiasi dan kompromi dalam proses koalisi antarpartai dalam pencalonan
capres dikhawatirkan akan tetap ”memasung” presiden terpilih. Yang pasti akan
membuat kalkulasi-kalkulasi politik sejak pembentukan kabinet sampai pada
implementasi program-program kerja kabinet setelah terpilih.
Apalagi
sistem kepartaian di negeri ini selama satu dekade ini justru cenderung
memperlihatkan dianutnya kartel politik. Akibatnya, kiprah fraksi-fraksi di
DPR cenderung memperlihatkan peta politik yang mencerminkan pola kartel
politik tersebut. Alhasil, presiden akhirnya harus banyak berlapang dada
untuk melakukan sederet kompromi dan negosiasi politik saat harus
melaksanakan program kerja kabinet.
Di sisi
lain, praktik ketatanegaraan semacam itu sejatinya justru mencabut
representativitas parlemen dari akar
konstituensinya dan menggeser kursi para wakil rakyat tersebut menjadi kursi
(kepentingan) partai. Tesis kartel tersebut jadi sarana untuk menjelaskan
inkonsistensi peta persaingan yang berlangsung sejak dari arena pemilihan
hingga arena legislatif di negeri ini.
Tanpa
ada keberanian dari partai pemenang pemilu legislatif untuk melakukan
terobosan dalam menyikapi peta persaingan pencalonan capres kali ini,
sebenarnya pola kebuntuan praktik ketatanegaraan dalam presidensialisme multipartai
yang terjadi dalam dua pemilu sebelumnya bisa berulang kembali. Akibatnya,
harapan publik yang sangat besar untuk terjadinya perubahan melalui pileg dan
pilpres kali ini pun bisa kandas.
Kompromi
politik yang dibangun dalam praktik ketatanegaraan, yang cenderung
mencerminkan karakter semi presidensialisme, tak urung membuka pintu lebar
untuk terjadinya kolusi kepentingan antarpartai. Di titik inilah sebenarnya
hasil pemilu, baik legislatif maupun presiden, dipertanyakan kesahihannya
secara substantif untuk sungguh-sungguh mampu berpihak pada kepentingan
rakyat pemilih. Harapan publik yang sangat besar terhadap hasil pilpres
jangan sampai kembali pudar karena pemilu hanya melahirkan pemimpin yang
menjadi tawanan (kepentingan) partai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar