Quasi
Hypnolearning dan Unas
Akh Muzakki ; Dosen UIN
Sunan Ampel Surabaya, Sekretaris PW NU Jatim
|
JAWA
POS, 14 April 2014
SETIAP
kali ujian nasional (unas) segera dilaksanakan, setiap kali itu pula ritual
sosial keagamaan dilakukan. Di sekolah-sekolah, diselenggarakan beragam
kegiatan sosial keagamaan tersebut. Mulai yang bernama istighotsah, doa
bersama, hingga pemberkatan.
Intinya,
ritual sosial keagamaan itu berlangsung lintas lembaga pendidikan. Tidak
peduli apakah bernama sekolah atau madrasah. Tidak peduli apakah sekolah atau
madrasah itu berpelat merah (negeri) ataukah hitam (swasta). Juga, terlepas
apakah lembaga pendidikan tersebut berlatar belakang keagamaan ataukah tidak.
Semuanya ramai-ramai melakukan ritual sosial keagamaan versi masing-masing.
Lalu
pertanyaannya, fenomena apakah itu? Bagaimana memahami maraknya ritual sosial
keagamaan dalam derap menjelang pelaksanaan unas? Lalu, apa makna yang bisa
diambil dari fenomena itu?
Siapa
pun tidak bisa menafikan fakta bahwa unas telah menimbulkan kecemasan yang
tinggi. Apa pun skemanya, unas tidak bisa melepaskan diri dari dampak
kecemasan yang ditimbulkan menyusul posisinya yang juga menentukan kelulusan
siswa.
Tentu
itu bukan soal unasnya yang menjadi masalah. Semua aspek kehidupan yang
menentukan keberhasilan atau kegagalan pasti menimbulkan kecemasan, apa pun
bentuk dan derajat ketinggiannya. Kebetulan, dalam konteks ini unas sedang
menjadi perhatian publik.
Apalagi,
kecemasan akibat unas akan mengalami eskalasi saat bertemu dengan politisasi
oleh pejabat publik. Unas sudah tidak lagi sekadar standar kelulusan siswa.
Unas sudah menjadi salah satu indikator kesuksesan politik jabatan dan
jabatan politik.
Nah,
respons penyelenggara pendidikan berserta anak didik terhadap kecemasan yang
timbul gara-gara unas melalui ritual sosial keagamaan itu bisa disebut
sebagai fenomena quasi hypnolearning.
Konsep hypnolearning merupakan
gabungan kata hypno dan learning.
Secara
harfiah, hypno mengandung makna
leksikal "tidur". Dalam
makna terminologisnya, hypno berarti "alam
bawah sadar". Maka, hypnolearning
bisa dimaknai sebagai perangkat metodologis-teknis pembelajaran dengan
memaksimalkan kemampuan bawah sadar anak didik untuk meningkatkan perolehan
hasil belajar yang tinggi.
Karena
itu, fenomena maraknya ritual sosial keagamaan menjelang unas di sekolah-sekolah
bisa disebut sebagai quasi
hypnolearning. Tidak sepenuhnya hypnolearning, akan tetapi cukup bersifat
quasi (semu).
Bagaimana
quasi hypnolearning bisa memberi manfaat bagi pencapaian hasil unas yang baik
hingga hampir semua sekolah menyelenggarakannya? Praktik quasi hypnolearning
melalui istighotsah, doa bersama, hingga pemberkatan pada titik akhirnya
memberikan ketenangan, kestabilan emosi, dan keteraturan dalam menyikapi
sebuah tantangan atau masalah. Dengan ketenangan, kestabilan emosi, dan keteraturan
itu, kecemasan yang ditimbulkan oleh skema unas akan dikelola sedemikian rupa
sehingga bisa ditransformasikan menjadi modal bersama untuk pemantapan diri.
Sekolah
dan guru selayaknya menjadikan praktik quasi hypnolearning tersebut sebagai
modal sosio-kultural. Pengemasan yang baik dan lebih sistemis harus
dilakukan. Sebab, quasi hypnolearning itu
sejatinya bisa menjadi pembelajaran menarik bagi kehidupan siswa ke depan.
Minimal, substansi quasi hypnolearning bisa digunakan untuk memberikan kesadaran
bersama tentang dua hal penting. Pertama, hidup tidak selalu berada dalam
kestabilan. Bergantinya siang dan malam serta musim dalam setahun menjadi
inspirasi alam bahwa hidup sebagai individu maupun anggota masyarakat-bangsa
akan kerap dihadapkan pada berbagai tantangan dan masalah.
Bagi
individu yang baik, respons yang apik terhadap tantangan dan masalah tidak
dilakukan dengan cara melarikan diri dari tantangan dan masalah itu.
Melainkan dihadapi secara saksama dengan berbagai tingkat kemudahan dan
kesulitannya. Karena itu, keterampilan mencari dan mendapatkan cara terbaik
dalam menghadapi tantangan dan masalah penting ditanamkan.
Kedua,
praktik quasi hypnolearning
menjelang unas juga memberikan pelajaran menarik bahwa keseimbangan hidup
antara material dan spiritual menjadi kebutuhan bersama. Dilaksanakannya
ritual sosial keagamaan berupa istighotsah, doa bersama, dan pemberkatan di
lintas lembaga pendidikan, terlepas apakah berlatar belakang keagamaan
ataukah tidak maupun negeri atau swasta, memberikan kesadaran bahwa kebutuhan
terhadap aspek material dan spiritual tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan
bersama.
Dari
pengalaman quasi hypnolearning itu, keterampilan hidup (life skills) bisa
disemai. Juga, unas menjadi lahan suburnya. Dengan begitu, tatangan dan
masalah kehidupan bisa diselesaikan dengan penuh keseimbangan antara material
dan spiritual. Ketidakberimbangan justru tidak akan membantu penyelesaian
masalah kehidupan.
Merujuk
pada empat pilar pendidikan model UNESCO, pendidikan seharusnya mendorong
kemampuan siswa untuk bisa belajar untuk tahu (learning to know), belajar untuk bertindak (learning to do), belajar untuk hidup bermasyarakat (learning to live together), dan
belajar untuk berposes menjadi (learning
to be). Empat pilar itu menunjuk satu prinsip: belajar untuk selalu
belajar menghadapi hidup (learning to
learn). Fenomena quasi
hypnolearning menjelang unas selayaknya menjadi bancik pembelajaran anak
didik untuk siap menyongsong kehidupan ke depan dengan segala tantangan dan
masalah yang timbul dengan baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar