Selasa, 15 April 2014

Suara Partai Islam

Suara Partai Islam

Firman Noor  ;   Peneliti Madya Pusat Penelitian Politik-LIPI,
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI
REPUBLIKA, 14 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Hasil sementara Pemilu 2014 ternyata dipenuhi dengan berbagai kejutan. Di antara hasil-hasil yang mengejutkan itu adalah melonjaknya (bouncing) suara partai Islam dibanding pemilu sebelumnya. Meski memang hasil finalperhitungan suara belum dapat ditentukan, setidaknya gambaran kasar atau tren peningkatan itu sudah dapat diprakirakan.

Suara partai-partai Islam, layaknya partai-partai nasionalis, memang secara umum fluktuatif. Pemilu kali ini sekali lagi berdasarkan data kasar yang masuk, bukanlah hasil yang terbaik. Jika dirunut dari sejarah perjalanan partai-partai Islam dalam pemilu maka pemilu pada tahun 1955 pada era Demokrasi Liberal masih tetap yang terbaik, yakni partai-partai Islam saat itu mampu meraih suara dan menguasai parlemen hingga sekitar 44,4 persen. 

Jumlah itu menurun drastis pada masa Demokrasi Terpimpin, pasca dipaksanya Partai Masyumi (partai Islam terbesar saat itu) membubarkan diri oleh Sukarno. Pada masa ini kelompok Islam di parlemen hanya memiliki kursi tak lebih dari 15,3 persen. Ini merupakan masa tersulit yang pernah dihadapi oleh partai-partai Islam yang saat itu tinggal menyisakan beberapa partai, semisal NU, PSII, dan Perti. 

Pada masa Orde Baru, dalam enam kali pemilu, partai-partai Islam (1971)
dan PPP (1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997), memperoleh suara rata-rata 21,9 persen. Pada masa yang penuh dengan rekayasa politik itu, partai Islam mampu bertahan dari tekanan luar biasa Rezim Soeharto yang sempat pada awal pemerintahannya mengidap semacam Islamofobia. 

Setelah Orde Baru berlalu, suara partai-partai Islam kembali mengalami peningkatan. Hingga 15 tahun berjalannya reformasi suara partai-partai Islam (termasuk Pemilu 2014), rata-rata berada dalam kisaran 33,1 persen. Hasil terbaik hingga sejauh ini tetap Pemilu 2004, yaitu 39,95 persen suara atau setara dengan 42,15 persen kursi mampu di raup. Dan meski jelas lebih tinggi ketimbang hasil Pemilu 2009, hasil Pemilu 2014 tampaknya akan sedikti lebih rendah dari capaian tahun 1999, yaitu partai-partai Islam mampu meraih suara hingga 37,56 persen.

Hal yang membuat istimewa pemilu kali ini bahwa hasil itu diraih saat citra partai-partai Islam coba untuk dibusukkan atau setidaknya dinafikan dalam percaturan politik nasional. Media, yang menjadi salah satu titik lemah partai- partai Islam, menjadi sarana yang efektif untuk melakukan hal-hal tersebut. 

Di samping itu, upaya mengerek citra postif partai-partai nasionalis dan tokoh-tokohnya atau pencitraan demikian maksimal dilakukan oleh para pendukung dan simpatisan. Puluhan dan bisa jadi ratusan konglomerat ada di balik partai-partai tersebut. Penguasa media pun sebagian besar menjadi simpatisan partai nasionalis. Tidak mengherankan jika partai Islam sekali saja melakukan kesalahan, langsung dipojokkan habis-habisan. Di sisi lain kerja-kerja bernas partai-partai Islam seolah hilang ditelan bumi. Kondisi-kondisi inilah yang menyebabkan bahkan seorang Yusril Ihza Mahendra pun demikian pesimistisnya melihat masa depan partai Islam. 

Dinamis dan mengakar

Namun, hasil quick count menunjukkan hasil yang mencengangkan, menyebabkan banyak pollster, bahkan harus tersenyum kecut dan mengakui kemampuan bertahan (endurance) yang mengagumkan dari partai-partai Islam.

Prediksi bahwa PKS akan menghilang atau PKB akan hanya menjadi pelengkap penderita tanpa makna, misalnya, ternyata hanya sebuah ilusi. Hal ini menunjukkan bahwa perangkat partai dan daya dukung simpatisan partai-partai Islam itu secara internal terus bergerak dan tidak dapat dimatikan atau dilumpuhkan begitu saja dengan misalnya pemberitaan yang timpang di media.

Keberhasilan PKB meraup suara dan merebut kembali wilayah yang secara tradisional milik mereka tak lepas dari pendekatan baru, yakni berbaik-baik (lagi) dengan NU dan warganya. Partai ini sadar bahwa tanpa itu PKB akan banyak kehilangan simpatisan dan pendukung tradisionalnya. "Back to NU" adalah rumus utama dari keberhasilan PKB kali ini.

Sementara, PKS telah teruji sebagai partai Islam dengan soliditas terbaik.
Kaderisasi yang belum ada duanya dan komitmen ideologis para kader dan simpatisan telah membuat partai ini mampu menahan berbagai goncangan yang luar biasa, baik internal maupun eksternal.

Jika kualitas pelembagaan PKS sama dengan Demokrat (yang diperkirakan akan kehilangan sekitar 10-11 persen suara), tentu partai ini sudah habis ditelan bumi, sama persis dengan prediksi para pollster. 

Adapun PAN kembali dalam kisaran tujuh persen dan bisa jadi bertambah.
Sedangkan, PPP berada di kisaran enam persen, sedikit lebih baik dibandingkan pemilu tahun lalu. Situasi ini menunjukkan kemampuan yang tidak dapat diremehkan kedua partai tersebut dalam memelihara akar atau basis dukungan. Dibandingkan dengan Nasdem atau Hanura, baik PAN maupun PPP jelas tidak menguasai media ataupun memiliki sejumlah konglomerat kelas kakap. Namun, hasilnya jelas tidak jelek-jelek amat. Bahkan, PAN bisa jadi melampui kedua partai nasionalis itu. 

Lepas dari itu, bisa jadi ekspose pemberitaan yang kerap berlebihan tentang partai-partai sekuler justru menyemangati kalangan partai Islam dan simpatisan untuk membuktikan dan mempertahankan eksistensinya. Mereka tertantang untuk tidak begitu saja mudah dikalahkan. Di samping itu, bisa jadi pula saran ulama untuk tidak golput dan memilih partai Islam masih didengar dan tetap memengaruhi perilaku politik umat Islam dalam memilih. Dengan kata lain, peran agama dalam kehidupan politik sebagaimana yang diprediksikan Ananta, Arifin, dan Suryadinata dalam Indonesia Electoral Behavioral, Statistical Perspective (2004), jelas tidak dapat dinafikan

Dalam nuansa seperti ini jelas kelompok Islam tetaplah merupakan sebuah kekuatan politik yang tidak dapat dinafikan begitu saja keberadaannya dalam konstelasi politik di Indonesia. Lima belas tahun era reformasi seolah ingin menyampaikan pesan bahwa setidaknya sepertiga ruang kekuatan politik di Indonesia merupakan milik partai-partai Islam. Tinggal lagi bagaimana dengan modal itu umat Islam dapat membuktikan sebentuk pandangan dan manuver politik yang berahlak dan berlandaskan semangat rahmatan lil ala min

Tidak ada komentar:

Posting Komentar