Selasa, 15 April 2014

Skenario Koalisi Pra dan Pascapilpres

Skenario Koalisi Pra dan Pascapilpres

Burhanuddin Muhtadi  ;   Dosen FISIP UIN Jakarta,
Direktur Indikator Politik Indonesia
MEDIA INDONESIA, 14 April 2014
                                     
                                                                                         
                                                             
PREDIKSI hitung cepat Indikator Politik Indonesia bekerja sama dengan Metro TV pada Pemilu Legislatif 2014 menghasilkan pemenang pemilu yang tidak dominan, dan menguatnya posisi tawar partai tengah. Sebagai pemenang pemilu, PDIP tak mampu meraih popular vote yang bisa dikonversi menjadi tiket ke pemilu presiden tanpa berkoalisi dengan partai lain. Perolehan suara PDIP di
kisaran 19% membuktikan politik elektoral pasca-Orde Baru makin mengarah ke sistem multipartai yang kian terfragmentasi (highly fragmented multiparty system).

Tak ada juara bertahan yang mampu mempertahankan kemenangannya. Tiap pemilu melahirkan juara baru dengan modal suara yang makin mengecil. PDIP menang Pemilu 1999 dengan suara 33,74%. Dari 48 partai yang berlaga saat itu, hanya lima partai yang memperoleh suara signifi kan. Pada 2004, peserta pemilu merosot menjadi 24 partai dan Golkar muncul sebagai jawara dengan dukungan 21,58%. Pada 2009, juara pemilu beralih ke Demokrat dengan perolehan 20,85%. Sembilan partai mampu mendulang suara di atas 3,5%. Pada 2014, dari 12 kontestan pemilu, hanya dua partai yang diprediksi gagal melampaui 3,5%. Mahkota juara berganti ke PDIP, tapi dengan suara cekak 19%. Fragmentasi politik makin menjadi-jadi, pemenang pemilu silih berganti, dan kutukan koalisi presidensial menjadi realitas politik yang tak dapat dihindari.

Poros koalisi

Sistem presidensial-multipartai yang kita anut meniscayakan adanya koalisi. Meski presiden dipilih secara langsung, realitas politik selalu melahirkan presiden minoritas (minority president). Kekuatan politik presiden terpilih masih kurang untuk mengunci single majority di parlemen. Sistem presidensial-multipartai ialah kombinasi sulit untuk menciptakan koalisi yang bersifat
permanen. Pemilu legislatif akan selalu melahirkan kekuatan politik yang makin fragmentatif.

Oleh karena itu, jika dilihat dari periode pembentukan, koalisi dapat dibedakan menjadi dua bentuk. Pertama, koalisi prapilpres untuk memenangin pemilu. Kedua, koalisi pascapilpres untuk memastikan pemerintahan berjalan efektif dan stabil. Variabel penting yang dilihat dari koalisi sebelum pilpres ialah ketersediaan figur dengan elektabilitas yang mencukupi untuk memenangi pertarungan dan terpenuhinya syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebagaimana termaktub dalam UU No 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Secara matematis, berdasar perolehan suara hasil pemilu legislatif yang terdistribusi merata, dimungkinkan mendapat empat pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilu presiden (pilpres) nanti. Namun, variabel pertama soal ketersediaan figur dengan potensi menang tinggi serta kemampuan komunikasi dan membangun lobi bisa saja mengurangi jumlah kontestan yang bakal bertarung. Bandwagon effect membuat partai-partai yang memiliki dukungan suara lumayan di pemilu legislatif, tapi minim figur, akan berhitung panjang untuk maju dalam kompetisi. Poros partai Islam misalnya, secara matematis, bisa tampil sebagai alternatif. Namun, ketiadaan tokoh-tokoh dari partai Islam yang punya magnet elektoral kuat membuat mereka bisa menempuh jalan pragmatis dengan mendompleng figur kuat dari kalangan partai
nasionalis. Akhirnya, partai Islam sulit diharapkan menjadi trend setter, tapi memilih menjadi follower, entah dengan sekadar memasang target calon wakil presiden atau barter posisi menteri.

Pengalaman 2009 secara jelas membuktikan fenomena itu. Partai-partai Islam mengerubungi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memiliki elektabilitas tinggi dan cukup berpuas diri dengan kompensasi beberapa menteri. Skenario Pilpres 2014 juga berpotensi mengulang lagu lama koalisi yang dibangun
di atas fondasi pragmatisme. Atas nama ketiadaan figur dari elite-elite
partai Islam yang menonjol di mata pemilih, partai-partai Islam potensial gagal
menghidupkan poros baru sebagai alternatif.

Hal itu diperparah gejala split-voting yang mendera sebagian besar pemilih kita. Ikatan pemilih dengan partai yang lemah membuat pilihan basis konstituen mereka tidak paralel dengan garis instruksi partai. Andai partai-partai sudah memutuskan mendukung calon presiden tertentu, tidak sertamerta keputusan tersebut diikuti pemilih  mereka di tingkat massa. Meski efektivitas dukungan partai tidak paralel dengan pilihan massa mereka, suara resmi partai-partai
Islam dan tengah tetap krusial untuk memenuhi syarat ambang batas calon presiden. Terlebih lagi, tiga besar hasil pemilu legislatif yang kebetulan sudah memiliki calon presiden tak bisa melenggang sendiri tanpa dukungan partai
lain.

Dalam konteks ini, ada tiga poros koalisi yang terbangun dengan tingkat kerentanan yang berbeda-beda. Poros Jokowi relatif lebih kuat jika dibandingkan
dengan poros Aburizal Bakrie (ARB) dan Prabowo. Meski suara partai pengusung utama Jokowi tak terlalu dominan, elektabilitas personal Jokowi yang tinggi membuat daya tawarnya masih menggiurkan untuk memikat partai-partai lain. Dengan dukungan resmi PDIP dan NasDem, Jokowi sudah lebih dari
cukup maju ke pilpres sambil berharap limpahan suara split voting dari pendukung partai-partai lain. Jokowi juga masih bisa berharap dukungan resmi dari PKB dan PAN sebagai calon potensial koalisi.

Kedua, poros ARB dengan asumsi mampu mempertahankan dukungan internal untuk maju dalam pilpres meski target elektoral Golkar dalam pemilu legislatif meleset. Setidaknya ada dua calon mitra koalisi yang potensial digaet ARB, yakni PKS dan Hanura. Ketiga, poros Prabowo. Selain kenaikan fantastis Gerindra, Prabowo memiliki daya tarik elektabilitas personal sebagai capres tertinggi kedua setelah Jokowi yang diharapkan mampu memikat dukungan dari PPP dan partai-partai Islam lainnya seperti PAN dan PBB. Hasil akhir skenario
koalisi ditentukan tercapaitidaknya kesepakatan antarelite, termasuk ada-tidaknya tawaran sebagai cawapres untuk mendampingi Jokowi, ARB, atau Prabowo plus porsi bagi-bagi menteri dari partai pendukung.

Poros keempat ialah Demokrat. Meski partai itu belum menentukan capres definitif, perolehan suara Demokrat di peringkat keempat dan figur sentral SBY
bisa mengubah skenario koalisi, terutama poros ARB dan Prabowo. Golkar dan Gerindra tentu sedang berupaya mendekati Demokrat agar turut serta dalam jalan koalisi yang mereka rintis. Namun, Demokrat bisa saja bermain sendiri dengan membentuk poros baru sambil mencuri dukungan dari PAN, PKB, dan PPP. Jika itu terjadi, Prabowo dan ARB bisa gigit jari karena tak mampu meraih tiket presidential threshold. Masalah Demokrat satu, yakni ketiadaan figur kuat yang mampu menyaingi elektabilitas Jokowi, sementara kendala ARB ialah belum solidnya internal Golkar dalam mengusung dirinya sehingga sangat mungkin elite-elite Golkar lainnya bermain mata dengan capres dari partai lainnya.
Pascapilpres

Koalisi pascapilpres juga memiliki tingkat kerumitan tersendiri. Meski seorang capres bisa mendapat suara signifi kan dalam pilpres, dukungan politik di parlemen nanti tak bisa diabaikan agar pemerintahan berjalan efektif. Logika
matematika politik tak bisa dimungkiri memengaruhi pola koalisi pascapilpres. Secara teoretis, pemenang pilpres bisa memilih tiga paket besaran koalisi; koalisi mini (minority coalition), koalisi ramping (minimal winning coalition), dan koalisi maksi (oversized coalition). Koalisi mini terlalu berisiko karena posturnya
terlalu kecil untuk mendukung pemerintahan di parlemen. Sementara itu, koalisi obesitas juga terbukti tidak efektif seperti pengalaman SBY jilid kedua yang didukung 75% kekuatan politik di parlemen, tapi ibarat seseorang yang ‘kegemukan’, gerak komunikasi setgab terlalu lamban dan sakit-sakitan.

Yang ideal untuk dipertimbangkan ialah koalisi ramping, tapi sehat. Postur koalisi tidak terlalu besar, tapi secara matematis mampu mengunci single majority di parlemen. Jika disiplin koalisi bisa dijalankan, minimal winning coalition bisa menyokong pemerintahan secara efektif dan meritokratik.
Kabinet ahli lebih leluasa terbentuk dan portofolio kementerian tak perlu ditransaksikan secara berlebihan kepada menteri-menteri dari partai yang tak punya kompetensi. Pertarungan gagasan lebih dimungkinkan terjadi di parlemen karena proposal ide dan kebijakan akan dipertukarkan.

Namun, jika koalisi maksi yang menjadi pilihan, harga sosial politiknya terlalu mahal. Pemerintah akan tersandera secara politis dan tercipta ‘kecemburuan’ kepada aktor dan partai yang tak berkeringat dalam pilpres, tapi ikut mengisap ‘madu’ pemerintahan. Namun, membiarkan postur oposisi yang terlalu besar di parlemen juga berisiko tinggi karena menciptakan instabilitas dan kegaduhan politik. Itulah kutukan permanen koalisi presidensial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar