Skenario
Koalisi Pra dan Pascapilpres
Burhanuddin Muhtadi ; Dosen FISIP
UIN Jakarta,
Direktur
Indikator Politik Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 14 April 2014
PREDIKSI
hitung cepat Indikator Politik Indonesia bekerja sama dengan Metro TV pada
Pemilu Legislatif 2014 menghasilkan pemenang pemilu yang tidak dominan, dan
menguatnya posisi tawar partai tengah. Sebagai pemenang pemilu, PDIP tak
mampu meraih popular vote yang bisa
dikonversi menjadi tiket ke pemilu presiden tanpa berkoalisi dengan partai lain.
Perolehan suara PDIP di
kisaran
19% membuktikan politik elektoral pasca-Orde Baru makin mengarah ke sistem
multipartai yang kian terfragmentasi (highly
fragmented multiparty system).
Tak ada
juara bertahan yang mampu mempertahankan kemenangannya. Tiap pemilu
melahirkan juara baru dengan modal suara yang makin mengecil. PDIP menang Pemilu
1999 dengan suara 33,74%. Dari 48 partai yang berlaga saat itu, hanya lima partai
yang memperoleh suara signifi kan. Pada 2004, peserta pemilu merosot menjadi 24
partai dan Golkar muncul sebagai jawara dengan dukungan 21,58%. Pada 2009,
juara pemilu beralih ke Demokrat dengan perolehan 20,85%. Sembilan partai
mampu mendulang suara di atas 3,5%. Pada 2014, dari 12 kontestan pemilu, hanya
dua partai yang diprediksi gagal melampaui 3,5%. Mahkota juara berganti ke
PDIP, tapi dengan suara cekak 19%. Fragmentasi politik makin menjadi-jadi,
pemenang pemilu silih berganti, dan kutukan koalisi presidensial menjadi
realitas politik yang tak dapat dihindari.
Poros koalisi
Sistem
presidensial-multipartai yang kita anut meniscayakan adanya koalisi. Meski
presiden dipilih secara langsung, realitas politik selalu melahirkan presiden
minoritas (minority president).
Kekuatan politik presiden terpilih masih kurang untuk mengunci single
majority di parlemen. Sistem presidensial-multipartai ialah kombinasi sulit
untuk menciptakan koalisi yang bersifat
permanen.
Pemilu legislatif akan selalu melahirkan kekuatan politik yang makin
fragmentatif.
Oleh
karena itu, jika dilihat dari periode pembentukan, koalisi dapat dibedakan
menjadi dua bentuk. Pertama, koalisi prapilpres untuk memenangin pemilu.
Kedua, koalisi pascapilpres untuk memastikan pemerintahan berjalan efektif
dan stabil. Variabel penting yang dilihat dari koalisi sebelum pilpres ialah ketersediaan
figur dengan elektabilitas yang mencukupi untuk memenangi pertarungan dan
terpenuhinya syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebagaimana termaktub dalam UU No 42/2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Secara matematis,
berdasar perolehan suara hasil pemilu legislatif yang terdistribusi merata,
dimungkinkan mendapat empat pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilu
presiden (pilpres) nanti. Namun, variabel pertama soal ketersediaan figur dengan
potensi menang tinggi serta kemampuan komunikasi dan membangun lobi bisa saja
mengurangi jumlah kontestan yang bakal bertarung. Bandwagon effect membuat partai-partai yang memiliki dukungan suara
lumayan di pemilu legislatif, tapi minim figur, akan berhitung panjang untuk
maju dalam kompetisi. Poros partai Islam misalnya, secara matematis, bisa
tampil sebagai alternatif. Namun, ketiadaan tokoh-tokoh dari partai Islam
yang punya magnet elektoral kuat membuat mereka bisa menempuh jalan pragmatis
dengan mendompleng figur kuat dari kalangan partai
nasionalis.
Akhirnya, partai Islam sulit diharapkan menjadi trend setter, tapi memilih menjadi follower, entah dengan sekadar memasang target calon wakil
presiden atau barter posisi menteri.
Pengalaman
2009 secara jelas membuktikan fenomena itu. Partai-partai Islam mengerubungi
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memiliki elektabilitas tinggi dan cukup berpuas
diri dengan kompensasi beberapa menteri. Skenario Pilpres 2014 juga
berpotensi mengulang lagu lama koalisi yang dibangun
di atas
fondasi pragmatisme. Atas nama ketiadaan figur dari elite-elite
partai
Islam yang menonjol di mata pemilih, partai-partai Islam potensial gagal
menghidupkan
poros baru sebagai alternatif.
Hal itu
diperparah gejala split-voting yang mendera sebagian besar pemilih kita. Ikatan
pemilih dengan partai yang lemah membuat pilihan basis konstituen mereka
tidak paralel dengan garis instruksi partai. Andai partai-partai sudah memutuskan
mendukung calon presiden tertentu, tidak sertamerta keputusan tersebut
diikuti pemilih mereka di tingkat
massa. Meski efektivitas dukungan partai tidak paralel dengan pilihan massa mereka,
suara resmi partai-partai
Islam
dan tengah tetap krusial untuk memenuhi syarat ambang batas calon presiden. Terlebih
lagi, tiga besar hasil pemilu legislatif yang kebetulan sudah memiliki calon
presiden tak bisa melenggang sendiri tanpa dukungan partai
lain.
Dalam konteks
ini, ada tiga poros koalisi yang terbangun dengan tingkat kerentanan yang
berbeda-beda. Poros Jokowi relatif lebih kuat jika dibandingkan
dengan
poros Aburizal Bakrie (ARB) dan Prabowo. Meski suara partai pengusung utama
Jokowi tak terlalu dominan, elektabilitas personal Jokowi yang tinggi membuat
daya tawarnya masih menggiurkan untuk memikat partai-partai lain. Dengan
dukungan resmi PDIP dan NasDem, Jokowi sudah lebih dari
cukup
maju ke pilpres sambil berharap limpahan suara split voting dari pendukung
partai-partai lain. Jokowi juga masih bisa berharap dukungan resmi dari PKB
dan PAN sebagai calon potensial koalisi.
Kedua,
poros ARB dengan asumsi mampu mempertahankan dukungan internal untuk maju
dalam pilpres meski target elektoral Golkar dalam pemilu legislatif meleset. Setidaknya
ada dua calon mitra koalisi yang potensial digaet ARB, yakni PKS dan Hanura.
Ketiga, poros Prabowo. Selain kenaikan fantastis Gerindra, Prabowo memiliki
daya tarik elektabilitas personal sebagai capres tertinggi kedua setelah Jokowi
yang diharapkan mampu memikat dukungan dari PPP dan partai-partai Islam
lainnya seperti PAN dan PBB. Hasil akhir skenario
koalisi
ditentukan tercapaitidaknya kesepakatan antarelite, termasuk ada-tidaknya
tawaran sebagai cawapres untuk mendampingi Jokowi, ARB, atau Prabowo plus
porsi bagi-bagi menteri dari partai pendukung.
Poros
keempat ialah Demokrat. Meski partai itu belum menentukan capres definitif,
perolehan suara Demokrat di peringkat keempat dan figur sentral SBY
bisa
mengubah skenario koalisi, terutama poros ARB dan Prabowo. Golkar dan
Gerindra tentu sedang berupaya mendekati Demokrat agar turut serta dalam
jalan koalisi yang mereka rintis. Namun, Demokrat bisa saja bermain sendiri dengan
membentuk poros baru sambil mencuri dukungan dari PAN, PKB, dan PPP. Jika itu
terjadi, Prabowo dan ARB bisa gigit jari karena tak mampu meraih tiket presidential threshold. Masalah
Demokrat satu, yakni ketiadaan figur kuat yang mampu menyaingi elektabilitas
Jokowi, sementara kendala ARB ialah belum solidnya internal Golkar dalam mengusung
dirinya sehingga sangat mungkin elite-elite Golkar lainnya bermain mata
dengan capres dari partai lainnya.
Pascapilpres
Koalisi
pascapilpres juga memiliki tingkat kerumitan tersendiri. Meski seorang capres
bisa mendapat suara signifi kan dalam pilpres, dukungan politik di parlemen nanti
tak bisa diabaikan agar pemerintahan berjalan efektif. Logika
matematika
politik tak bisa dimungkiri memengaruhi pola koalisi pascapilpres. Secara
teoretis, pemenang pilpres bisa memilih tiga paket besaran koalisi; koalisi
mini (minority coalition), koalisi
ramping (minimal winning coalition),
dan koalisi maksi (oversized coalition).
Koalisi mini terlalu berisiko karena posturnya
terlalu
kecil untuk mendukung pemerintahan di parlemen. Sementara itu, koalisi
obesitas juga terbukti tidak efektif seperti pengalaman SBY jilid kedua yang
didukung 75% kekuatan politik di parlemen, tapi ibarat seseorang yang ‘kegemukan’,
gerak komunikasi setgab terlalu lamban dan sakit-sakitan.
Yang ideal untuk dipertimbangkan ialah koalisi ramping, tapi sehat.
Postur koalisi tidak terlalu besar, tapi secara matematis mampu mengunci single majority di parlemen. Jika disiplin koalisi bisa dijalankan, minimal winning coalition bisa
menyokong pemerintahan secara efektif dan meritokratik.
Kabinet ahli lebih leluasa terbentuk dan portofolio kementerian tak
perlu ditransaksikan secara berlebihan kepada menteri-menteri dari partai
yang tak punya kompetensi. Pertarungan gagasan lebih dimungkinkan terjadi di
parlemen karena proposal ide dan kebijakan akan dipertukarkan.
Namun, jika koalisi maksi yang menjadi pilihan, harga sosial
politiknya terlalu mahal. Pemerintah akan tersandera secara politis dan tercipta
‘kecemburuan’ kepada aktor dan partai yang tak berkeringat dalam pilpres,
tapi ikut mengisap ‘madu’ pemerintahan. Namun, membiarkan postur oposisi yang
terlalu besar di parlemen juga berisiko tinggi karena menciptakan instabilitas
dan kegaduhan politik. Itulah kutukan permanen koalisi presidensial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar