Bangun
Kultur Kejujuran
M Iqbal Birsyada ; Dosen
Pascasarjana di UPY Yogyakarta
|
REPUBLIKA,
14 April 2014
Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan yang
tidak berdaya. Mereka akan bergantung kepada orang tua dan masyarakat di
sekelilingnya. Hal ini merupakan proses alamiah yang secara siklus akan
dilalui selama hidup di dunia ini untuk menjadi manusia yang mempunyai kepribadian
mandiri.
Salah satu peran penting dalam membina kemandirian
manusia adalah dengan membangun kultur pendidikan yang benar-benar
mengarahkan pada kekuatan bakat dan minat anak untuk menuju kemandirian yang
telah dicita-citakan masing-masing anak sejak kecil.
Menurut Deal dan Peterson (1990) kultur adalah
suatu pola nilai, keyakinan, dan tradisi yang terbentuk melalui sejarah
sekolah. Kultur adalah makna yang dipancarkan secara historis yang mencakup norma,
nilai, keyakinan, seremonial, ritual, tradisi, dan mitos dalam derajat yang
bervariasi oleh warga sekolah.
Mengapa kultur kejujuran sangat mendesak diterapkan di sekolah?
Jawabannya adalah karena generasi muda, terutama
para peserta didik sangat minim keteladanan yang patut mereka con toh dalam
kehidupan sehari-hari.
Lingkung an yang tidak jujur adalah sebuah dam pak negatif bagi anak-anak
tatkala melakukan suatu ketidakjujuran, baik di masyarakat maupun sekolah.
Bahkan, fakta di lapangan, kantin kejujuran yang banyak diselenggarakan di
sekolah-sekolah dalam rangka membentuk kultur kejujuran ternyata belum
sepenuhnya berdampak menggembirakan pada kita semua. Tapi, yang terjadi
adalah baru berjalan beberapa bulan sekolah yang memiliki kantin kejujuran
menyatakan bangkrut. Menurut data, dari 617 kantin di Kota Bekasi, 80 persen
tutup dan 20 persen masih eksis.
Berdasarkan pengakuan beberapa kepala
sekolah, lebih baik ditutup karena murid-murid mengambil tanpa
membayar.
Ujian nasioanal tingkat SMA yang dilaksanakan
pada 14-16 April 2014 adalah sebuah momentum yang tepat untuk membuktikan
bahwa seluruh penyelenggara ujian nasional SMA dari tingkat pusat sampai
sekolah dipastikan mengedepankan prinsip kejujuran ketimbang kesuksesan
sesaat tatkala diumumkan prosentasi kelulusan anak didiknya mencapai 100
persen, tapi dicapai dari hasil yang tidak jujur. Namun, yang terjadi
semuanya mengalami ketakutan nasional tatkala banyak peserta didik yang tidak
lulus UN pada 2014 ini. Karena katakutan itulah semua pihak ingin mengamankan
proses UN agar semua lancar dengan berbagai cara.
Proses agenda ujian nasional yang dimulai di
tingkat SMA hendaknya dilakukan dengan mengedepankan kenyamanan peserta didik
ketika berada di dalam ruangan ujian. Panitia penyelenggara ujian tingkat
sekolah harus benar-benar dapat menciptakan suasana ujian yang kondusif dan
senyaman mungkin bagi anak. Terutama, dalam hal meminimalisasi isu-isu
bocornya kunci jawaban ujian nasional yang beredar di tangan anak-anak.
Peristiwa yang sangat tidak mengenakkan tahun lalu ketika beberapa provinsi
belum terdistribusi soal-soal ujian nasional akibat keterlambatan pencetakan
soal dan LJK UN jangan lagi terjadi pada tahun ini.
Menurut Tilaar (2009), tujuan utama dalam
mengembangkan sebuah sistem pendidikan yang bertolak pada jiwa dan bangsa
Indonesia ialah mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka dan mandiri serta
mampu bertanggung jawab untuk kehidupanya dan kehidupan bersama. Bertolak
dari hal ini, dapat kita simpulkan bahwa peranan sebuah tatanan sistem
pendidikan sangatlah sentral membawa kemajuan bangsa ke depan dengan
tombaknya pada sistem pendidikan yang diharapkan melahirkan peserta didik
yang cerdas dan mandiri.
Untuk mewujudkan kemandirian tersebut, harus dimulai dari kesadaran kejujuran
dalam diri anak. Anak jujur untuk tidak menyotek, jujur untuk tidak tergiur
pada isu-isu kunci jawaban soal dari teman, serta jujur bahwa peserta didik
mampu melewati ujian nasional dengan semangat optimistis dan tanggung
jawab.
Tantangan sistem pendidikan pada masa
mendatang sangatlah kompleks.
Tak hanya berputar-putar pada pergantian kurikum yang ujungnya adalah sama, yakni alat evaluasi pembelajaran dengan menggunakan ujian nasional.
Peserta didik bukanlah sebuah komoditas
ataupun sebagai objek dari sebuah sistem pendidikan, tapi peserta di dik adalah
pribadi utuh yang mempunyai potensi-potensi yang perlu dikembangkan dalam
proses pen didikan, sehingga dengan potensi yang dimiliki peserta didik itu
mereka dapat berguna dan bermanfaat bagi kehidupan baik subjek itu sendiri
maupun untuk bangsa dan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar