Selasa, 15 April 2014

Bangun Kultur Kejujuran

Bangun Kultur Kejujuran

M Iqbal Birsyada  ;   Dosen Pascasarjana di UPY Yogyakarta
REPUBLIKA, 14 April 2014

                                                                                                                       
                                                                                         
                                                             
Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan yang tidak berdaya. Mereka akan bergantung kepada orang tua dan masyarakat di sekelilingnya. Hal ini merupakan proses alamiah yang secara siklus akan dilalui selama hidup di dunia ini untuk menjadi manusia yang mempunyai kepribadian mandiri. 

Salah satu peran penting dalam membina kemandirian manusia adalah dengan membangun kultur pendidikan yang benar-benar mengarahkan pada kekuatan bakat dan minat anak untuk menuju kemandirian yang telah dicita-citakan masing-masing anak sejak kecil.

Menurut Deal dan Peterson (1990) kultur adalah suatu pola nilai, keyakinan, dan tradisi yang terbentuk melalui sejarah sekolah. Kultur adalah makna yang dipancarkan secara historis yang mencakup norma, nilai, keyakinan, seremonial, ritual, tradisi, dan mitos dalam derajat yang bervariasi oleh warga sekolah.

Mengapa kultur kejujuran sangat mendesak diterapkan di sekolah?
Jawabannya adalah karena generasi muda, terutama para peserta didik sangat minim keteladanan yang patut mereka con toh dalam kehidupan sehari-hari.

Lingkung an yang tidak jujur adalah sebuah dam pak negatif bagi anak-anak tatkala melakukan suatu ketidakjujuran, baik di masyarakat maupun sekolah. Bahkan, fakta di lapangan, kantin kejujuran yang banyak diselenggarakan di sekolah-sekolah dalam rangka membentuk kultur kejujuran ternyata belum sepenuhnya berdampak menggembirakan pada kita semua. Tapi, yang terjadi adalah baru berjalan beberapa bulan sekolah yang memiliki kantin kejujuran menyatakan bangkrut. Menurut data, dari 617 kantin di Kota Bekasi, 80 persen tutup dan 20 persen masih eksis. 
Berdasarkan pengakuan beberapa kepala sekolah, lebih baik ditutup karena murid-murid mengambil tanpa membayar. 

Ujian nasioanal tingkat SMA yang dilaksanakan pada 14-16 April 2014 adalah sebuah momentum yang tepat untuk membuktikan bahwa seluruh penyelenggara ujian nasional SMA dari tingkat pusat sampai sekolah dipastikan mengedepankan prinsip kejujuran ketimbang kesuksesan sesaat tatkala diumumkan prosentasi kelulusan anak didiknya mencapai 100 persen, tapi dicapai dari hasil yang tidak jujur. Namun, yang terjadi semuanya mengalami ketakutan nasional tatkala banyak peserta didik yang tidak lulus UN pada 2014 ini. Karena katakutan itulah semua pihak ingin mengamankan proses UN agar semua lancar dengan berbagai cara.

Proses agenda ujian nasional yang dimulai di tingkat SMA hendaknya dilakukan dengan mengedepankan kenyamanan peserta didik ketika berada di dalam ruangan ujian. Panitia penyelenggara ujian tingkat sekolah harus benar-benar dapat menciptakan suasana ujian yang kondusif dan senyaman mungkin bagi anak. Terutama, dalam hal meminimalisasi isu-isu bocornya kunci jawaban ujian nasional yang beredar di tangan anak-anak. Peristiwa yang sangat tidak mengenakkan tahun lalu ketika beberapa provinsi belum terdistribusi soal-soal ujian nasional akibat keterlambatan pencetakan soal dan LJK UN jangan lagi terjadi pada tahun ini.

Menurut Tilaar (2009), tujuan utama dalam mengembangkan sebuah sistem pendidikan yang bertolak pada jiwa dan bangsa Indonesia ialah mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka dan mandiri serta mampu bertanggung jawab untuk kehidupanya dan kehidupan bersama. Bertolak dari hal ini, dapat kita simpulkan bahwa peranan sebuah tatanan sistem pendidikan sangatlah sentral membawa kemajuan bangsa ke depan dengan tombaknya pada sistem pendidikan yang diharapkan melahirkan peserta didik yang cerdas dan mandiri.

Untuk mewujudkan kemandirian tersebut, harus dimulai dari kesadaran kejujuran dalam diri anak. Anak jujur untuk tidak menyotek, jujur untuk tidak tergiur pada isu-isu kunci jawaban soal dari teman, serta jujur bahwa peserta didik mampu melewati ujian nasional dengan semangat optimistis dan tanggung jawab. 

Tantangan sistem pendidikan pada masa mendatang sangatlah kompleks.
Tak hanya berputar-putar pada pergantian kurikum yang ujungnya adalah sama, yakni alat evaluasi pembelajaran dengan menggunakan ujian nasional.

Peserta didik bukanlah sebuah komoditas ataupun sebagai objek dari sebuah sistem pendidikan, tapi peserta di dik adalah pribadi utuh yang mempunyai potensi-potensi yang perlu dikembangkan dalam proses pen didikan, sehingga dengan potensi yang dimiliki peserta didik itu mereka dapat berguna dan bermanfaat bagi kehidupan baik subjek itu sendiri maupun untuk bangsa dan negara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar