Pemilu
Legislatif : Raihan di Balik Iklan?
Effendi Gazali ; Peneliti Komunikasi Politik,
Alumnus
Cornell dan Radboud University, Visiting Professor di Jeju National
University
|
REPUBLIKA,
15 April 2014
Judul
tadi selalu merupakan per tanyaan menarik pasca-pemilu. Bahayanya, pertanyaan
seperti itu relatif lahir dari sebuah gambaran yang tidak utuh.
Seakan-akan
iklan politik adalah faktor tertentu yang dapat bergerak di atas berbagai
interaksi unsur-unsur lainnya dalam komunikasi politik. Padahal, iklan
politik walau merupakan bagian paling seksi (baca: mencolok), ia hanya salah satu
bagian yang ber interaksi dalam dan dengan semua unsur lain pada sistem
kampanye.
Jadi,
ada iklan politik yang lahir dari kebutuhan pada analisis awal. Lalu, iklan
selanjutnya akan dikem bang kan sesuai hasil evaluasi strategi kampanye.
Bahkan, pada titik tertentu, ada iklan yang dilontarkan dengan cepat sebagai
reaksi sebuah situasi yang baru muncul. Atau terdapat pula iklan yang sengaja
direncanakan untuk mengganggu pencapaian peta politik yang sedang
berlangsung.
Dengan
pemahaman itu, maka Pemilu Legislatif 2014 harus dilihat secara utuh dari
semua konteks terkininya. Tampak sekali bahwa semangat zaman Pemilu 2014
adalah antara pemerintah (rulling party)
yang tidak sukses versus oposisi.
Karena
itu logikanya akan terjadi peralihan suara pemilih, baik dari partai
pemerintah dan setgabnya, maupun dari mereka yang tidak memilih selama ini.
Ke mana
pemilih ini akan berpindah? Harusnya ke partai-partai oposisi tadi, utamanya PDIP,
Gerindra, Hanura, dan Nasional Demokrat. Bahkan, PDIP diramalkan bakal
mendapat sedikitnya 27 persen atau ada yang memprediksi sampai 30 persen.
Efek Jokowi disebut-sebut sebagai salah satu penambah yang khas bagi PDIP.
Bahkan, Jokowi sendiri menyatakan bahwa mereka akan "menang tebal".
Jarak psikologis
Kenapa
tidak terjadi efek Jokowi? Berbagai analis akan menghasilkan aneka jawaban. Tapi
saya beranggapan, efek Jokowi sesungguhnya tidak benar-benar eksis dalam
skala besar. Ia hanya cerminan dari harapan sebagian media tentang seorang
tokoh yang mampu menyelamatkan bangsa. Potensi itu memang ada pada Jokowi yang
mendapat merek dagang "pemimpin
blusukan". Ini sebetulnya bukan barang baru. Bung Karno
melakukannya, Pak Harto pun melaksanakan di awal masa pemerintahannya. Tapi
memang, sesudah itu gaya khas ini utamanya terpancar dari pesona Jokowi, Tri
Rismaharini (Surabaya), dan lainnya.
Sayangnya,
sebagian media membesarkan Efek Jokowi di atas porsi selayaknya. Terjadilah
rutinitas media yang tanpa sengaja mengurangi porsi pendapat atau peristiwa
yang tidak menyumbang pada membesarnya gelembung efek ini. Atau yang disebut
gejala "under-reported".
Jangan pula terlalu menyalahkan survei. Kalau banyak yang termakan dengan gelembung
ini, tentu hasil survei bisa melambung-lambung.
Singkatnya,
terpancing antusiasme terhadap efek Jokowi, terjadilah semacam sikap
"eksklusif" pada sebagian (bukan seluruh) elite PDIP. Mereka mulai
merasa diri sebagai "gadis cantik yang layak dipinang". Artinya,
para kumbang atau partai lainlah yang seyogianya datang bergabung dengan
PDIP, yang diduga bakal bisa mengajukan pasangan capres-cawapres seorang
diri. Bahkan sempat muncul semacam daftar kabinet bayangan.
Maka,
logis kemudian muncul jarak psikologis antara parpol lain dan pemilih dengan
sikap eksklusif ini. Utamanya pada sebagian partai berbasis ideologi berbeda
atau pendekatan religius, misalnya. Pasti juga banyak isu persaingan dan serangan
yang dilontarkan pada berbagai kesempatan dan wahana.
Tambahan
lagi, hasil-hasil survei seperti memojokkan partai yang berbasis Islam, baik
yang eksklusif mau pun inklusif.
Akibatnya,
selain berpindah ke Gerindra dan Nasdem, sebagian besar memilih pulang ke rumah
asal masing-masing. Nahdliyin memilih pulang ke PKB. Warga Muhammadiyah
tampak kembali ke PAN. Sebagian lain pulang ke PPP. Bahkan, tak sedikit yang
bertahan di rumah PKS sekalipun relatif paling parah terseruduk isu korupsi.
Iklan dan raihan
Dalam
konteks-konteks itulah yang bertali-temali dengan aneka elemen lain, sebagian
raihan berkat iklan dapat dibaca. PDIP lebih banyak melontarkan iklan
"Indonesia Hebat" yang indah penggarapannya, namun tidak banyak
mengarah peningkatan efek Jokowi. Di awal April, iklan yang banyak beredar
adalah iklan Jokowi menerima mandat dan Bu
Megawati yang memberikan mandat.
Hampir
pasti, dua substansi iklan akan lebih menolong dalam konteks ini. Pertama,
bicara soal elemen dasar kapabilitas (program) Jokowi. Ini barangkali dapat
menjadi daya tarik bagi ceruk yang menahan diri untuk berpindah tadi. Kedua,
Jokowi bicara soal kerja sama dengan seluruh partai dan golongan untuk menuju
Indonesia Hebat.
Pastilah,
kuantitas dan ragam iklan PDIP berbeda dengan Gerindra, misalnya. Gerindra
tinggal melanjutkan akumulasi iklan kebangkitan Indonesia Raya yang sudah
akrab di mata pemirsa sejak lima tahun lalu. Kalau saja iklan Gerindra bisa
menampilkan sisi humanis Prabowo dengan rakyat, LSM, wartawan, dan sebagainya,
mereka mungkin meraup suara lebih besar. Tampaknya ini yang harus dipikirkan
menjelang pilpres.
Hanura
menampilkan iklan bertubi-tubi. Tapi, variasi dan kreativitasnya relatif
kalah banyak dibanding Nasional Demokrat. Apalagi, iklan-iklan Hanura diletakkan
di tengah acara-acara TV hiburan yang potensi penontonnya berbeda dengan TV
berita yang menayangkan iklan Nasdem. Mengusung langsung pasangan bakal
capres dan cawapres lebih menuntut ketajaman mau memosisikan kedua nama itu
pada ceruk yang mana di persepsi pemirsa. Beban iklan-iklan Nasdem jauh lebih
ringan daripada beban Hanura yang harus sekaligus mengusung bakal
capres-cawapres.
Iklan-iklan
PKB secara taktis menampilkan pimpinan partai dan pimpinan NU yang memperkuat
kepulangan warga Nahdliyin ke rumahnya. Tentu saja ada tambahan iklan Mahfud
MD dan Rhoma Irama, kedua tokoh yang dianggap berperan memberikan tambahan
elektabilitas pada PKB. Sementara, iklan partai lain secara umum tidak
terlalu menonjol, baik jumlah maupun daya pikatnya.
Terhadap
PDIP dan Jokowi, harus kita catat pula sebagian iklan menyerang. Ada versi
"Kutagih Janjimu" yang tayang di sebuah stasiun TV dan kemudian berlanjut
di media sosial. Sebagian ilmuwan, seperti Geer (2006) dan Krupnikov (2012) menggolongkan
semua iklan yang kritis terhadap seorang kandidat sebagai iklan negatif. Namun,
ini umumnya dipakai untuk penggolongan dalam penelitian. Annenberg School for Communication (University of Pennsylvania) dan gugus tugas peneliti di bawah
Larry Bartels (Princeton University)
melakukan serial penelitian tentang iklan menyerang puluhan tahun. Dari sisi
kepentingan publik, mereka menyatakan tidak seluruh iklan menyerang itu
negatif. Kalau yang ditampilkan adalah fakta, atau kalimat yang pernah
diungkapkan seorang calon atau pejabat publik, maka iklan menyerang itu
justru bermanfaat bagi publik.
Menjelang
pilpres, kita akan lebih banyak melihat iklan menyerang atau memperbandingkan
yang faktual dan positif ini. Di Amerika bisa saja jumlahnya mencapai puluhan
varian. Tanpa iklan semacam ini, maka semua iklan politik hanya berisi
puja-puji pada partai politik atau kandidat masing-masing. Dan rakyat hanya
bisa melongo melihatnya sambil menyadari bahwa realitas hidup tak seindah
iklan politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar