Sabtu, 19 April 2014

Pemilu Legislatif : Raihan di Balik Iklan?

Pemilu Legislatif : Raihan di Balik Iklan?

Effendi Gazali  ;   Peneliti Komunikasi Politik,
Alumnus Cornell dan Radboud University, Visiting Professor di Jeju National University
REPUBLIKA, 15 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Judul tadi selalu merupakan per tanyaan menarik pasca-pemilu. Bahayanya, pertanyaan seperti itu relatif lahir dari sebuah gambaran yang tidak utuh.
Seakan-akan iklan politik adalah faktor tertentu yang dapat bergerak di atas berbagai interaksi unsur-unsur lainnya dalam komunikasi politik. Padahal, iklan politik walau merupakan bagian paling seksi (baca: mencolok), ia hanya salah satu bagian yang ber interaksi dalam dan dengan semua unsur lain pada sistem kampanye.

Jadi, ada iklan politik yang lahir dari kebutuhan pada analisis awal. Lalu, iklan selanjutnya akan dikem bang kan sesuai hasil evaluasi strategi kampanye. Bahkan, pada titik tertentu, ada iklan yang dilontarkan dengan cepat sebagai reaksi sebuah situasi yang baru muncul. Atau terdapat pula iklan yang sengaja direncanakan untuk mengganggu pencapaian peta politik yang sedang berlangsung.

Dengan pemahaman itu, maka Pemilu Legislatif 2014 harus dilihat secara utuh dari semua konteks terkininya. Tampak sekali bahwa semangat zaman Pemilu 2014 adalah antara pemerintah (rulling party) yang tidak sukses versus oposisi.
Karena itu logikanya akan terjadi peralihan suara pemilih, baik dari partai pemerintah dan setgabnya, maupun dari mereka yang tidak memilih selama ini.

Ke mana pemilih ini akan berpindah? Harusnya ke partai-partai oposisi tadi, utamanya PDIP, Gerindra, Hanura, dan Nasional Demokrat. Bahkan, PDIP diramalkan bakal mendapat sedikitnya 27 persen atau ada yang memprediksi sampai 30 persen. Efek Jokowi disebut-sebut sebagai salah satu penambah yang khas bagi PDIP. Bahkan, Jokowi sendiri menyatakan bahwa mereka akan "menang tebal".

Jarak psikologis

Kenapa tidak terjadi efek Jokowi? Berbagai analis akan menghasilkan aneka jawaban. Tapi saya beranggapan, efek Jokowi sesungguhnya tidak benar-benar eksis dalam skala besar. Ia hanya cerminan dari harapan sebagian media tentang seorang tokoh yang mampu menyelamatkan bangsa. Potensi itu memang ada pada Jokowi yang mendapat merek dagang "pemimpin blusukan". Ini sebetulnya bukan barang baru. Bung Karno melakukannya, Pak Harto pun melaksanakan di awal masa pemerintahannya. Tapi memang, sesudah itu gaya khas ini utamanya terpancar dari pesona Jokowi, Tri Rismaharini (Surabaya), dan lainnya.

Sayangnya, sebagian media membesarkan Efek Jokowi di atas porsi selayaknya. Terjadilah rutinitas media yang tanpa sengaja mengurangi porsi pendapat atau peristiwa yang tidak menyumbang pada membesarnya gelembung efek ini. Atau yang disebut gejala "under-reported". Jangan pula terlalu menyalahkan survei. Kalau banyak yang termakan dengan gelembung ini, tentu hasil survei bisa melambung-lambung.

Singkatnya, terpancing antusiasme terhadap efek Jokowi, terjadilah semacam sikap "eksklusif" pada sebagian (bukan seluruh) elite PDIP. Mereka mulai merasa diri sebagai "gadis cantik yang layak dipinang". Artinya, para kumbang atau partai lainlah yang seyogianya datang bergabung dengan PDIP, yang diduga bakal bisa mengajukan pasangan capres-cawapres seorang diri. Bahkan sempat muncul semacam daftar kabinet bayangan.

Maka, logis kemudian muncul jarak psikologis antara parpol lain dan pemilih dengan sikap eksklusif ini. Utamanya pada sebagian partai berbasis ideologi berbeda atau pendekatan religius, misalnya. Pasti juga banyak isu persaingan dan serangan yang dilontarkan pada berbagai kesempatan dan wahana.
Tambahan lagi, hasil-hasil survei seperti memojokkan partai yang berbasis Islam, baik yang eksklusif mau pun inklusif.

Akibatnya, selain berpindah ke Gerindra dan Nasdem, sebagian besar memilih pulang ke rumah asal masing-masing. Nahdliyin memilih pulang ke PKB. Warga Muhammadiyah tampak kembali ke PAN. Sebagian lain pulang ke PPP. Bahkan, tak sedikit yang bertahan di rumah PKS sekalipun relatif paling parah terseruduk isu korupsi.

Iklan dan raihan

Dalam konteks-konteks itulah yang bertali-temali dengan aneka elemen lain, sebagian raihan berkat iklan dapat dibaca. PDIP lebih banyak melontarkan iklan "Indonesia Hebat" yang indah penggarapannya, namun tidak banyak mengarah peningkatan efek Jokowi. Di awal April, iklan yang banyak beredar adalah iklan Jokowi menerima mandat dan Bu Megawati yang memberikan mandat.

Hampir pasti, dua substansi iklan akan lebih menolong dalam konteks ini. Pertama, bicara soal elemen dasar kapabilitas (program) Jokowi. Ini barangkali dapat menjadi daya tarik bagi ceruk yang menahan diri untuk berpindah tadi. Kedua, Jokowi bicara soal kerja sama dengan seluruh partai dan golongan untuk menuju Indonesia Hebat.

Pastilah, kuantitas dan ragam iklan PDIP berbeda dengan Gerindra, misalnya. Gerindra tinggal melanjutkan akumulasi iklan kebangkitan Indonesia Raya yang sudah akrab di mata pemirsa sejak lima tahun lalu. Kalau saja iklan Gerindra bisa menampilkan sisi humanis Prabowo dengan rakyat, LSM, wartawan, dan sebagainya, mereka mungkin meraup suara lebih besar. Tampaknya ini yang harus dipikirkan menjelang pilpres.

Hanura menampilkan iklan bertubi-tubi. Tapi, variasi dan kreativitasnya relatif kalah banyak dibanding Nasional Demokrat. Apalagi, iklan-iklan Hanura diletakkan di tengah acara-acara TV hiburan yang potensi penontonnya berbeda dengan TV berita yang menayangkan iklan Nasdem. Mengusung langsung pasangan bakal capres dan cawapres lebih menuntut ketajaman mau memosisikan kedua nama itu pada ceruk yang mana di persepsi pemirsa. Beban iklan-iklan Nasdem jauh lebih ringan daripada beban Hanura yang harus sekaligus mengusung bakal capres-cawapres.

Iklan-iklan PKB secara taktis menampilkan pimpinan partai dan pimpinan NU yang memperkuat kepulangan warga Nahdliyin ke rumahnya. Tentu saja ada tambahan iklan Mahfud MD dan Rhoma Irama, kedua tokoh yang dianggap berperan memberikan tambahan elektabilitas pada PKB. Sementara, iklan partai lain secara umum tidak terlalu menonjol, baik jumlah maupun daya pikatnya.

Terhadap PDIP dan Jokowi, harus kita catat pula sebagian iklan menyerang. Ada versi "Kutagih Janjimu" yang tayang di sebuah stasiun TV dan kemudian berlanjut di media sosial. Sebagian ilmuwan, seperti Geer (2006) dan Krupnikov (2012) menggolongkan semua iklan yang kritis terhadap seorang kandidat sebagai iklan negatif. Namun, ini umumnya dipakai untuk penggolongan dalam penelitian. Annenberg School for Communication (University of Pennsylvania) dan gugus tugas peneliti di bawah Larry Bartels (Princeton University) melakukan serial penelitian tentang iklan menyerang puluhan tahun. Dari sisi kepentingan publik, mereka menyatakan tidak seluruh iklan menyerang itu negatif. Kalau yang ditampilkan adalah fakta, atau kalimat yang pernah diungkapkan seorang calon atau pejabat publik, maka iklan menyerang itu justru bermanfaat bagi publik.

Menjelang pilpres, kita akan lebih banyak melihat iklan menyerang atau memperbandingkan yang faktual dan positif ini. Di Amerika bisa saja jumlahnya mencapai puluhan varian. Tanpa iklan semacam ini, maka semua iklan politik hanya berisi puja-puji pada partai politik atau kandidat masing-masing. Dan rakyat hanya bisa melongo melihatnya sambil menyadari bahwa realitas hidup tak seindah iklan politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar