Selasa, 15 April 2014

Fastabiqul Khairat

Fastabiqul Khairat

Ahmad Baedowi  ;   Yayasan Pendidikan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 14 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
KONTESTASI dalam pemilihan umum anggota legislatif baru saja selesai. Menurut hitung cepat (quick count) beberapa lembaga survei, hasilnya menunjukkan tak ada partai dominan yang memiliki basis massa sangat besar sehingga secara jemawa bisa mengaku dirinya sebagai pemenang, tetapi distribusi pemilih berdasarkan platform politik partai yang dipilih hampir merata. Itu disebut hampir merata karena 10 dari 12 partai politik memperoleh suara kurang dari 20% sehingga untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden hampir bisa dipastikan membutuhkan koalisi antarpartai.

Fakta tersebut cukup menarik karena memang secara historis di Indonesia belum pernah ada partai yang begitu dominan. Namun jika dilihat dari konstelasi kebangsaan, hasil hitung cepat seolah ingin menjelaskan dua hal. Pertama, bangunan budaya, tradisi, dan keagamaan Indonesia yang majemuk sehingga prinsipprinsip otoriterisme harus hilang dengan sendirinya. Partai politik harus menerima kenyataan bahwa dalam mewujudkan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia diperlukan kerja sama semua pihak, tak memandang partai, aliran, tradisi, budaya, etnik, dan agama.

Kedua, hasil hitung cepat juga seolah menegasikan kecerdasan masyarakat kita dalam berpolitik, yang mana telah mulai tumbuh kesadaran untuk memberikan hukuman kepada partai yang lalai dalam menjalankan amanat sembari memberi kepercayaan kepada partai lain untuk mencoba membuktikan janji-janji mereka secara jujur dan cerdas. Tingkat kecerdasan masyarakat itu, menurut prediksi saya, semakin ke depan akan semakin baik seiring dengan tingkat pendidikan masyarakat yang juga semakin tinggi. Itu artinya tak bisa lagi sebuah partai politik membodohi dan membohongi rakyat dengan janji-janji manis.

Dengan tingkat pendidikan dan kecerdasan masyarakat yang lebih baik dalam melihat dan menyikapi konstelasi politik yang ada, harapannya mulai sekarang partai politik juga sudah harus bisa dan mau membuktikan diri mampu bersaing secara jujur, terutama dalam merealisasikan kebaikan bersama. Partai politik harus mampu berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat), bukan berlomba-lomba dalam keburukan, korupsi, dan nepotisme. Membodohi rakyat sudah bukan masanya lagi karena masyarakat semakin cerdas dan peka terhadap kebohongan dan kepura-puraan.

Berlomba-lomba dalam kebaikan merupakan keniscayaan yang harus ada dalam diri seluruh partai politik. Bahkan karena masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, tak sulit untuk menangkap pesan moral itu karena secara gamblang telah ditegaskan dalam Alquran. ‘Dan bagi setiap orang ada memiliki arah yang dituju ke arah mana dia menghadapkan wajahnya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam berbuat kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu’ (QS Al Baqarah: 148).

Akan tetapi, pertanyaan tersulitnya ialah, aspek kebaikan apa yang perlu diperlombakan setiap partai politik terutama dalam konteks pendidikan? Mari kita belajar, mengapa misalnya Finlandia selalu menjadi rujukan siapa saja yang tertarik dengan pengembangan sistem pendidikan. Sahlberg (2011: 58) mengatakan titik singgung keberhasilan sistem pendidikan di Finlandia terletak pada kesadaran yang sama antara pemerintah dan masyarakatnya terhadap pentingnya menegakkan keadilan sosial. Kesadaran semacam itulah yang membuat proses pendidikan menjadi seimbang, tanpa perlu disusupi embelembel moralitas palsu.

Kesadaran tentang keadilan sosial (social justice) merupakan simbol perlindungan bagi siapa saja yang berada dalam radius sistem pendidikan yang berlaku. Ibarat rumah, social justice kemudian melahirkan guru-guru dan anak-anak yang percaya bahwa setiap usaha untuk mengembangkan pendidikan selalu bermula dari kesadaran bahwa persamaan (equity) dan distribusi sumber daya yang seimbang (equitable distribution of resources) merupakan dua kata kunci implementatif dari keadilan sosial. Dalam konteks ini, lagi-lagi itu dilihat sebagai sebuah proses tak berujung, bukan sekadar menumbuhkan kompetisi tak sehat di kalangan siswa dan guru seperti yang terjadi dengan kasus UN di Indonesia.

Kesadaran moralitas tersebut penting untuk dipikirkan secara implementatif oleh seluruh partai politik. Kebijakan rekrutmen guru, misalnya, bukan sekadar proses menemukan seseorang yang bisa mengajar, melainkan menempatkan posisi psikologis mereka ke dalam rumah guru Indonesia yang memercayai keadilan sosial menjadi jauh lebih penting. Selain itu, saya membayangkan bahwa prinsip keadilan sosial dalam pendidikan akan melahirkan kebijakan yang memandang manusia secara sejajar serta melihat perbedaan yang terjadi di dalam masyarakat sebagai aset komunitas yang harus terus dikelola dengan benar. Kita sudah memilikinya dalam dasar negara Pancasila, tetapi lemah dalam aspek implementasinya. Persamaan (equity) dalam proses pendidikan berarti kita harus memberi perhatian lebih kepada kebutuhan siswa (student need) dan mengembangkan program berdasarkan kebutuhan tersebut.

Karena itu, menjadi penting bagi kita semua untuk mulai mereformasi dunia pendidikan kita dari dalam sekolah, bukan dari luar. Segala bentuk intervensi yang mengatasnamakan reformasi, apalagi bersifat politis, hanya akan menambah panjang penderitaan anak-anak kita.

Saya kira saran dari Pasi Sahlberg (2011) cocok untuk memulai langkah kecil perubahan sistem pendidikan kita, seperti selalu berpikir ke depan (thinking ahead) secara visioner untuk membuat sekolah-sekolah menjadi lebih baik. Kemudian, perubahan itu harus dimulai dari kondisi internal sekolah (delivering within the school), bukan tempat yang lain, bukan kantor Kemendikbud atau pemda, juga bukan kantor partai politik. Yang terakhir, sekolah harus memiliki program yang memberdayakan sekolah lainnya (leading across), yang mana para guru, kepala sekolah, dan siswa memiliki kesempatan untuk belajar dari sekolah lainnya.

Akhirnya, fastabiqul khairat ialah kesadaran panjang tentang pentingnya memercayai prinsip keadilan sosial (social justice) sebagai basis filosofis proses, praktik, dan program pendidikan yang bermuasal dari setiap sekolah. Di dalam sekolah biasanya muncul ide dan konsep-konsep menarik tentang masa depan secara generic dan genuine, terutama dari guru, kepala sekolah, dan siswa yang selalu memaknai belajar sebagai kebutuhan sepanjang hayat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar