Fastabiqul
Khairat
Ahmad Baedowi ; Yayasan
Pendidikan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 14 April 2014
KONTESTASI dalam pemilihan umum
anggota legislatif baru saja selesai. Menurut hitung cepat (quick count) beberapa lembaga survei,
hasilnya menunjukkan tak ada partai dominan yang memiliki basis massa sangat
besar sehingga secara jemawa bisa mengaku dirinya sebagai pemenang, tetapi
distribusi pemilih berdasarkan platform politik partai yang dipilih hampir
merata. Itu disebut hampir merata karena 10 dari 12 partai politik memperoleh
suara kurang dari 20% sehingga untuk mengusung calon presiden dan wakil
presiden hampir bisa dipastikan membutuhkan koalisi antarpartai.
Fakta tersebut cukup menarik
karena memang secara historis di Indonesia belum pernah ada partai yang
begitu dominan. Namun jika dilihat dari konstelasi kebangsaan, hasil hitung
cepat seolah ingin menjelaskan dua hal. Pertama, bangunan budaya, tradisi,
dan keagamaan Indonesia yang majemuk sehingga prinsipprinsip otoriterisme
harus hilang dengan sendirinya. Partai politik harus menerima kenyataan bahwa
dalam mewujudkan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
diperlukan kerja sama semua pihak, tak memandang partai, aliran, tradisi,
budaya, etnik, dan agama.
Kedua, hasil hitung cepat juga
seolah menegasikan kecerdasan masyarakat kita dalam berpolitik, yang mana
telah mulai tumbuh kesadaran untuk memberikan hukuman kepada partai yang
lalai dalam menjalankan amanat sembari memberi kepercayaan kepada partai lain
untuk mencoba membuktikan janji-janji mereka secara jujur dan cerdas. Tingkat
kecerdasan masyarakat itu, menurut prediksi saya, semakin ke depan akan
semakin baik seiring dengan tingkat pendidikan masyarakat yang juga semakin
tinggi. Itu artinya tak bisa lagi sebuah partai politik membodohi dan
membohongi rakyat dengan janji-janji manis.
Dengan tingkat pendidikan dan
kecerdasan masyarakat yang lebih baik dalam melihat dan menyikapi konstelasi
politik yang ada, harapannya mulai sekarang partai politik juga sudah harus
bisa dan mau membuktikan diri mampu bersaing secara jujur, terutama dalam
merealisasikan kebaikan bersama. Partai politik harus mampu berlomba-lomba
dalam kebaikan (fastabiqul khairat),
bukan berlomba-lomba dalam keburukan, korupsi, dan nepotisme. Membodohi
rakyat sudah bukan masanya lagi karena masyarakat semakin cerdas dan peka
terhadap kebohongan dan kepura-puraan.
Berlomba-lomba dalam kebaikan
merupakan keniscayaan yang harus ada dalam diri seluruh partai politik.
Bahkan karena masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, tak sulit untuk
menangkap pesan moral itu karena secara gamblang telah ditegaskan dalam
Alquran. ‘Dan bagi setiap orang ada memiliki arah yang dituju ke arah mana
dia menghadapkan wajahnya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam berbuat
kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu
sekalian. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu’ (QS Al Baqarah:
148).
Akan tetapi, pertanyaan
tersulitnya ialah, aspek kebaikan apa yang perlu diperlombakan setiap partai
politik terutama dalam konteks pendidikan? Mari kita belajar, mengapa
misalnya Finlandia selalu menjadi rujukan siapa saja yang tertarik dengan
pengembangan sistem pendidikan. Sahlberg (2011: 58) mengatakan titik singgung
keberhasilan sistem pendidikan di Finlandia terletak pada kesadaran yang sama
antara pemerintah dan masyarakatnya terhadap pentingnya menegakkan keadilan
sosial. Kesadaran semacam itulah yang membuat proses pendidikan menjadi seimbang,
tanpa perlu disusupi embelembel moralitas palsu.
Kesadaran tentang keadilan
sosial (social justice) merupakan
simbol perlindungan bagi siapa saja yang berada dalam radius sistem
pendidikan yang berlaku. Ibarat rumah, social justice kemudian melahirkan
guru-guru dan anak-anak yang percaya bahwa setiap usaha untuk mengembangkan
pendidikan selalu bermula dari kesadaran bahwa persamaan (equity) dan distribusi sumber daya
yang seimbang (equitable distribution
of resources) merupakan dua kata kunci implementatif dari keadilan
sosial. Dalam konteks ini, lagi-lagi itu dilihat sebagai sebuah proses tak
berujung, bukan sekadar menumbuhkan kompetisi tak sehat di kalangan siswa dan
guru seperti yang terjadi dengan kasus UN di Indonesia.
Kesadaran moralitas tersebut
penting untuk dipikirkan secara implementatif oleh seluruh partai politik.
Kebijakan rekrutmen guru, misalnya, bukan sekadar proses menemukan seseorang
yang bisa mengajar, melainkan menempatkan posisi psikologis mereka ke dalam
rumah guru Indonesia yang memercayai keadilan sosial menjadi jauh lebih
penting. Selain itu, saya membayangkan bahwa prinsip keadilan sosial dalam
pendidikan akan melahirkan kebijakan yang memandang manusia secara sejajar
serta melihat perbedaan yang terjadi di dalam masyarakat sebagai aset
komunitas yang harus terus dikelola dengan benar. Kita sudah memilikinya
dalam dasar negara Pancasila, tetapi lemah dalam aspek implementasinya.
Persamaan (equity) dalam proses
pendidikan berarti kita harus memberi perhatian lebih kepada kebutuhan siswa
(student need) dan mengembangkan program berdasarkan kebutuhan tersebut.
Karena itu, menjadi penting bagi
kita semua untuk mulai mereformasi dunia pendidikan kita dari dalam sekolah,
bukan dari luar. Segala bentuk intervensi yang mengatasnamakan reformasi,
apalagi bersifat politis, hanya akan menambah panjang penderitaan anak-anak
kita.
Saya kira saran dari Pasi
Sahlberg (2011) cocok untuk memulai langkah kecil perubahan sistem pendidikan
kita, seperti selalu berpikir ke depan (thinking
ahead) secara visioner untuk membuat sekolah-sekolah menjadi lebih baik.
Kemudian, perubahan itu harus dimulai dari kondisi internal sekolah (delivering within the school), bukan
tempat yang lain, bukan kantor Kemendikbud atau pemda, juga bukan kantor
partai politik. Yang terakhir, sekolah harus memiliki program yang
memberdayakan sekolah lainnya (leading
across), yang mana para guru, kepala sekolah, dan siswa memiliki
kesempatan untuk belajar dari sekolah lainnya.
Akhirnya, fastabiqul khairat ialah kesadaran panjang tentang pentingnya
memercayai prinsip keadilan sosial (social
justice) sebagai basis filosofis proses, praktik, dan program pendidikan
yang bermuasal dari setiap sekolah. Di dalam sekolah biasanya muncul ide dan
konsep-konsep menarik tentang masa depan secara generic dan genuine,
terutama dari guru, kepala sekolah, dan siswa yang selalu memaknai belajar
sebagai kebutuhan sepanjang hayat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar