Sertifikasi
Bebas Folio Asia Tenggara
Poonam Khetrapal Singh ; Direktur Regional WHO
Kawasan Asia Tenggara
|
KOMPAS,
01 April 2014
PADA 27
Maret 2014, dunia menyaksikan keberhasilan perjalanan panjang Asia Tenggara
memerangi polio. Kawasan ini resmi mendapat sertifikasi bebas polio dari
Komisi Sertifikasi Regional, komisi independen yang menjalankan proses
sertifikasi WHO.
Komisi
Sertifikasi Regional mengumumkan keputusannya pada 27 Maret 2014 di New
Delhi, India. Di Asia, kasus virus polio liar terakhir dilaporkan di India,
13 Januari 2011. Sertifikasi bebas polio tidak diberikan kepada suatu negara.
Sertifikasi diberikan pada sebuah kawasan jika semua negara yang tercakup di
dalamnya, berdasarkan pengawasan kasus, bebas selama tiga tahun
berturut-turut dari polio yang diakibatkan virus polio liar. Hal ini hanya
dapat dicapai dengan surveilans yang baik, termasuk pemeriksaan terhadap
spesimen feses pada kasus kelumpuhan (acute
flaccid paralysis).
Asia
Tenggara adalah kawasan keempat yang mendapat sertifikasi setelah Amerika
(1994), Pasifik Barat (2000), dan Eropa (2002). Sertifikasi ini momen penting
bagi jutaan tenaga kesehatan yang telah bekerja keras bersama pemerintah,
ormas, dan mitra lain dalam upaya eradikasi polio di Asia Tenggara. Kawasan
ini mencakup 11 negara anggota WHO: Banglades, Butan, Korea, India,
Indonesia, Maladewa, Myanmar, Nepal, Sri Lanka, Thailand, dan Timor Leste.
Manfaat
eradikasi sangatlah jelas: menyelamatkan nyawa dan menghindari kecacatan
seumur hidup yang sebenarnya dapat dicegah. Keberhasilan polio dapat menjadi
acuan bagi pencegahan penyakit lain, seperti campak dan rubela. Pencegahan
penyakit yang dapat menyebabkan kecacatan adalah bagian dari upaya
menanggulangi kemiskinan dan memberikan kesempatan lebih luas kepada anak
serta keluarga untuk menjalani kehidupan yang lebih sehat dan produktif.
Lepas
dari polio, kita perlu memiliki visi lebih besar dari sekadar pencegahan tiga
penyakit di atas. Sejumlah penyakit, seperti malaria, HIV/AIDS, dan
tuberkulosis, terus menyerang masyarakat. Selain imunisasi, masih banyak
upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah berbagai penyakit. Pemanfaatan
infrastruktur, kapasitas, dan strategi inovatif dalam eradikasi polio sangat
penting dalam strategi pengendalian penyakit lain.
Program
eradikasi polio secara tak langsung sebenarnya mendukung penguatan sistem
kesehatan di Asia Tenggara. Bersamaan dengan program tersebut, tenaga
kesehatan dan anggota masyarakat dilatih dan dilengkapi dengan perangkat yang
diperlukan untuk meningkatkan cakupan vaksinasi dan pelayanan kesehatan bagi
anak-anak. Demikian pula laboratorium global dan jejaring komunikasi yang
komprehensif bermanfaat bagi pengendalian berbagai penyakit. Sarana dan
jejaring yang telah terbangun tersebut terbukti berguna dalam penanggulangan
flu burung di kawasan ini.
Program
eradikasi polio telah menerjunkan jutaan vaksinator untuk menjangkau
anak-anak yang sebelumnya sulit mendapatkan pelayanan kesehatan karena
tinggal di daerah yang sulit dicapai, dari keluarga kurang beruntung di
daerah miskin di perkotaan atau harus tinggal berpindah-pindah karena wilayah
tempat tinggalnya terkena dampak bencana alam atau konflik.
Kesepakatan Alma-Alta
Keberhasilan
eradikasi polio tak akan tercapai tanpa keterlibatan masyarakat.
Negara-negara anggota WHO pada 1978 telah menyusun kesepakatan Alma-Alta yang
intinya menegaskan pelayanan kesehatan dasar harus berakar kuat di masyarakat
serta selaras dengan situasi ekonomi, sosial, dan budaya lokal. Penguatan
sistem pelayanan kesehatan dasar yang selama ini dilakukan bersamaan dengan
program eradikasi polio juga perlu dipertahankan dan dikembangkan bagi
pencegahan dan pengobatan berbagai penyakit. Sistem kesehatan yang kuat
adalah yang secara berimbang mampu memberikan pelayanan bermutu bagi upaya
preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif. Kemitraan publik dan swasta
berpotensi melahirkan inovasi praktis guna mendukung sektor publik.
Dengan
pendekatan komprehensif dan multidimensional, program eradikasi polio Asia
Tenggara dapat jadi acuan pembelajaran bagaimana menemukan jalan keluar bagi
tantangan geografis, teknologi, sosial, dan pendanaan dalam memberikan
pelayanan kesehatan. Pengalaman ini jadi pengungkit terbangunnya sistem
penyediaan jaminan kesehatan bagi seluruh anggota masyarakat (universal
health coverage), selain sistem kesehatan yang berjalan baik. Dengan tiga
dimensi—akses, keterjangkauan pembiayaan, dan mutu—jaminan kesehatan
menyeluruh dapat menjadi agen perubahan di dunia kesehatan masyarakat.
Pada
skala besar, di luar sistem kesehatan nasional, melalui sinkronisasi dengan
kegiatan eradikasi polio, banyak negara telah membangun mekanisme koordinasi
berbagai inisiatif upaya kesehatan lintas batas untuk meraih yang tidak
terjangkau. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar