Selasa, 01 April 2014

Ideologi dan Imajinasi Cita-Cita Gerakan

Ideologi dan Imajinasi Cita-Cita Gerakan

Anwar ‘Sastro’ Ma’ruf  ;   Ketua Nasional Partai Rakyat Pekerja (PRP)
INDOPROGRESS, 03 Maret 2014
                                                                    

Pengantar

DI AKHIR pemerintahan otoriter Soeharto, gerakan rakyat mulai tumbuh dengan subur meskipun dihadapkan pada tindakan represi yang sadis. Di masa itu, banyak korban berjatuhan, mulai dari pembunuhan, penculikan, hingga pemenjaraan terhadap para pelaku gerakan rakyat. Sudah pasti gerakan tersebut muncul oleh suatu paham/ideologi perlawanan, sesuatu yang dibenci rezim kala itu. Rezim yang telah menghegemoni kesadaran rakyat Indonesia secara sistematis. Jadi, perkara gampang saat itu bagi mereka yang melakukan perlawanan, jika tidak memiliki keyakinan pada ideologi tertentu yang memacu keberanian untuk membangun kekuatan, seperti mengorganisasi, mendidik, serta mengajak rakyat untuk melawan. Dan kita tahu, gerakan perlawanan itu terus membesar mulai dari gerakan mahasiswa, buruh, tani, dan gerakan rakyat lainnya, hingga pada 1998 mampu ‘menumbangkan’ rezim Soeharto. Terlepas dari adanya skenario lain yang berkepentingan untuk menggantikan rezim pemerintahan otoritarian menjadi rezim pasar bebas/neoliberal.

Pasca Soeharto jatuh, kita memasuki era baru demokrasi liberal atau yang disebut dengan zaman reformasi. Di masa ini, gerakan bertumbuh pesat bak jamur di musim hujan. Namun, yang menarik adalah gerakan justru semakin kompleks dan terkotak-kotak. Jika di zaman orde baru,  Soeharto bisa dijadikan musuh bersama, maka di zaman reformasi sepertinya gerakan bingung menentukan siapa musuh sesungguhnya. Hal ini sejalan dengan praktik oligarki politik kekuasaan yang diusung oleh rezim neoliberal. Kekuasaan tidak lagi terpusat/sentralistik, melainkan telah terdesentralisasi dengan munculnya raja-raja kecil di setiap daerah.

Dalam kekuasaan pemerintahan pusat pun telah terbagi atas beberapa elite politik dan ekonomi. Hal inilah yang, menurut saya, menyebabkan gerakan ‘bingung’ saat menentukan musuh bersama. Memang tetap ada kelompok progresif yang mampu memetakan siapa lawan sesungguhnya, yakni kaum kapitalis-neoliberalis yang berkuasa baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun, mayoritas rakyat yang bergerak-gerik dapat disimpulkan masih sangat pragmatis. Dari sini, kita bisa melihat lemahnya pengetahuan atau ideologi gerakan dalam membaca serta menganalisis secara tajam siapa musuh sejati mereka. Selain itu, gerakan rakyat belum mampu membangun organisasi politik atau partai politik kuat yang mampu berhadap-hadapan dengan kekuasaan atau bahkan merebut kekuasaan dari rezim penguasa pro-modal.

Peran dan Fungsi Pengetahuan/Ideologi dalam Gerakan

Gerakan di masa kolonial yang bersifat kedaerahan (kerajaan-kerajaan Nusantara) sangat berbeda dengan gerakan pasca kebijakan politik etis mengenai irigasi, emigrasi, dan edukasi di negara jajahan Belanda. Kebijakan ini membuka peluang bagi bangsa pribumi untuk mendapatkan pendidikan meskipun baru pada kalangan terbatas. Hal ini, paling tidak, telah berdampak pada pergeseran bentuk-bentuk gerakan perlawanan menjadi lebih modern dengan lahirnya organisasi-organisasi kepemudaan, pekerja, serta organisasi politik seperti Budi Oetomo, Sarekat Islam, dan lain-lain.

Kedatangan Henk Sneevliet yang kemudian mendirikan ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereniging), telah memberi warna baru perjuangan kelas pekerja. Ia mengenalkan ide-ide Marxis kepada kaum terpelajar pribumi yang sedang mencari jalan untuk melawan kekuasaan penjajah. Dari sinilah, roh ideologi perlawanan dengan arah dan tujuan yang jelas muncul, serta dilakukan secara lebih terorganisasi dan  sistematis.  Hal ini menggambarkan bagaimana corak perlawanan gerakan rakyat melawan penjajah hingga tahun 1945.

Dalam perkembangannya, muncul beberapa ideolog yang berpengaruh di Indonesia dan organisasi-organisasi politik yang berkembang pesat hingga tahun 1965, seperti Soekarno dengan ‘Marhaenisme dan PNI,’ Tan Malaka dengan teori ‘Madilog’-nya, Muso dengan tesis ‘Jalan Baru’nya, serta PKI dengan tesis ‘MIRI’-nya. Selain berbentuk partai politik, juga lahir berbagai serikat rakyat seperti SOBSI, Sarbupri, BTI, dan lain-lain.  Mayoritas gerakan pada saat itu mengadaptasi dan terkoneksi dengan perkembangan ideologi kiri yang berkembang pesat di Barat. Dapat dilihat bagaimana hubungan antara gerakan dengan ideologinya. Ideologi yang kuat dan mengakar akan berpengaruh pada kekuatan organisasi gerakannya. Sebagian besar kader gerakan sampai dengan tahun 1965, sangat memahami ideologi yang dianut oleh organisasinya.

Namun pasca pembantaian massal tahun 1965 yang beriringan dengan lahirnya orde baru, gerakan rakyat dibungkam dan ideologi kiri dilarang. Semua gerakan rakyat yang ada merupakan bentukan dari rezim yang berkuasa. Jika ada gerakan yang berperspektif perjuangan kelas langsung diberangus oleh rezim otoriter orde baru. Hal itu membuat sejarah gerakan perjuangan kelas terputus sama sekali. Gerakan yang lahir pasca 1965 terpaksa harus mencari sendiri ideologinya. Meskipun masih tetap ada sisa-sisa pergerakan yang melakukan ideologisasi melalui gerakan bawah tanah.

Dengan dilarangnya ideologi kiri dengan stigmatisasi komunis yang massif, gerakan rakyat yang progresif terpaksa tiarap dalam menggunakan teori perjuangan kelas. Ini yang sering kali membuat sumir atau keragu-raguan dalam melakukan agitasi dan propaganda. Hanya kalangan tertentu yang bisa menerima ideologi tersebut karena mayoritas rakyat masih terhegemoni oleh stigmanisasi komunis ala orde baru. Alasan inilah salah satu penyebab tidak menguatnya gerakan karena ideologi yang tidak jelas. Beberapa kelompok yang mengaku ideologis pun sebenarnya juga baru sebatas memahami teks tanpa mampu menghubungkannya dengan realitas sosial apalagi praktiknya.

Padahal, kita tahu bahwa gerakan rakyat akan selalu membutuhkan teori gerakan yang benar atau ideologi yang sesuai dengan cita-citanya. Begitu pula kalangan intelektual yang hobi berteori atau mengaku ideologis, perlu mendaratkan ilmunya sehingga bermanfaat di lapangan gerakan. Jika kita mendapati kelompok gerakan tanpa ideologi yang jelas dan kelompok intelektual yang hanya berteori tanpa mendaratkannya dalam praktik, itu sangatlah mirip dengan lagu yang sedang tren saat ini yang berjudul ‘pokoke joget.’ Tanpa perlu tahu syair atau liriknya, tanpa perlu tahu lagu dan pengarangnya, yang penting joget.

Sebagai contoh, akhir-akhir ini kita melihat bagaimana masifnya perjuangan mewujudkan jaminan sosial melalui BPJS. Namun, tanpa telaah dan analisis yang mendalam, ternyata konsep jaminan sosial ini sangat jauh dari yang diharapkan. Hal ini karena imajinasi tentang jaminan sosial juga belum utuh bagaimana bentuk dan wujudnya. Jaminan sosial yang saat ini dijalankan sesuai UU BPJS dan UU SJSN, ternyata berbentuk asuransi sosial yang sangat kental ramuan neoliberalnya serta diragukan oleh berbagai kalangan. Seharusnya, pendalaman tentang jaminan sosial sebagai bagian dari perlindungan sosial, mulai dari teori dan konsepsi sudah matang sebelumnya,  karena sebenarnya itu bukanlah hal baru dan sudah banyak referensi atau praktik yang lebih baik. Jika kita mendalaminya, tentu kita tidak akan mudah dibelokkan apalagi ditunggangi oleh kepentingan modal dan elite politik.

Contoh lainnya, banyak orang atau organisasi bicara tentang sosialisme, tetapi sangat sulit dipahami oleh masyarakat awam. Padahal, istilah tersebut dapat disederhanakan, misalnya, sosialisme dapat dipahami sebagai suatu tatanan masyarakat tanpa kelas (MTK), saat suatu masyarakat dalam suatu negara setara dalam hal ekonomi, politik, sosial dan budaya. Alat produksi yang bersifat eksploitatif (mengisap dan menindas) harus dihilangkan, alat produksi dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pada prinsipnya, semua orang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan harus dilindungi dan disejahterakan oleh negara. Tentu dengan asumsi bahwa negara dikuasai oleh penguasa yang berpihak kepada rakyat atau kelas pekerja itu sendiri.

 Imajinasi Cita-Cita Gerakan

Pada umumnya, organisasi gerakan memiliki cita-cita yang tertulis dalam konstitusi atau anggaran dasar organisasi. Sebagai contoh, organisasi ini bercita-cita untuk menyejahterakan anggota dan keluarganya. Kita bisa menemukan bunyi kalimat tersebut dalam berbagai konstitusi atau AD/ART, tetapi pasti akan sulit menemukan bagaimana cara untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Seharusnya, kalimat tentang cita-cita organisasi tersebut dipahami dan disadari secara mendalam oleh seluruh anggota organisasi disertai dengan bagaimana strategi, taktik, program baik jangka pendek, menengah, panjang untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Biasanya, pengurus dan anggota organisasi mengalami kesulitan untuk menerjemahkan atau menjelentrehkan apa arti, makna, dan wujud kesejahteraan yang ingin dicapai. Di sinilah imajinasi diperlukan untuk dapat menggambarkan perwujudan secara nyata tentang suatu masyarakat yang sejahtera.

Apakah sudah sesuai antara cita-cita kesejahteraan sejati yang tertulis dalam konstitusi atau AD/ART organisasi dengan kenyataan yang diperjuangkan? Sebagai contoh, gerakan buruh yang menuntut kenaikan upah minimum, gerakan tani yang menuntut tanah garapan. Setelah mendapatkan upah minimum, apakah lantas sejahtera? Setelah petani mendapatkan tanah, apakah lantas sejahtera? Jawabannya sudah pasti belum. Maka, di sinilah tantangan gerakan untuk menerjemahkan dan mendetailkan seperti apa cita-cita kesejahteraan sejati yang akan dituju. Sebab kalau tidak, kecenderungan gerakan tersebut akan sangat pragmatis.

Kita sudah melihat buktinya hari ini. Ratusan ribu hektare tanah dikuasai oleh petani dari proses reclaiming, tetapi setelah mendapatkan tanah dan mengelola tanah tersebut, meraka tidak juga sejahtera. Contoh lain, hampir setiap tahun gerakan buruh mampu memperjuangkan upah dengan aksi besar-besaran, bahkan sampai melakukan aksi menutup jalan tol. Namun, upah yang telah diperjuangkan tersebut belum juga mampu menyejahterakan  buruh dan keluarganya. Saat petani panen padi, pemerintah mengimpor beras. Saat upah buruh dinaikkan, seluruh harga kebutuhan pokok ikut naik. Hal ini seperti tidak ada artinya, atau justru secara nilai dan kualitas kesejahteraan mengalami penurunan bukannya membaik.

Ternyata yang disebut dengan kesejahteraan itu terkait dengan urusan kebijakan, dan kebijakan ditentukan oleh kekuasaan politik. Gerakan buruh terlalu asyik dengan tuntutan haknya sebagai pekerja. Gerakan tani terlalu asyik dengan bagaimana mendapatkan tanah garapan seluas-luasnya. Semuanya, tanpa disadari, ternyata ditentukan oleh sistem ekonomi dan politik yang saat ini dikuasai oleh pasar.  Sementara, gerakan buruh dan tani melupakan hak-hak sebagai warga negara, saat hak sebagai warga negara yang seharusnya diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah harus dibayar dengan mahal. Sebagai contoh, hak untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, pekerjaan yang layak dan bermartabat, transportasi publik, perumahan murah, administrasi dan pendudukan gratis (KTP dan KK) yang semuanya sebenarnya merupakan bagian dari perlindungan sosial,  tetapi saat ini semuanya itu mengambil pos yang cukup besar dari pendapatan rakyat pekerja.

Dari uraian di atas, perlu ada terobosan bagaimana kita berimajinasi tentang kesejahteraan sejati,  bukan lagi kesejahteraan semu seperti upah dan tanah. Seperti tercantum dalam pembukaan UUD 45 alenia kedua, yakni cita-cita merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur, serta di alenia ke-4 yang menyatakan bahwa negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Juga yang termaktub dalam sila ke-5 Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semestinya, semuanya diterjemahkan dengan lebih gamblang. Sebagai contoh, kita akan menyebut ‘adil’ jika tidak ada lagi penindasan dan pengisapan manusia atas manusia lain di bumi Indonesia. Kita menyebut ‘makmur’ jika seluruh kebutuhan rakyat tercukupi. Bangsa ini akan cerdas jika sekolah itu gratis dan bermutu sesuai dengan kebutuhan dalam mengisi dan mengelola seluruh sumber daya bangsa untuk mencapai cita-cita kemakmuran bersama. Kesejahteraan sejati artinya semua orang dapat hidup dengan layak dan bermartabat.

Kemudian, kita bisa melakukan cross check antara cita-cita di dalam konstitusi negara, dalam AD/ART organisasi, dengan realitasnya lebih khusus lagi dengan apa yang kita perjuangkan hari ini. Jika itu belum nyambung, disimpulkan bahwa gerakan kita masih pragmatis, belum ideologis, dan belum memaksimalkan imajinasi kita. Dengan demikian, perlu adanya rumusan bersama dari imajinasi kita tentang kesejahteraan sejati dan bagaimana cara mencapainya. Jadi, tidaklah mungkin buruh, tani, dan rakyat pekerja lainnya akan sejahtera jika perjuangannya hanya menuntut upah, tanah, atau hak-hak normatif lainnya. Perlu ada peningkatan kesadaran, kualitas dan kuantitas perjuangan, misalnya gerakan buruh, gerakan tani dan gerakan rakyat pekerja lainnya membutuhkan organisasi politik atau partai politik yang dibangun oleh gerakan rakyat pekerja.

Partai politik tersebut nantinya akan digunakan untuk merebut kekuasaan, dan memimpin pemerintahan serta akan menjalankan sistem ekonomi dan politik yang mengabdi pada cita-cita kesejahteraan sejati rakyat pekerja. Dengan demikian, yang disebut dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan terwujud. Di situlah imajinasi atau wujud cita-cita gerakan serta bagaimana membangun dan memenanginya harus dimiliki dan diyakini secara bersama.

Tawaran Menyinergiskan Teori dan Praktik Gerakan

Transformasi pengetahuan dari berbagai pemikiran dan praktik di tempat lain sangatlah penting bagi gerakan di suatu tempat. Begitu pula sebaliknya, menuliskan atau membuat teori berbagai praktik dan seluk-beluk dari gerakan menjadi hal yang juga penting karena proses panjang dalam membangun, memperkuat, dan memperluas gerakan sudah pasti akan menghasilkan banyak hal yang sering kali tidak didapatkan dari teori atau referensi yang telah ada. Gerakan yang genuine tentu akan memperkaya ilmu pengetahuan yang akan berguna di tempat lain maupun di masa yang akan datang. Namun, bagaimana mungkin semua terjadi jika tidak ada kebersamaan antara pelaku gerakan dengan kalangan intelektual kiri. Di sinilah tantangan kita untuk menghubungkan, menyinergiskan termasuk berbagi peran dalam memperkuat gerakan rakyat menuju cita-cita sejati.

Peran kalangan intelektual kiri dibutuhkan untuk membantu, menyambungkan, dan memperjelas antara praktik yang sudah dilakukan, dihubungkan dengan cita-cita yang ingin dicapai dengan ideologi yang sesuai. Untuk bisa membantu hal tersebut, tentu kalangan intelektual harus memahami praktik gerakan secara langsung, agar tahap demi tahap atau fase demi fase menuju tercapainya cita-cita dapat diukur dan diletakkan dalam ruang dan waktu. Jika tidak, kalangan intelektual kiri hanya akan berdebat, menulis teori yang sulit atau tidak pernah dipraktikkan. Benar akan menjadi ilmu pengetahuan, tetapi secara nilai guna hanyalah abstraksi yang berputar-putar dari satu kepala ke kepala yang lainnya, tidak pernah mendarat di bumi dan tidak mampu menyuburkan gerakan di akar rumput.

Dengan demikian, perlu adanya konsolidasi gagasan dan konsolidasi gerakan, di antara kalangan intelektual kiri dan pelaku gerakan. Konsolidasi gagasan diperlukan dalam mencari dan merumuskan stratak, konsep solusi, yang pada akhirnya menyepakati ideologi tertentu sebagai acuan bersama. Maka, diperlukan objektivitas yang tinggi antara material yang ada dengan sumber daya yang ada serta kemungkinan gerak dalam fase-fase pencapaian cita-cita gerakan. Selain itu, kalangan intelektual kiri dan pelaku gerakan harus melebur menjadi kesatuan organik dalam memegang dan menjalankan mandat dan cita-cita bersama meskipun tetap ada pembagian peran dan tugas masing-masing sesuai kebutuhan. Sementara itu, konsolidasi gerakan adalah perwujudan dari berbagai gagasan yang telah disepakati bersama. Sebagai contoh bagaimana kalangan gerakan memenangi perebutan kekuasaan ekonomi politik dalam satu suatu teritori misalkan membuat pilot project bersama dalam perebutan kekuasaan ekonomi politik di satu daerah. Dimulai dari mengorganisasi atau memanfaatkan pengorganisasian yang sudah ada, membangun dan mengembangkan pendidikan ekonomi politik yang sistematis, menyiapkan kepemimpinan melalui kaderisasi, membuat stratak dan program pemenangan, menyiapkan konsep atau program yang akan dijalankan. Tentu tidak hanya dimulai saat menang, tetapi harus dibuat fase-fase saat menjalankannya.

Hal yang tidak boleh diabaikan adalah mengenai sumber daya logistik gerakan, yakni adanya kemandirian ekonomi yang dibangun dari dalam gerakan sendiri. Kegagalan gerakan selama ini adalah karena kekurang-mampuan dalam mengembangkan dan membangun kemandirian ekonomi. Tentu hal ini tidak terlepas dari skenario atau motif gerakan yang selama ini sebenarnya dikembangkan oleh kepentingan modal yang terselubung. Sebagai contoh, adanya gelontoran dana-dana dari berbagai lembaga donor yang sepertinya “untuk memoderasi radikalisasi gerakan rakyat.” Maka, kemandirian ekonomi adalah faktor yang sangat penting, yang harus dimiliki mulai dari konsepsi sebagai praktik dari ideologi dan cita-cita yang akan dituju. Artinya, gerakan harus mempunyai motif atau skenario sendiri secara utuh dan harus dipraktikkan atau dijalankan secara nyata.

Aspek lain yang tidak kalah penting adalah kemampuan menguatkan, membesarkan, dan memperluas gerakan yang harus  disesuaikan dengan jumlah populasi dan luasan teritori yang ingin dimenangi. Jadi, tidaklah lucu jika baru membangun gerakan di Jakarta seakan-akan sudah menguasai Indonesia. Baru memiliki anggota ratusan ribu atau bahkan puluhan ribu, tetapi sudah besar kepala, padahal belum sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia. Kemampuan membangun sistem database, manajemen, dan administrasi sangat diperlukan oleh gerakan. Jadi, gerakan tidak hanya cukup hanya dengan aksi-aksi, tetapi harus lebih komprehensif. Selain itu, gerakan harus memiliki dan memahami geopolitik dari Indonesia dalam bentuk dokumen yang mesti di-update sesuai kebutuhan. Hal ini sangat penting untuk menjaga kontinuitas gerakan sekaligus sebagai pembangunan budaya gerakan yang progresif serta pengembangan ilmu pengetahuan gerakan itu sendiri. Jika melihat kaum kapitalis dalam menjaga kekuasaannya, selain mengembangkan pengetahuan individualis, mereka juga terus menjaga dan mengembangkan budaya kapitalis (konsumtif). Oleh karena itu, gerakan rakyat pun harus memiliki dan mengembangkan budaya sendiri yang sesuai dengan ideologi dan cita-cita gerakan.

Salah satu hal yang perlu dipersiapkan ketika ingin memperoleh kemenangan melalui elektoral sudah pasti harus memenuhi syarat-syarat administratif sesuai UU yang berlaku. Memang, UU partai politik dan pemilu dibuat sulit sedemikian rupa untuk bisa dipenuhi oleh partai politik gerakan saat ini. Namun, sesungguhnya hal tersebut sangat penting, sebab jikalau gerakan ini menang, ia harus kuat dan bisa mempertahankan serta menjamin kemenangan tersebut akan langgeng. Di sinilah dibutuhkan pengetahuan sebagai prasyarat dan kebutuhan untuk menang dan mewujudkan imajinasi.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa gerakan rakyat tanpa ideologi ibarat berlayar tanpa tujuan. Begitu pula sebaliknya, teori/ideologi tanpa dipraktikkan tidak akan bermanfaat bagi rakyat. Ibarat kita memiliki benih unggul yang tidak pernah ditanam, dipupuk, dan dirawat, jangan berharap akan memanen hasilnya. Para pelaku gerakan dan kalangan intelektual harus bersama-sama yakin dan teguh, bekerja keras dalam mewujudkan cita-cita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar