Ideologi
dan Imajinasi Cita-Cita Gerakan
Anwar ‘Sastro’ Ma’ruf ; Ketua Nasional Partai
Rakyat Pekerja (PRP)
|
INDOPROGRESS,
03 Maret 2014
Pengantar
DI AKHIR pemerintahan otoriter Soeharto, gerakan rakyat mulai
tumbuh dengan subur meskipun dihadapkan pada tindakan represi yang sadis. Di
masa itu, banyak korban berjatuhan, mulai dari pembunuhan, penculikan, hingga
pemenjaraan terhadap para pelaku gerakan rakyat. Sudah pasti gerakan tersebut
muncul oleh suatu paham/ideologi perlawanan, sesuatu yang dibenci rezim kala
itu. Rezim yang telah menghegemoni kesadaran rakyat Indonesia secara
sistematis. Jadi, perkara gampang saat itu bagi mereka yang melakukan
perlawanan, jika tidak memiliki keyakinan pada ideologi tertentu yang memacu
keberanian untuk membangun kekuatan, seperti mengorganisasi, mendidik, serta
mengajak rakyat untuk melawan. Dan kita tahu, gerakan perlawanan itu terus
membesar mulai dari gerakan mahasiswa, buruh, tani, dan gerakan rakyat
lainnya, hingga pada 1998 mampu ‘menumbangkan’ rezim Soeharto. Terlepas dari
adanya skenario lain yang berkepentingan untuk menggantikan rezim
pemerintahan otoritarian menjadi rezim pasar bebas/neoliberal.
Pasca Soeharto jatuh, kita memasuki era baru demokrasi liberal
atau yang disebut dengan zaman reformasi. Di masa ini, gerakan bertumbuh
pesat bak jamur di musim hujan. Namun, yang menarik adalah gerakan justru
semakin kompleks dan terkotak-kotak. Jika di zaman orde baru, Soeharto bisa dijadikan musuh bersama, maka
di zaman reformasi sepertinya gerakan bingung menentukan siapa musuh
sesungguhnya. Hal ini sejalan dengan praktik oligarki politik kekuasaan yang
diusung oleh rezim neoliberal. Kekuasaan tidak lagi terpusat/sentralistik,
melainkan telah terdesentralisasi dengan munculnya raja-raja kecil di setiap
daerah.
Dalam kekuasaan pemerintahan pusat pun telah terbagi atas
beberapa elite politik dan ekonomi. Hal inilah yang, menurut saya,
menyebabkan gerakan ‘bingung’ saat menentukan musuh bersama. Memang tetap ada
kelompok progresif yang mampu memetakan siapa lawan sesungguhnya, yakni kaum
kapitalis-neoliberalis yang berkuasa baik secara langsung maupun tidak
langsung. Namun, mayoritas rakyat yang bergerak-gerik dapat disimpulkan masih
sangat pragmatis. Dari sini, kita bisa melihat lemahnya pengetahuan atau
ideologi gerakan dalam membaca serta menganalisis secara tajam siapa musuh
sejati mereka. Selain itu, gerakan rakyat belum mampu membangun organisasi
politik atau partai politik kuat yang mampu berhadap-hadapan dengan kekuasaan
atau bahkan merebut kekuasaan dari rezim penguasa pro-modal.
Peran dan Fungsi
Pengetahuan/Ideologi dalam Gerakan
Gerakan di masa kolonial yang bersifat kedaerahan
(kerajaan-kerajaan Nusantara) sangat berbeda dengan gerakan pasca kebijakan
politik etis mengenai irigasi, emigrasi, dan edukasi di negara jajahan
Belanda. Kebijakan ini membuka peluang bagi bangsa pribumi untuk mendapatkan
pendidikan meskipun baru pada kalangan terbatas. Hal ini, paling tidak, telah
berdampak pada pergeseran bentuk-bentuk gerakan perlawanan menjadi lebih
modern dengan lahirnya organisasi-organisasi kepemudaan, pekerja, serta
organisasi politik seperti Budi Oetomo, Sarekat Islam, dan lain-lain.
Kedatangan Henk Sneevliet yang kemudian mendirikan ISDV
(Indische Sociaal-Democratische Vereniging), telah memberi warna baru
perjuangan kelas pekerja. Ia mengenalkan ide-ide Marxis kepada kaum
terpelajar pribumi yang sedang mencari jalan untuk melawan kekuasaan
penjajah. Dari sinilah, roh ideologi perlawanan dengan arah dan tujuan yang
jelas muncul, serta dilakukan secara lebih terorganisasi dan sistematis.
Hal ini menggambarkan bagaimana corak perlawanan gerakan rakyat melawan
penjajah hingga tahun 1945.
Dalam perkembangannya, muncul beberapa ideolog yang berpengaruh
di Indonesia dan organisasi-organisasi politik yang berkembang pesat hingga
tahun 1965, seperti Soekarno dengan ‘Marhaenisme dan PNI,’ Tan Malaka dengan
teori ‘Madilog’-nya, Muso dengan tesis ‘Jalan Baru’nya, serta PKI dengan
tesis ‘MIRI’-nya. Selain berbentuk partai politik, juga lahir berbagai
serikat rakyat seperti SOBSI, Sarbupri, BTI, dan lain-lain. Mayoritas gerakan pada saat itu
mengadaptasi dan terkoneksi dengan perkembangan ideologi kiri yang berkembang
pesat di Barat. Dapat dilihat bagaimana hubungan antara gerakan dengan
ideologinya. Ideologi yang kuat dan mengakar akan berpengaruh pada kekuatan
organisasi gerakannya. Sebagian besar kader gerakan sampai dengan tahun 1965,
sangat memahami ideologi yang dianut oleh organisasinya.
Namun pasca pembantaian massal tahun 1965 yang beriringan dengan
lahirnya orde baru, gerakan rakyat dibungkam dan ideologi kiri dilarang.
Semua gerakan rakyat yang ada merupakan bentukan dari rezim yang berkuasa.
Jika ada gerakan yang berperspektif perjuangan kelas langsung diberangus oleh
rezim otoriter orde baru. Hal itu membuat sejarah gerakan perjuangan kelas
terputus sama sekali. Gerakan yang lahir pasca 1965 terpaksa harus mencari
sendiri ideologinya. Meskipun masih tetap ada sisa-sisa pergerakan yang
melakukan ideologisasi melalui gerakan bawah tanah.
Dengan dilarangnya ideologi kiri dengan stigmatisasi komunis
yang massif, gerakan rakyat yang progresif terpaksa tiarap dalam menggunakan
teori perjuangan kelas. Ini yang sering kali membuat sumir atau keragu-raguan
dalam melakukan agitasi dan propaganda. Hanya kalangan tertentu yang bisa
menerima ideologi tersebut karena mayoritas rakyat masih terhegemoni oleh
stigmanisasi komunis ala orde baru. Alasan inilah salah satu penyebab tidak
menguatnya gerakan karena ideologi yang tidak jelas. Beberapa kelompok yang
mengaku ideologis pun sebenarnya juga baru sebatas memahami teks tanpa mampu
menghubungkannya dengan realitas sosial apalagi praktiknya.
Padahal, kita tahu bahwa gerakan rakyat akan selalu membutuhkan
teori gerakan yang benar atau ideologi yang sesuai dengan cita-citanya.
Begitu pula kalangan intelektual yang hobi berteori atau mengaku ideologis,
perlu mendaratkan ilmunya sehingga bermanfaat di lapangan gerakan. Jika kita
mendapati kelompok gerakan tanpa ideologi yang jelas dan kelompok intelektual
yang hanya berteori tanpa mendaratkannya dalam praktik, itu sangatlah mirip
dengan lagu yang sedang tren saat ini yang berjudul ‘pokoke joget.’ Tanpa
perlu tahu syair atau liriknya, tanpa perlu tahu lagu dan pengarangnya, yang
penting joget.
Sebagai contoh, akhir-akhir ini kita melihat bagaimana masifnya
perjuangan mewujudkan jaminan sosial melalui BPJS. Namun, tanpa telaah dan
analisis yang mendalam, ternyata konsep jaminan sosial ini sangat jauh dari
yang diharapkan. Hal ini karena imajinasi tentang jaminan sosial juga belum
utuh bagaimana bentuk dan wujudnya. Jaminan sosial yang saat ini dijalankan
sesuai UU BPJS dan UU SJSN, ternyata berbentuk asuransi sosial yang sangat
kental ramuan neoliberalnya serta diragukan oleh berbagai kalangan. Seharusnya,
pendalaman tentang jaminan sosial sebagai bagian dari perlindungan sosial,
mulai dari teori dan konsepsi sudah matang sebelumnya, karena sebenarnya itu bukanlah hal baru dan
sudah banyak referensi atau praktik yang lebih baik. Jika kita mendalaminya,
tentu kita tidak akan mudah dibelokkan apalagi ditunggangi oleh kepentingan
modal dan elite politik.
Contoh lainnya, banyak orang atau organisasi bicara tentang
sosialisme, tetapi sangat sulit dipahami oleh masyarakat awam. Padahal,
istilah tersebut dapat disederhanakan, misalnya, sosialisme dapat dipahami
sebagai suatu tatanan masyarakat tanpa kelas (MTK), saat suatu masyarakat
dalam suatu negara setara dalam hal ekonomi, politik, sosial dan budaya. Alat
produksi yang bersifat eksploitatif (mengisap dan menindas) harus
dihilangkan, alat produksi dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Pada prinsipnya, semua orang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya dan harus dilindungi dan disejahterakan oleh negara. Tentu dengan
asumsi bahwa negara dikuasai oleh penguasa yang berpihak kepada rakyat atau
kelas pekerja itu sendiri.
Imajinasi Cita-Cita Gerakan
Pada umumnya, organisasi gerakan memiliki cita-cita yang
tertulis dalam konstitusi atau anggaran dasar organisasi. Sebagai contoh,
organisasi ini bercita-cita untuk menyejahterakan anggota dan keluarganya.
Kita bisa menemukan bunyi kalimat tersebut dalam berbagai konstitusi atau
AD/ART, tetapi pasti akan sulit menemukan bagaimana cara untuk mewujudkan
cita-cita tersebut. Seharusnya, kalimat tentang cita-cita organisasi tersebut
dipahami dan disadari secara mendalam oleh seluruh anggota organisasi
disertai dengan bagaimana strategi, taktik, program baik jangka pendek,
menengah, panjang untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Biasanya, pengurus dan
anggota organisasi mengalami kesulitan untuk menerjemahkan atau
menjelentrehkan apa arti, makna, dan wujud kesejahteraan yang ingin dicapai.
Di sinilah imajinasi diperlukan untuk dapat menggambarkan perwujudan secara
nyata tentang suatu masyarakat yang sejahtera.
Apakah sudah sesuai antara cita-cita kesejahteraan sejati yang
tertulis dalam konstitusi atau AD/ART organisasi dengan kenyataan yang
diperjuangkan? Sebagai contoh, gerakan buruh yang menuntut kenaikan upah
minimum, gerakan tani yang menuntut tanah garapan. Setelah mendapatkan upah
minimum, apakah lantas sejahtera? Setelah petani mendapatkan tanah, apakah
lantas sejahtera? Jawabannya sudah pasti belum. Maka, di sinilah tantangan
gerakan untuk menerjemahkan dan mendetailkan seperti apa cita-cita
kesejahteraan sejati yang akan dituju. Sebab kalau tidak, kecenderungan
gerakan tersebut akan sangat pragmatis.
Kita sudah melihat buktinya hari ini. Ratusan ribu hektare tanah
dikuasai oleh petani dari proses reclaiming, tetapi setelah mendapatkan tanah
dan mengelola tanah tersebut, meraka tidak juga sejahtera. Contoh lain,
hampir setiap tahun gerakan buruh mampu memperjuangkan upah dengan aksi
besar-besaran, bahkan sampai melakukan aksi menutup jalan tol. Namun, upah
yang telah diperjuangkan tersebut belum juga mampu menyejahterakan buruh dan keluarganya. Saat petani panen
padi, pemerintah mengimpor beras. Saat upah buruh dinaikkan, seluruh harga
kebutuhan pokok ikut naik. Hal ini seperti tidak ada artinya, atau justru
secara nilai dan kualitas kesejahteraan mengalami penurunan bukannya membaik.
Ternyata yang disebut dengan kesejahteraan itu terkait dengan
urusan kebijakan, dan kebijakan ditentukan oleh kekuasaan politik. Gerakan
buruh terlalu asyik dengan tuntutan haknya sebagai pekerja. Gerakan tani
terlalu asyik dengan bagaimana mendapatkan tanah garapan seluas-luasnya.
Semuanya, tanpa disadari, ternyata ditentukan oleh sistem ekonomi dan politik
yang saat ini dikuasai oleh pasar.
Sementara, gerakan buruh dan tani melupakan hak-hak sebagai warga
negara, saat hak sebagai warga negara yang seharusnya diberikan secara
cuma-cuma oleh pemerintah harus dibayar dengan mahal. Sebagai contoh, hak
untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, pekerjaan yang layak dan
bermartabat, transportasi publik, perumahan murah, administrasi dan
pendudukan gratis (KTP dan KK) yang semuanya sebenarnya merupakan bagian dari
perlindungan sosial, tetapi saat ini
semuanya itu mengambil pos yang cukup besar dari pendapatan rakyat pekerja.
Dari uraian di atas, perlu ada terobosan bagaimana kita
berimajinasi tentang kesejahteraan sejati,
bukan lagi kesejahteraan semu seperti upah dan tanah. Seperti
tercantum dalam pembukaan UUD 45 alenia kedua, yakni cita-cita merdeka,
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur, serta di alenia ke-4 yang menyatakan
bahwa negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Juga yang
termaktub dalam sila ke-5 Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Semestinya, semuanya diterjemahkan dengan lebih gamblang.
Sebagai contoh, kita akan menyebut ‘adil’ jika tidak ada lagi penindasan dan
pengisapan manusia atas manusia lain di bumi Indonesia. Kita menyebut
‘makmur’ jika seluruh kebutuhan rakyat tercukupi. Bangsa ini akan cerdas jika
sekolah itu gratis dan bermutu sesuai dengan kebutuhan dalam mengisi dan
mengelola seluruh sumber daya bangsa untuk mencapai cita-cita kemakmuran
bersama. Kesejahteraan sejati artinya semua orang dapat hidup dengan layak
dan bermartabat.
Kemudian, kita bisa melakukan cross check antara cita-cita di
dalam konstitusi negara, dalam AD/ART organisasi, dengan realitasnya lebih
khusus lagi dengan apa yang kita perjuangkan hari ini. Jika itu belum
nyambung, disimpulkan bahwa gerakan kita masih pragmatis, belum ideologis,
dan belum memaksimalkan imajinasi kita. Dengan demikian, perlu adanya rumusan
bersama dari imajinasi kita tentang kesejahteraan sejati dan bagaimana cara
mencapainya. Jadi, tidaklah mungkin buruh, tani, dan rakyat pekerja lainnya
akan sejahtera jika perjuangannya hanya menuntut upah, tanah, atau hak-hak
normatif lainnya. Perlu ada peningkatan kesadaran, kualitas dan kuantitas
perjuangan, misalnya gerakan buruh, gerakan tani dan gerakan rakyat pekerja
lainnya membutuhkan organisasi politik atau partai politik yang dibangun oleh
gerakan rakyat pekerja.
Partai politik tersebut nantinya akan digunakan untuk merebut
kekuasaan, dan memimpin pemerintahan serta akan menjalankan sistem ekonomi
dan politik yang mengabdi pada cita-cita kesejahteraan sejati rakyat pekerja.
Dengan demikian, yang disebut dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia akan terwujud. Di situlah imajinasi atau wujud cita-cita gerakan
serta bagaimana membangun dan memenanginya harus dimiliki dan diyakini secara
bersama.
Tawaran Menyinergiskan
Teori dan Praktik Gerakan
Transformasi pengetahuan dari berbagai pemikiran dan praktik di
tempat lain sangatlah penting bagi gerakan di suatu tempat. Begitu pula
sebaliknya, menuliskan atau membuat teori berbagai praktik dan seluk-beluk
dari gerakan menjadi hal yang juga penting karena proses panjang dalam
membangun, memperkuat, dan memperluas gerakan sudah pasti akan menghasilkan
banyak hal yang sering kali tidak didapatkan dari teori atau referensi yang
telah ada. Gerakan yang genuine tentu akan memperkaya ilmu pengetahuan yang
akan berguna di tempat lain maupun di masa yang akan datang. Namun, bagaimana
mungkin semua terjadi jika tidak ada kebersamaan antara pelaku gerakan dengan
kalangan intelektual kiri. Di sinilah tantangan kita untuk menghubungkan,
menyinergiskan termasuk berbagi peran dalam memperkuat gerakan rakyat menuju
cita-cita sejati.
Peran kalangan intelektual kiri dibutuhkan untuk membantu,
menyambungkan, dan memperjelas antara praktik yang sudah dilakukan,
dihubungkan dengan cita-cita yang ingin dicapai dengan ideologi yang sesuai.
Untuk bisa membantu hal tersebut, tentu kalangan intelektual harus memahami
praktik gerakan secara langsung, agar tahap demi tahap atau fase demi fase
menuju tercapainya cita-cita dapat diukur dan diletakkan dalam ruang dan
waktu. Jika tidak, kalangan intelektual kiri hanya akan berdebat, menulis
teori yang sulit atau tidak pernah dipraktikkan. Benar akan menjadi ilmu
pengetahuan, tetapi secara nilai guna hanyalah abstraksi yang berputar-putar
dari satu kepala ke kepala yang lainnya, tidak pernah mendarat di bumi dan
tidak mampu menyuburkan gerakan di akar rumput.
Dengan demikian, perlu adanya konsolidasi gagasan dan
konsolidasi gerakan, di antara kalangan intelektual kiri dan pelaku gerakan.
Konsolidasi gagasan diperlukan dalam mencari dan merumuskan stratak, konsep
solusi, yang pada akhirnya menyepakati ideologi tertentu sebagai acuan
bersama. Maka, diperlukan objektivitas yang tinggi antara material yang ada
dengan sumber daya yang ada serta kemungkinan gerak dalam fase-fase
pencapaian cita-cita gerakan. Selain itu, kalangan intelektual kiri dan
pelaku gerakan harus melebur menjadi kesatuan organik dalam memegang dan
menjalankan mandat dan cita-cita bersama meskipun tetap ada pembagian peran
dan tugas masing-masing sesuai kebutuhan. Sementara itu, konsolidasi gerakan
adalah perwujudan dari berbagai gagasan yang telah disepakati bersama.
Sebagai contoh bagaimana kalangan gerakan memenangi perebutan kekuasaan
ekonomi politik dalam satu suatu teritori misalkan membuat pilot project
bersama dalam perebutan kekuasaan ekonomi politik di satu daerah. Dimulai
dari mengorganisasi atau memanfaatkan pengorganisasian yang sudah ada,
membangun dan mengembangkan pendidikan ekonomi politik yang sistematis,
menyiapkan kepemimpinan melalui kaderisasi, membuat stratak dan program
pemenangan, menyiapkan konsep atau program yang akan dijalankan. Tentu tidak
hanya dimulai saat menang, tetapi harus dibuat fase-fase saat menjalankannya.
Hal yang tidak boleh diabaikan adalah mengenai sumber daya
logistik gerakan, yakni adanya kemandirian ekonomi yang dibangun dari dalam
gerakan sendiri. Kegagalan gerakan selama ini adalah karena kekurang-mampuan
dalam mengembangkan dan membangun kemandirian ekonomi. Tentu hal ini tidak
terlepas dari skenario atau motif gerakan yang selama ini sebenarnya
dikembangkan oleh kepentingan modal yang terselubung. Sebagai contoh, adanya
gelontoran dana-dana dari berbagai lembaga donor yang sepertinya “untuk
memoderasi radikalisasi gerakan rakyat.” Maka, kemandirian ekonomi adalah
faktor yang sangat penting, yang harus dimiliki mulai dari konsepsi sebagai
praktik dari ideologi dan cita-cita yang akan dituju. Artinya, gerakan harus
mempunyai motif atau skenario sendiri secara utuh dan harus dipraktikkan atau
dijalankan secara nyata.
Aspek lain yang tidak kalah penting adalah kemampuan menguatkan,
membesarkan, dan memperluas gerakan yang harus disesuaikan dengan jumlah populasi dan
luasan teritori yang ingin dimenangi. Jadi, tidaklah lucu jika baru membangun
gerakan di Jakarta seakan-akan sudah menguasai Indonesia. Baru memiliki anggota
ratusan ribu atau bahkan puluhan ribu, tetapi sudah besar kepala, padahal
belum sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia. Kemampuan membangun sistem
database, manajemen, dan administrasi sangat diperlukan oleh gerakan. Jadi,
gerakan tidak hanya cukup hanya dengan aksi-aksi, tetapi harus lebih
komprehensif. Selain itu, gerakan harus memiliki dan memahami geopolitik dari
Indonesia dalam bentuk dokumen yang mesti di-update sesuai kebutuhan. Hal ini
sangat penting untuk menjaga kontinuitas gerakan sekaligus sebagai
pembangunan budaya gerakan yang progresif serta pengembangan ilmu pengetahuan
gerakan itu sendiri. Jika melihat kaum kapitalis dalam menjaga kekuasaannya,
selain mengembangkan pengetahuan individualis, mereka juga terus menjaga dan
mengembangkan budaya kapitalis (konsumtif). Oleh karena itu, gerakan rakyat
pun harus memiliki dan mengembangkan budaya sendiri yang sesuai dengan
ideologi dan cita-cita gerakan.
Salah satu hal yang perlu dipersiapkan ketika ingin memperoleh
kemenangan melalui elektoral sudah pasti harus memenuhi syarat-syarat
administratif sesuai UU yang berlaku. Memang, UU partai politik dan pemilu
dibuat sulit sedemikian rupa untuk bisa dipenuhi oleh partai politik gerakan
saat ini. Namun, sesungguhnya hal tersebut sangat penting, sebab jikalau
gerakan ini menang, ia harus kuat dan bisa mempertahankan serta menjamin
kemenangan tersebut akan langgeng. Di sinilah dibutuhkan pengetahuan sebagai
prasyarat dan kebutuhan untuk menang dan mewujudkan imajinasi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa gerakan rakyat tanpa
ideologi ibarat berlayar tanpa tujuan. Begitu pula sebaliknya, teori/ideologi
tanpa dipraktikkan tidak akan bermanfaat bagi rakyat. Ibarat kita memiliki
benih unggul yang tidak pernah ditanam, dipupuk, dan dirawat, jangan berharap
akan memanen hasilnya. Para pelaku gerakan dan kalangan intelektual harus
bersama-sama yakin dan teguh, bekerja keras dalam mewujudkan cita-cita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar