Semiotika
Busana
Musyafak ; Esais, Staf Balai
Litbang Agama Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 11 April 2014
PESAN
politik tampaknya tidak cukup bila hanya memaklumatkan lewat pidato, menggemborkan
sebagai slogan, atau pun menerakan pada pamflet. Busana juga bisa menjadi
peranti penting bagi politikus untuk mengomunikasikan pesan politik,
sekaligus membangun citra diri.
Apakah
itu yang membuat caleg dan partai terbantu dalam pileg? Ada partai yang naik
peringkat, meraup suara secara signifikan, ada pula yang perolehannya
merosot, dan sebagainya. Publik melihat pada masa kampanye pileg, para capres
terjun ke lapangan untuk menyambangi massa. Tapi busana atau kostum sebagian
dari mereka acap menjadi sorotan publik.
Tatkala
berkampanye di Stadion Gelora Bung Karno, kostum Prabowo Subianto misalnya,
membuahkan perbincangan, menuai tanggapan hingga kritik. Capres Partai
Gerindra itu mengenakan safari warna putih bersaku empat, pantalon warna
krem, dan bersepatu bot tinggi warna cokelat tua. Melengkapi kostum tersebut,
sebilah keris terselip di pinggang Prabowo yang saat itu menunggang kuda.
Melihat
menggunakan kacamata semiotika, kostum yang dikenakan Prabowo merupakan
sebuah tanda yang menyelubungkan makna politik di baliknya. Begitu juga
kostum yang dikenakan oleh capres lain, bukan sekadar sebagai fenomena
kultural melainkan juga sarana mereproduksi ide-ide politik sekaligus
mengonstruksi sebuah citra.
Pakar
semiotika Prancis, Roland Barthes (1915-1980) berpandangan bahwa model
pakaian seseorang disesuaikan dengan fungsinya sebagai tanda. Tanda itu akan
membedakan jenis pakaian antara baju dinas/kantor dan kostum olahraga,
pakaian kasual, seragam upacara, atau baju untuk musim tertentu. Lebih jauh,
pakaian menjadi simbol dari status sosial, identitas kultural, bahkan
ideologi dan politik.
Tafsir Publik
Makna
berbusana para capres pun berhadap-hadapan dengan tafsir publik yang beragam.
Sebagaimana dikemukakan Kris Budiman (2004), busana punya wajah ganda yang
ambigu. Di satu sisi, wajah busana tampak menarik dan menggoda. Sebaliknya,
di sisi lain, busana juga punya makna kepalsuan sekaligus mengelabui.
Semiotika bisa membantu memahami bagaimana busana berfungsi sebagai tanda di
dalam membentuk makna-makna tertentu. Di hadapan publik, Prabowo dan pakaian
model safari seolah-olah tidak bisa dipisahkan. Dengan mengenakan safari,
makna apa yang hendak disampaikan Prabowo tentang dirinya?
Baju
safari merupakan bagian dari budaya seragam pertama di Indonesia. Tahun
1942-1945, demam baju seragam yang tanpa preseden terjadi di masyarakat
Indonesia sebagai efek rezim militer Jepang dan upaya-upayanya memobilisasi
dukungan massa. Pada masa Orde Baru, setelan baju safari merepresentasikan
makna yang bervariasi, mulai dari birokrasi, anonimitas, kemiliteran dan
kekerasan negara (Budiman, 2004).
Baju
safari yang dipakai oleh mantan danjen Kopassus itu bisa bermakna bahwa
Prabowo belum lepas dari budaya dan nalar militeristik. Dengan memakai baju
model itu, ia tampil sebagai seorang yang tampaknya masih punya kekuasaan,
atau sekurang-kurangnya masih menjadi bagian dari birokrasi meski ia sudah
tidak berada di dalam barisan aparatur negara.
Kostum
model safari, atau yang dulu
disebut Bung Karno sebagai uniform,
memang memaknakan suatu kemartabatan dan ketegasan tersendiri bagi seorang
pemimpin. “Kita harus berpakaian yang
pantas dan kelihatan sebagai pemimpin,” kata Bung Karno berkait
keinginannya memakai uniform, tidak lama setelah republik ini diproklamasikan
(Cindy Adams, 2007). Menurut Bung
Karno, seorang kepala negara tidak patut tampil di hadapan umum dengan baju
kusut dan berkerut. Rakyat saat itu yang sudah diinjak-injak penjajah lebih
senang melihat pemimpinnya berpakaian gagah seperti orang-orang asing yang
tampak hebat memakai uniform sebagai lambang kekuasaan.
Sosok
pemimpin tegas dan berwibawa memang masih menjadi dambaan sebagian rakyat
Indonesia hari ini. Model kostum safari yang kerap dikenakan Prabowo selama
ini tentunya menjadi modal (citra) yang relevan dengan dambaan semacam itu.
Tak
cukup itu, dengan tambahan keris yang diselipkan di pinggang dan menunggang
kuda, Prabowo juga hendak menambahkan narasi diri sebagai keturunan Pangeran
Diponegoro. Di tengah iklim politik yang masih lumrah menjual silsilah,
narasi itu dipakai untuk mengabsahkan ìkualitasî dan historisitas
kepemimpinannya. Namun publik yang plural tidak serta-merta mengamini narasi
dan citra diri seperti itu. Justru, sebagian pihak malah menilai kostum ia
merepresentasikan kultur feodalistis Jawa yang sudah tidak relevan dengan
politik demokrasi saat ini.
Di
tengah perang citra politik hari ini, citra berkeris dan berkuda ala Prabowo
itu rentan dikomparasikan dengan penampilan capres lain yang berkostum formal
biasa, atau bahkan kasual nonformal. Misal capres Jokowi, atau ’’bakal capres’’ Dahlan Iskan, kerap
tampil di hadapan publik dengan baju biasa atau baju santai. Fungsi semiotik
dari kostum yang dipakai kedua sosok
tersebut malah berhasil menarasikan citra diri sederhana dan low profile ketika membaur dengan
rakyat.
Berbeda
pula dari busana baju koko, bersorban, dan bergitar yang dikenakan Rhoma
Irama, yang kemudian memudahkan publik mengidentifikasinya sebagai muslim dan
seniman. Walhasil, sebagai modal citrawi, busana diyakini punya andil
memuluskan jalan seorang capres menuju Istana. Waktunya pun masih panjang,
sampai 9 Juli mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar