Sabtu, 12 April 2014

Semiotika Busana

Semiotika Busana

Musyafak  ;   Esais, Staf Balai Litbang Agama Semarang
SUARA MERDEKA, 11 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
PESAN politik tampaknya tidak cukup bila hanya memaklumatkan lewat pidato, menggemborkan sebagai slogan, atau pun menerakan pada pamflet. Busana juga bisa menjadi peranti penting bagi politikus untuk mengomunikasikan pesan politik, sekaligus membangun citra diri.

Apakah itu yang membuat caleg dan partai terbantu dalam pileg? Ada partai yang naik peringkat, meraup suara secara signifikan, ada pula yang perolehannya merosot, dan sebagainya. Publik melihat pada masa kampanye pileg, para capres terjun ke lapangan untuk menyambangi massa. Tapi busana atau kostum sebagian dari mereka acap menjadi sorotan publik.

Tatkala berkampanye di Stadion Gelora Bung Karno, kostum Prabowo Subianto misalnya, membuahkan perbincangan, menuai tanggapan hingga kritik. Capres Partai Gerindra itu mengenakan safari warna putih bersaku empat, pantalon warna krem, dan bersepatu bot tinggi warna cokelat tua. Melengkapi kostum tersebut, sebilah keris terselip di pinggang Prabowo yang saat itu menunggang kuda.

Melihat menggunakan kacamata semiotika, kostum yang dikenakan Prabowo merupakan sebuah tanda yang menyelubungkan makna politik di baliknya. Begitu juga kostum yang dikenakan oleh capres lain, bukan sekadar sebagai fenomena kultural melainkan juga sarana mereproduksi ide-ide politik sekaligus mengonstruksi sebuah citra.

Pakar semiotika Prancis, Roland Barthes (1915-1980) berpandangan bahwa model pakaian seseorang disesuaikan dengan fungsinya sebagai tanda. Tanda itu akan membedakan jenis pakaian antara baju dinas/kantor dan kostum olahraga, pakaian kasual, seragam upacara, atau baju untuk musim tertentu. Lebih jauh, pakaian menjadi simbol dari status sosial, identitas kultural, bahkan ideologi dan politik.

Tafsir Publik

Makna berbusana para capres pun berhadap-hadapan dengan tafsir publik yang beragam. Sebagaimana dikemukakan Kris Budiman (2004), busana punya wajah ganda yang ambigu. Di satu sisi, wajah busana tampak menarik dan menggoda. Sebaliknya, di sisi lain, busana juga punya makna kepalsuan sekaligus mengelabui. Semiotika bisa membantu memahami bagaimana busana berfungsi sebagai tanda di dalam membentuk makna-makna tertentu. Di hadapan publik, Prabowo dan pakaian model safari seolah-olah tidak bisa dipisahkan. Dengan mengenakan safari, makna apa yang hendak disampaikan Prabowo tentang dirinya?

Baju safari merupakan bagian dari budaya seragam pertama di Indonesia. Tahun 1942-1945, demam baju seragam yang tanpa preseden terjadi di masyarakat Indonesia sebagai efek rezim militer Jepang dan upaya-upayanya memobilisasi dukungan massa. Pada masa Orde Baru, setelan baju safari merepresentasikan makna yang bervariasi, mulai dari birokrasi, anonimitas, kemiliteran dan kekerasan negara (Budiman, 2004).

Baju safari yang dipakai oleh mantan danjen Kopassus itu bisa bermakna bahwa Prabowo belum lepas dari budaya dan nalar militeristik. Dengan memakai baju model itu, ia tampil sebagai seorang yang tampaknya masih punya kekuasaan, atau sekurang-kurangnya masih menjadi bagian dari birokrasi meski ia sudah tidak berada di dalam barisan aparatur negara.

Kostum model safari, atau yang dulu disebut Bung Karno sebagai uniform, memang memaknakan suatu kemartabatan dan ketegasan tersendiri bagi seorang pemimpin. “Kita harus berpakaian yang pantas dan kelihatan sebagai pemimpin,” kata Bung Karno berkait keinginannya memakai uniform, tidak lama setelah republik ini diproklamasikan (Cindy Adams, 2007). Menurut Bung Karno, seorang kepala negara tidak patut tampil di hadapan umum dengan baju kusut dan berkerut. Rakyat saat itu yang sudah diinjak-injak penjajah lebih senang melihat pemimpinnya berpakaian gagah seperti orang-orang asing yang tampak hebat memakai uniform sebagai lambang kekuasaan.

Sosok pemimpin tegas dan berwibawa memang masih menjadi dambaan sebagian rakyat Indonesia hari ini. Model kostum safari yang kerap dikenakan Prabowo selama ini tentunya menjadi modal (citra) yang relevan dengan dambaan semacam itu.

Tak cukup itu, dengan tambahan keris yang diselipkan di pinggang dan menunggang kuda, Prabowo juga hendak menambahkan narasi diri sebagai keturunan Pangeran Diponegoro. Di tengah iklim politik yang masih lumrah menjual silsilah, narasi itu dipakai untuk mengabsahkan ìkualitasî dan historisitas kepemimpinannya. Namun publik yang plural tidak serta-merta mengamini narasi dan citra diri seperti itu. Justru, sebagian pihak malah menilai kostum ia merepresentasikan kultur feodalistis Jawa yang sudah tidak relevan dengan politik demokrasi saat ini.

Di tengah perang citra politik hari ini, citra berkeris dan berkuda ala Prabowo itu rentan dikomparasikan dengan penampilan capres lain yang berkostum formal biasa, atau bahkan kasual nonformal. Misal capres Jokowi, atau ’’bakal capres’’ Dahlan Iskan, kerap tampil di hadapan publik dengan baju biasa atau baju santai. Fungsi semiotik dari kostum yang dipakai  kedua sosok tersebut malah berhasil menarasikan citra diri sederhana dan low profile ketika membaur dengan rakyat.

Berbeda pula dari busana baju koko, bersorban, dan bergitar yang dikenakan Rhoma Irama, yang kemudian memudahkan publik mengidentifikasinya sebagai muslim dan seniman. Walhasil, sebagai modal citrawi, busana diyakini punya andil memuluskan jalan seorang capres menuju Istana. Waktunya pun masih panjang, sampai 9 Juli mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar