Menggugat
Soal Obyektif UN
Nanang Martono ; Dosen Sosiologi
Pendidikan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Kandidat doktor
Universitas Lumiere Lyon 2 Prancis
|
SUARA
MERDEKA, 11 April 2014
"Persoalannya bukan teknis melainkan
efektivitas, pelaksanaan, dan hasil yang diragukan banyak pihak"
SISWA
SMP dan SMA, termasuk di Jateng, saat
ini tengah bersiap-siap menghadapi ujian nasional (UN), untuk tingkat SMA/
sederajat pada 14-16 April dan jenjang SMP/sederajat pada 5-8 Mei mendatang.
Untuk melaksanakan ’’ritual’’ tersebut, siswa telah melakukan berbagai
persiapan. Ada yang belajar semalam suntuk, berdoa dan shalat bersama di
sekolah, sampai meminta petunjuk orang pintar.
Sebagian
dari mereka yang memiliki uang berlebih memilih mengikuti bimbingan belajar
(bimbel) supaya mendapatkan berbagai strategi jitu menyiasati soal ujian.
Mereka tidak perlu menggunakan rumus yang sangat rumit dan melelahkan. Mereka
bahkan diajarkan bagaimana menjawab soal (materi mapel) lewat ’’jalan tol’’
bebas hambatan, tidak perlu berputar-putar, karena yang penting ’’jawabannya
benar’’.
Persoalan
ujian nasional memang penuh misteri sekaligus butuh strategi. Pemerintah
tidak pernah memedulikan bagaimana cara siswa bisa menjawab soal dengan
benar. Baginya, yang penting bukan ’’apakah
siswa tahu secara pasti dari mana jawaban soal itu’’ melainkan ’’siswa berhasil menghitamkan kotak jawaban
yang dianggap benar oleh para pembuat soal’’.
Tidak
ada pula yang memedulikan bila ternyata jawaban tersebut benar karena ’’asal menghitamkan’’, atau
semata-mata karena keberuntungan masih berpihak pada siswa tersebut. Inilah
ujian yang diselesaikan melalui ajang tebak-tebakan jawaban. Realitas itu
sekaligus cermin yang memperlihatkan bagaimana sebuah proses pengujian
kualitas hasil belajar yang lebih mementingkan hasil ketimbang proses. Karena
itu, bentuk soal pilihan ganda menjadi senjata utama yang ditawarkan banyak
pengelola bimbingan belajar kepada para siswa yang ’’kebingungan’’ menghadapi ujian nasional.
Dengan
bentuk soal seperti itu, berbagai strategi mudah dirumuskan. Tentu akan
berbeda 180 derajat manakala soal ujian nasional disusun dalam bentuk uraian
atau essai. Soal pilihan ganda adalah materi yang dianggap sangat efektif
untuk mengukur banyak aspek sekaligus dalam waktu ujian yang terbatas,
terutama aspek kognitif siswa.
Dalam
tempo 90-120 menit, siswa dihadapkan pada 60 sampai 100 soal. Pengoreksiannya
pun tidak butuh waktu lama karena panitia ujian cukup mengandalkan mesin
pemindai. Dalam hitungan hari, hasil ujian dapat dipublikasikan. Alhasil kegagalan siswa akibat masalah
teknis saat mengisi lembar jawab komputer (LJK) jadi persoalan serius.
Hanya
karena LJK kotor atau basah terkena keringat, menghitamkannya tidak sempurna,
siswa bisa mengalami kegagalan yang berujung fatal. Pilihan ganda adalah
bentuk soal yang dianggap paling objektif mengingat mudah membedakan jawaban
benar atau salah. Asumsinya adalah dalam satu soal hanya ada satu jawaban
yang benar.
Selain
kelebihan soal pilihan ganda yang dianggap efektif dan objektif, bentuk soal
ini sebenarnya membatasi ruang berpikir siswa dalam menginterpretasi. Adalah
hal yang tidak dapat disangkal bahwa soal-soal untuk mapel noneksakta
bersifat multiinterpretasi. Mapel tersebut seharusnya memberikan ruang bagi
siswa untuk berpikir secara kritis dan kreatif.
Dalam
mata pelajaran Sosiologi misalnya, menganalisis fenomena atau gejala sosial
dengan hanya mengandalkan satu sudut pandang adalah sebuah hal yang sangat
naif. Gejala sosial adalah multiinterpretatif. Karena itu, mengukur hasil
belajar sosiologi dengan menggunakan soal pilihan ganda sama artinya dengan
memaksakan satu sudut pandang.
Siswa
dipaksa memaknai soal menurut pemahaman si pembuat soal. Akibatnya, si
pembuat soal secara tidak langsung telah menyatakan bahwa pendapat atau
analisis dialah yang paling benar. Memahami ’’makan dengan memakai tangan
kiri’’ sebagai contoh bentuk perilaku menyimpang adalah pandangan sempit.
Perilaku menyimpang bersifat sangat relatif.
Reformasi UN
Selama
ujian nasional masih mengandalkan soal pilihan ganda maka selama itu pula
kontroversi ujian tersebut selalu mengemuka tiap tahun. Dugaan kebocoran soal
dan aksi sontek-menyontek tersistematis adalah efek dominonya. Bila
pemerintah berupaya mengubah bentuk soal ini maka berbagai pendapat miring
mengenai ujian nasional dapat diminimalisasi.
Berikutnya, bentuk soal ini tidak dapat menggambarkan kemampuan
holistik siswa. Untuk menjawab soal ini siswa dapat ’’menggantungkan nasibnya’’ pada keberuntungan. Dengan kata lain,
ini rawan dengan jawaban benar karena asal menjawab.
Terakhir,
soal pilihan ganda telah mengajarkan siswa untuk
berpikir instan dan penuh trik jitu.
Siswa tidak perlu tahu bagaimana cara menjawab soal tersebut karena ia hanya
perlu tahu bagaimana strateginya. Memang, mengaplikasikan soal esai dalam
ujian nasional memerlukan biaya yang tidak sedikit. Tapi menjaga kualitas
lulusan sebuah lembaga pendidikan memang perlu membayar mahal ketimbang pemerintah
selalu menginvestasikan dana miliaran rupiah dengan hasil yang tidak jelas
dan selalu menuai kontroversi.
Hasil
Konvensi UN akhir September 2013 hanya mengkritisi masalah teknis pencetakan,
pendistribusian, dan penjagaan soal. Ini menunjukkan pemerintah tak memahami
akar masalah ujian nasional yang selalu menuai kritik dari masyarakat.
Masalah intinya bukan pada teknis melainkan pada efektivitas, pelaksanaan,
dan hasil yang masih diragukan banyak pihak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar