Bila
Ayah Merawat Anak
Arri Handayani ; Dosen Psikologi
Pendidikan dan Bimbingan FIP IKIP PGRI Semarang, Mahasiswa S-3 Ilmu Psikologi UGM
|
SUARA
MERDEKA, 11 April 2014
Kasus
pembunuhan Ade Sara Angelina Surono, warga Rawamangun Jakarta Timur, hingga
kini masih jadi pembicaraan hangat. Ahmad Imam Al Hafidz Aso adalah bekas
pacar korban. Adapun Assyifa Ramadhani Sulaiman, pacar baru, membantu tindak
kejahatan itu karena tak ingin Hafidz kembali berhubungan dengan korban.
Dalam
pengakuannya kepada penyidik Polres Bekasi, Hafidz mengaku selama ini kurang
mendapat perhatian oleh orang tuanya. Beberapa waktu lalu, kepada ibunda Ade
Sara, ia pernah curhat ingin dipeluk bapaknya dan diakui sebagai anak. (Cempaka, edisi 51, 15-21 Maret 2014).
Banyak
kasus pada anak-anak yang diharapkan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik;
berperilaku negatif, di antaranya agresif karena merasa tidak mendapatkan
kasih sayang orang tuanya. Pada dasarnya
anak harus mendapatkan kasih sayang utuh, karena butuh figur kedua orang
tuanya.
Dalam
konteks itu, seorang anak butuh figur ayah karena ada sesuatu yang tidak bisa
didapatkan dari ibu. Ada hal-hal tertentu dalam pengasuhan yang tidak bisa
menggantikan peran ayah sebagai kepala keluarga, semisal masalah tanggung
jawab. Para ayah biasanya membiarkan anak untuk lebih bereksplorasi supaya
mengenal lebih banyak hal, atau mengajarkan keberanian dengan membiarkan anak
”melangkah lebih jauh”. Melalui
peran ayah pula anak belajar tentang diskusi, pemecahan masalah, logika,
pengambilan keputusan, kemandirian, ketegasan, serta harga diri sebagai
laki-laki.
Semua
itu dapat dilakukan ketika anak bermain, bercanda, ataupun secara sengaja
bertukar pikiran dengan ayah. Pada prinsipnya ketika ada kontak mata,
sentuhan, belaian, ataupun candaan, akan berarti bagi perkembangan anak. Bisa
jadi lewat keterlibatan ayah dalam pengasuhan, kecerdasan anak bisa lebih
tinggi karena logika dan pemecahan masalah yang diajarkannya.
Demikian
juga halnya, ada cara-cara pengasuhan tertentu di balik sosok ibu yang
lembut, ramah, mengasuh dan merawat yang tidak bisa digantikan oleh sosok
ayah yang lebih keras. Dari ibu, anak belajar kemampuan berbahasa, sikap
menolong, mengalah, dan mengasuh. Baik ayah maupun ibu, masing-masing
memberikan peran dan teladan berbeda.
Karena
itu, ketika anak hanya berinteraksi dengan salah satu figur saja, akan ada
ketimpangan. Sejalan dengan itu pula, dilihat dari sisi perkembangan, salah
satu tugas perkembangan pada masa bayi dan kanak-kanak awal menurut
Havighurst adalah belajar berhubungan
secara emosional dengan orang tua.
Pribadi Rapuh
Jika
hubungan secara emosional ini tidak terbentuk, khususnya kepada ayah, karena ’’tidak adanya’’ figur ayah maka anak
akan kurang mandiri. Bahkan takut menjalin hubungan dengan orang lain, dan
menjadi pribadi rapuh. Dengan berjalannya usia, anak makin memahami
bahwa ayah adalah sosok orang tua yang
kuat, tegar, dan penuh tanggung jawab. Pada saatnya nanti ayah juga akan
membantu anak, terutama laki-laki, menemukan jati diri. Ayah adalah model
bagi anak laki-laki, sehingga apa pun yang dilakukan akan ditiru oleh anak
laki-lakinya.
Dengan
adanya peran ayah, secara tidak langsung pun berdampak tehadap perkembangan
anak. Ketika ayah terlibat dalam pengasuhan anak, berarti ia turut membantu
peran ibu dalam mengurus rumah tangga. Melalui pengasuhan bersama, ibu merasa
lebih ringan dan lebih nyaman.
Apalagi
dalam era global, banyak ibu tidak hanya berperan dalam sektor domestik hanya
mengurus rumah dan keluarga tapi juga acap berperan dalam sektor publik
dengan bekerja di luar rumah. Dengan kondisi yang lebih nyaman ini, ibu juga akan bersikap lebih positif
terhadap anak.
Tak diragukan lagi, ayah berperan penting dalam perkembangan anak, baik
secara langsung maupun tidak. Sentuhan, kontak mata, dan belaian, dapat
merangsang perkembangan anak, bermuara pada kepribadian yang lebih matang.
Selayaknya kaum ayah turun tangan dalam pengasuhan anak, demi mendapatkan
generasi cerdas yang berkepribadian matang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar