Robin
Hood dan Negara
Novriantoni Kahar ; Direktur Yayasan
Denny JA
|
TEMPO.CO,
07 April 2014
Pekan
lalu (21-23 Maret 2014), atas nama Yayasan Denny J.A., saya ke Malaysia guna
memenuhi undangan kawan-kawan IDEAS (Institute
for Democracy and Economic Affairs) untuk acara Regional Liberal
Colloquium. Pertemuan ini dihadiri kawan-kawan Malaysia, Singapura,
Indonesia, India, Amerika, dan Jerman. Tak banyak, cuma 13 orang. Di Kuala
Lumpur, kami berbincang ihwal kebebasan, keadilan, dan kesetaraan,
berdasarkan refleksi dan pengalaman masing-masing kami. Esai ini ingin
berbagi oleh-oleh dari negara jiran itu dalam bentuk renungan.
Permenungan
yang saya kira relevan adalah soal apa itu negara, untuk apa dia ada, dan
bagaimana dia bekerja. Topik ini saya kira penting, karena menjelang pemilu,
kita menyaksikan begitu banyak orang yang "peduli" mengurusi negara
dengan cara memperebutkan posisi-posisi kuncinya. Kita kini sedang menyaksikan
kampanye masif dari para calon anggota legislatif maupun calon presiden.
Semua mengumbar janji bla-bla-bla
jika kelak berkuasa memimpin sebuah negara. Namun apakah itu negara?
Menurut
filsuf liberal-klasik asal Prancis, Frédéric Bastiat, yang renungan-renungannya
menjadi bahan bacaan kami dalam pertemuan itu, negara pada hakikatnya adalah "entitas yang dikhayal-agungkan
banyak orang demi menopang hidupnya dengan tanggungan pihak lainnya"
(the state is the great fictitious
entity by which everyone seeks to live at the expense of everyone else).
Menurut dia pula, negara yang baik adalah negara yang bekerja bak polisi
pamong praja (common police force).
Fungsinya hanya menjamin tidak dijarahnya harta-benda siapa pun warga negara,
seraya berupaya mewujudkan keadilan dan keamanan.
Bagi
Bastiat dan umumnya kaum liberal, negara merupakan setan yang tak dapat
ditolak (necessary evil) dan karena
itu mesti berfungsi minimal saja. Ini berbeda dengan rumusan kaum maksimalis
yang menggantungkan banyak harapan kepada negara. Pada kaum maksimalis,
negara dituntut mengendalikan ekonomi, menjaga keamanan, meningkatkan
kesehatan, mengendalikan kemacetan, mengindahkan kesenian, bahkan menguatkan
keimanan. Mereka lupa, negara selalu punya dua tangan: tangan kasar (rough hand) yang pasti mengambil, dan
tangan lembut (gentle hand) yang
terkadang memberi.
Merenungkan
Bastiat, saya membayangkan negara bekerja bagaikan Robin Hood yang mencuri
untuk dapat memberi. Tatkala dua tangan itu bekerja, tentu ada saja pihak
yang diuntungkan dan ada pula yang dirugikan. Sebuah negara mungkin saja
masih sehat bila aksi pencurian ala Robin Hood itu masih menguntungkan
khalayak banyak. Yang celaka adalah bila negara justru menyengsarakan semua,
baik akibat salah kelola atau tak bekerjanya mekanisme Robin Hood dengan
saksama dan bijaksana.
Nah,
menjelang Pemilu, kita menyaksikan aksi-aksi berbagi dan memberi yang diumbar
para calon penyelenggara negeri. Namun sadarkah kita dari mana mereka
mengambil agar kelak mampu memberi? Seberapa banyak mereka mengambil dan
berapa porsi kelak mereka berikan? Kampanye memang musim bermurah hati, tapi
kita perlu pula mencurigai janji-janji semanis madu dan lagak-tingkah seputih
susu. Sebab, dalam politik, hampir mustahil membayangkan langkah-langkah
tanpa pamrih. Para politikus bukanlah orang suci atau para nabi yang terus
dibisikkan Tuhan agar "jangan
memberi dengan harapan mendapat lebih!" (QS al-Muddatsir: 5). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar