Selasa, 08 April 2014

Robin Hood dan Negara

Robin Hood dan Negara

Novriantoni Kahar  ;   Direktur Yayasan Denny JA
TEMPO.CO, 07 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Pekan lalu (21-23 Maret 2014), atas nama Yayasan Denny J.A., saya ke Malaysia guna memenuhi undangan kawan-kawan IDEAS (Institute for Democracy and Economic Affairs) untuk acara Regional Liberal Colloquium. Pertemuan ini dihadiri kawan-kawan Malaysia, Singapura, Indonesia, India, Amerika, dan Jerman. Tak banyak, cuma 13 orang. Di Kuala Lumpur, kami berbincang ihwal kebebasan, keadilan, dan kesetaraan, berdasarkan refleksi dan pengalaman masing-masing kami. Esai ini ingin berbagi oleh-oleh dari negara jiran itu dalam bentuk renungan.

Permenungan yang saya kira relevan adalah soal apa itu negara, untuk apa dia ada, dan bagaimana dia bekerja. Topik ini saya kira penting, karena menjelang pemilu, kita menyaksikan begitu banyak orang yang "peduli" mengurusi negara dengan cara memperebutkan posisi-posisi kuncinya. Kita kini sedang menyaksikan kampanye masif dari para calon anggota legislatif maupun calon presiden. Semua mengumbar janji bla-bla-bla jika kelak berkuasa memimpin sebuah negara. Namun apakah itu negara?

Menurut filsuf liberal-klasik asal Prancis, Frédéric Bastiat, yang renungan-renungannya menjadi bahan bacaan kami dalam pertemuan itu, negara pada hakikatnya adalah "entitas yang dikhayal-agungkan banyak orang demi menopang hidupnya dengan tanggungan pihak lainnya" (the state is the great fictitious entity by which everyone seeks to live at the expense of everyone else). Menurut dia pula, negara yang baik adalah negara yang bekerja bak polisi pamong praja (common police force). Fungsinya hanya menjamin tidak dijarahnya harta-benda siapa pun warga negara, seraya berupaya mewujudkan keadilan dan keamanan.

Bagi Bastiat dan umumnya kaum liberal, negara merupakan setan yang tak dapat ditolak (necessary evil) dan karena itu mesti berfungsi minimal saja. Ini berbeda dengan rumusan kaum maksimalis yang menggantungkan banyak harapan kepada negara. Pada kaum maksimalis, negara dituntut mengendalikan ekonomi, menjaga keamanan, meningkatkan kesehatan, mengendalikan kemacetan, mengindahkan kesenian, bahkan menguatkan keimanan. Mereka lupa, negara selalu punya dua tangan: tangan kasar (rough hand) yang pasti mengambil, dan tangan lembut (gentle hand) yang terkadang memberi.

Merenungkan Bastiat, saya membayangkan negara bekerja bagaikan Robin Hood yang mencuri untuk dapat memberi. Tatkala dua tangan itu bekerja, tentu ada saja pihak yang diuntungkan dan ada pula yang dirugikan. Sebuah negara mungkin saja masih sehat bila aksi pencurian ala Robin Hood itu masih menguntungkan khalayak banyak. Yang celaka adalah bila negara justru menyengsarakan semua, baik akibat salah kelola atau tak bekerjanya mekanisme Robin Hood dengan saksama dan bijaksana.

Nah, menjelang Pemilu, kita menyaksikan aksi-aksi berbagi dan memberi yang diumbar para calon penyelenggara negeri. Namun sadarkah kita dari mana mereka mengambil agar kelak mampu memberi? Seberapa banyak mereka mengambil dan berapa porsi kelak mereka berikan? Kampanye memang musim bermurah hati, tapi kita perlu pula mencurigai janji-janji semanis madu dan lagak-tingkah seputih susu. Sebab, dalam politik, hampir mustahil membayangkan langkah-langkah tanpa pamrih. Para politikus bukanlah orang suci atau para nabi yang terus dibisikkan Tuhan agar "jangan memberi dengan harapan mendapat lebih!" (QS al-Muddatsir: 5).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar