Kampanye
sebagai Teater Narsis
Seno Gumira Ajidarma ; Wartawan
|
TEMPO.CO,
07 April 2014
Politik
bukanlah teater dan teater bukanlah politik, tetapi narsisisme bekerja dalam dunia
politik maupun teater, sehingga dalam konteks narsisisme keduanya
terbandingkan. Narsisisme teracu kepada pemuda Narcissus yang dikisahkan oleh
Ovid, penyair Romawi yang hidup dalam masa kekuasaan Kaisar Augustus (63
SM-14 M). Pemuda tampan yang selalu menolak cinta itu, terkutuk untuk
mencintai bayangannya sendiri di permukaan kolam, dan akan tersiksa begitu
rupa sehingga hanya kematian yang bisa membebaskannya [Hamilton: 1961 (1940),
87-8]. Cerita ini teradaptasi secara ideologis, sebagai cinta kepada diri
melebihi cinta kepada siapa pun, sehingga disebut narsisisme.
Dalam
politik maupun teater, publik merupakan faktor integral, dan bersama publik
pula praktek narsisisme berlangsung. Dalam pertandingan sepak bola, para
bintang dipuja publik seperti dewa, meskipun seorang pemain yang menceploskan
bola ke gawang tingkahnya kekanak-kanakan. Namun, ketika bintang yang sama
tidak dapat memberi kemenangan lagi, publik yang narsis akan menghinanya,
karena bagi publik yang narsis ini kesebelasan favoritnya harus menang terus.
Meskipun seorang bintang di puncak prestasi berhak atas kebebasan penakluk,
dalam hubungannya dengan publik suatu kekalahan akan membuat dirinya dianggap
pengkhianat.
Maka
disebutkan, seperti dikutip Wiratmo Soekito dari Schmidbauer (1981),
kepahlawanan itu paradoksal, karena kepahlawanan akan absen setiap kali
terjadi pendewaan. Bagi seorang narsis, seorang pahlawan tidak boleh kalah,
harus menang, jika tidak ia bukan lagi pahlawan (Soekito, 9/11/1984: 6-9). Namun, dalam teater narsis, bukan
publik, melainkan produser, sutradara, dan para aktor yang narsis, ketika
mengecam penonton yang terkantuk, kurang berminat, bahkan mungkin
meninggalkan gedung pertunjukan-karena yang sewajarnya terjadi, adalah publik
yang menghakimi, bukan para pementas. Para dramawan cukup menerima saja,
apakah dikecam atau dipuji.
Teater
narsis, ketika tidak dibela publiknya, memuji dirinya sendiri, sehingga
seorang aktor tidak lagi memerankan suatu karakter, melainkan melakukan
identifikasi kepada dirinya sebagai karakter ideal, dan terkagum-kagumlah ia
kepada dirinya sendiri. Bentuk teater narsis ini jika dioper ke dunia
politik, ibarat pemimpin revolusi yang mengecam rakyat karena tidak mendukung
revolusi, ketika seharusnya rakyatlah yang menilai, menghakimi, atau mengecam
kerja pemimpinnya (Soekito, 15/3/1985:
6-9). Demikianlah seorang narsis mengira akan bisa berbahagia dengan
hanya mencintai dirinya sendiri.
Perbandingan
ini tidak membuat teater dan politik lebur, karena memang merupakan entitas
terpisah, tetapi dalam masa kampanye dalam rangka pemilihan umum, peleburan
antara teater dan politik itu pun terjadi. Dalam peristiwa politik
sehari-hari, panggung adalah sebuah metafor, suatu perumpamaan, karena publik
mengikuti semua drama politik dari media massa maupun gosip, ketika para
aktor politik pada dasarnya memang cukup menampilkan dirinya sebagai
politikus sahaja.
Namun,
dalam masa kampanye, para politikus justru terpaksa memainkan peran sebagai
aktor, meskipun mereka itu bukan aktor profesional. Dalam hal para aktor
profesional yang terjun ke politik, satu-satunya peran yang bisa dibawakan
dalam masa kampanye juga setali tiga uang: aktor maupun non-aktor, keduanya
harus memainkan peran (baca: menjadi aktor) sebagai pemimpin rakyat. Betapa
pun, seni orasi adalah bagian sah dari kemampuan retorika seorang politikus.
Peleburan
teater dan politik dalam masa kampanye terjadi karena para calon presiden
(capres) berhadapan dengan publik secara langsung di atas sebuah panggung.
Seperti orang panggung, para politikus ini harus menguasai publik dari atas
panggung itu, menaklukkan dan membuainya, untuk memberi kesan dirinya layak
pilih. Sebetulnya bukan hanya di panggung, tapi juga di koran, televisi, dan
"film iklan" yang selalu menampilkan adegan bersalaman dengan rakyat,
para politikus suka atau tidak suka terdudukkan sebagai aktor. Sama seperti
seorang aktor harus meyakinkan publik bahwa dirinya adalah peran seperti yang
dimainkannya.
Bedanya,
dalam teater terdapat kesepakatan bahwa apa yang tampak di panggung adalah
seni peran atau tontonan; sedangkan dalam kampanye politik, peran yang tampak
di panggung disepakati sebagai pribadi sang pemimpin yang "sesungguhnya". Mengandaikan
politik sebagai teater yang bukan sandiwara, yang dengan caranya
masing-masing seorang politikus berperan sebagai capres terbaik, terpenuhilah
persyaratan untuk menunjukkan betapa kampanye politik adalah teater narsis.
Seperti layaknya teater narsis, para calon yang tidak terpilih tidak mungkin
menyalahkan dirinya sendiri, misalnya sebagai bukan capres terbaik. Ada
kemungkinan yang tersedia hanyalah menyalahkan publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar