Ranjau
Disintegrasi Ukraina
Darmansyah Djumala ; Diplomat,
Tugas di Polandia
|
KOMPAS,
14 April 2014
SEGERA
setelah secara resmi dan sepihak
mengintegrasikan Crimea ke wilayah kedaulatannya melalui referendum, Rusia
mengambil langkah cepat: menggelar kekuatan militer di tapal batas timur
Ukraina.
Manuver
militer Rusia ini membuat banyak pihak khawatir. Pihak Barat, terutama AS dan
Uni Eropa, menuduh Rusia berniat menggeser garis batas teritori, merangsek ke
wilayah Ukraina dengan kekuatan militer. Masyarakat internasional menyerukan
agar krisis Ukraina diselesaikan melalui dialog. Imbauan pun bersambut. Presiden AS Barack Obama dan Presiden Rusia
Vladimir Putin sepakat menugaskan menlu masing-masing untuk mencari solusi
politik dan diplomasi bagi krisis Ukraina.
Sistem federal
Seturut
ini, akhir Maret, Menlu AS John Kerry dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey V
Lavrov bertemu di Paris. Ada satu hal menarik dalam upaya mencari solusi
politik bagi krisis Ukraina: usulan Rusia agar Ukraina melakukan reformasi
konstitusi yang memungkinkan negara itu menganut sistem federal.
Seperti
dilansir New York Times (31/3), baik AS maupun Rusia sepakat membicarakan
sistem federal bagi Ukraina. Dalam perspektif ilmu pemerintahan, jamak
dipahami sistem federal dapat lebih menjamin terpenuhinya kebutuhan lokal,
memperpendek rentang kendali pemerintahan pusat terhadap daerah sehingga
lebih menjamin aspek lokalitas suatu daerah, termasuk hak minoritas di suatu
negara.
Terkait
hal terakhir inilah kiranya mengapa Rusia antusias memfederalkan Ukraina
karena beberapa provinsi memang berpenduduk mayoritas etnik Rusia. Terlepas
apakah Ukraina setuju dengan pembicaraan AS dan Rusia ini, solusi federalisasi bagi Ukraina setidaknya akan berdampak
terhadap dua hal mendasar: keutuhan teritori dan penyikapan masyarakat
internasional terhadap isu Ukraina.
Pertama,
terkait integritas wilayah, usul federalisasi Ukraina sangat berbahaya. Dalam
usulannya, Rusia menginginkan Ukraina mengubah diri jadi negara federal yang
memberikan kewenangan daerah yang luas dalam bingkai otonomi di bidang
ekonomi dan pendidikan serta hubungan ekonomi-budaya dengan negara tetangga.
Sepintas usul ini memberikan harapan bagi terpenuhinya aspek lokalitas dan
efisiensi pembangunan provinsi-provinsi di Ukraina. Sesederhana itukah?
Tunggu
dulu. Lihatlah frasa ”hubungan ekonomi-budaya dengan negara tetangga” dalam
usulan Rusia itu. Frasa ini mengandung makna geo-strategis bagi Rusia. Dari
27 provinsi Ukraina, ada dua provinsi dengan penduduk beretnik Rusia di atas
75 persen (Crimea dan Donetsk); dan tujuh provinsi 25-75 persen (Luhansk,
Kharkiv, Dnipropetrovsk, Zaporizhia, Kherson, Mykolaiv, dan Odessa).
Menariknya, kesembilan provinsi ini berbatasan langsung dengan Rusia.
Usul
memberikan otonomi dan kewenangan provinsi untuk mengadakan ikatan
ekonomi-budaya dengan negara tetangga (dapat diduga yang dimaksud adalah
Rusia) menyiratkan adanya kepentingan agar provinsi-provinsi itu tetap berada
di bawah bayang-bayang Rusia. Bukankah inti kepentingan Rusia di Ukraina
adalah mempertahankan pengaruh ekonomi dan politik terhadap beberapa wilayah
di Ukraina, jika tidak seluruh Ukraina?
Jika
usulan ini terus bergulir dan akhirnya disetujui, keutuhan Ukraina jadi
taruhan. Dengan kewenangan luas dan ikatan ekonomi-budaya yang kuat dengan
Rusia, jika muncul ketidakpuasan sedikit saja, dengan mudah Rusia menancapkan
pengaruhnya lebih dalam di provinsi-provinsi itu. Dan, pemisahan diri dari
Ukraina membayang di depan mata.
Sistem
federal yang dirundingkan AS dan Rusia saat ini, alih-alih mengefisienkan
pemenuhan kebutuhan pembangunan di sembilan provinsi Ukraina, malah
membuhulkan ancaman pemisahan diri. Alhasil, sistem federal tak lebih tebaran
ranjau politik bagi integrasi Ukraina.
Kedua,
bagaimana dampak usul otonomi dan federalisasi Ukraina terhadap sikap
masyarakat internasional? Solusi politik memfederalkan dan pemberian otonomi
bagi provinsi-provinsi di Ukraina hanya menggeser isu utama dalam krisis
Ukraina. Bersedianya AS berunding dengan Rusia mengenai otonomi menunjukkan
AS terjebak dalam gendang tarian Rusia karena dengan dibicarakannya otonomi,
isu awal berupa aneksasi Crimea oleh Rusia terkesampingkan.
Logika
politik yang lempang membisikkan bahwa jika AS bersedia membahas federalisasi
dan otonomi, berarti AS sudah masuk bingkai pembicaraan yang menguntungkan
Rusia. Tatkala pembahasan usul itu bergulir, status Crimea vis-a-vis Rusia
tidak diutak-atik dan bukan mustahil terlupakan. Pada titik inilah terjadi
pergeseran isu utama dalam krisis Ukraina: yang mulanya isu legitimasi
aneksasi Crimea menjadi pemberian otonomi bagi provinsi-provinsi di Ukraina.
Pergeseran
isu Ukraina akibat guliran pembicaraan AS-Rusia mengenai otonomi dan
federalisasi Ukraina harus dicermati
masyarakat internasional. Guliran isu otonomi akan menegasikan urgensi isu
aneksasi. Secara hipotesis dapat dikatakan, jika nanti usul ini ternyata
disepakati AS-Rusia, sikap menentang aneksasi Crimea oleh Rusia perlu dikaji
ulang. Bisa jadi tatkala pembicaraan AS-Rusia mengerucut ke persetujuan atas
otonomi dan federalisasi Ukraina, sikap penolakan atas referendum Crimea jadi
tak relevan lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar