Mengapa
Satinah Tetap Pergi?
Sulistyowati Irianto ; Direktur
Sekolah Pascasarjana Multidisiplin UI
|
KOMPAS,
14 April 2014
SATINAH
adalah potret dari jutaan perempuan Indonesia (TKW) yang rela meninggalkan
kampung halaman untuk mengisi pekerjaan domestik yang dipandang rendah dan
kotor.
Namun,
sebenarnya mereka sedang menjadi penyumbang bagi kemajuan bangsa lain,
menumbuhkan ekonomi global, karena menggantikan peran domestik para majikan
perempuannya di negara tujuan. Berkat keberadaan mereka, perempuan kaya
bangsa lain bisa bekerja ke luar rumah, berkarier, dan berproduksi. Ini
berarti TKW kita menyumbang tidak hanya kepada pekerjaan reproduksi, tetapi
juga produksi di negara tujuan.
Terdapat
gelombang migrasi perempuan yang masif dari negara miskin ke negara-negara
kaya. Dalam konteks Indonesia, devisa yang dihasilkan setara dengan utang
luar negeri kita. Namun, mereka tidak menghitung bahwa risiko yang menghadang
juga sangat besar, yakni berupa kekerasan fisik, seksual, dan jika melakukan
perlawanan (bisa juga karena membela diri) bisa dipancung. Dengan risiko yang
mengerikan itu, pertanyaan kita adalah mengapa mereka tetap saja pergi
bermigrasi?
Teori
migrasi kuno mengatakan, ada faktor penarik dan pendorong, yang intinya
adalah kemiskinan mendorong orang pergi ke tempat dengan sumber daya
melimpah. Namun, teori ini sudah ketinggalan zaman. Menjelaskan fenomena
migrasi pada masa kini harus dikaitkan dengan persoalan hak asasi dan
perlindungan hukum. Pergi bermigrasi adalah hak asasi dan perlindungan hukum
kepada kaum migran harus dijamin oleh negara-negara tujuan di seluruh dunia,
tanpa batas kewarganegaraan.
Pada
masa kini, fenomena migrasi lebih dapat dijelaskan melalui pendekatan
kultural dengan mempersoalkan identitas. Mengapa pelanggaran hak kaum migran
terjadi? Mereka distrukturkan sebagai liyan, other, bukan kaum kita karena
mereka berbeda bangsa, etnik, ras, kelas sosial, (kadang juga agama), jender,
dan jenis pekerjaan. Semua pembedaan ini menempatkan mereka sebagai orang
yang tak memiliki derajat dan hak yang setara, termasuk perlindungan hukum.
Dalam
penelitian saya di Uni Arab Emirat, misalnya, diketahui bahwa masalah hukum
berkelindan dengan konteks sosial-kultural masyarakat. Setiap orang
didefinisikan secara jelas identitasnya, apakah dia orang Emirati atau
non-Emirati. Warga Emirati memiliki hak-hak paling istimewa. Apabila
non-Emirati, apakah Arab atau non-Arab. Semakin hilang ke-Arab-annya, semakin
hilang hak-hak istimewa seseorang secara kultural. Warga non-Arab masih
dibedakan lagi apakah dia orang Amerika atau Inggris, yaitu warga negara
asing yang menduduki tempat paling istimewa. Warga non-Barat, masih dibedakan
lagi dari mana asalnya. Pemerintah India sudah lama melarang warganya bekerja
di sektor informal tanpa perlindungan hukum, maka mereka bekerja di sektor
perdagangan. Demikian pula orang Filipina yang lebih berpendidikan dan bisa
berbahasa Inggris semakin banyak yang bekerja di sektor formal. Di tempat
terbawah adalah warga dari negara miskin: Pakistan, Banglades, Etiopia, dan
Indonesia, yang bersedia bekerja sebagai buruh murah. Masih ada satu
identitas pembeda yang signifikan, yang berimplikasi pada hak dan
perlindungan hukum, yaitu jenis kelamin.
Dari
struktur ini dapat dijelaskan bahwa TKW Indonesia berada di tingkat terbawah:
bangsa lain, miskin, tidak berpendidikan, pekerja rendahan, dan perempuan.
Kesamaan identitas agama ternyata bukan faktor determinan. Secara kultural
perbedaan etnis, kelas, jender, dan jenis pekerjaan dianggap lebih
signifikan. Hal ini tecermin dalam bagaimana mereka merumuskan perlindungan
hukum. Secara eksplisit UU Perburuhan di negeri itu menyatakan bahwa pekerja
domestik (bersama dengan pekerja pertanian) dikategorikan sebagai informal
dan dikecualikan dari perlindungan hukum. Dengan demikian, tidak ada satu pun
instrumen hukum yang melindungi mereka. Inilah penjelasan mengapa mereka
rentan mengalami diskriminasi dan kekerasan.
Mengapa
mereka tidak jera dan tetap pergi? Dalam konteks Indonesia, migrasi ke
negara-negara Arab harus dijelaskan secara khusus melalui persoalan identitas
religiositas. Para perempuan TKW itu pada umumnya berasal dari keluarga
religius di kampung, menjalankan ritual agama, dan mengidentikkan Arab dengan
religiositas. Para TKW dalam penelitian bercerita bahwa pengerah tenaga kerja
di kampung (broker) tidak jarang adalah orang yang dihormati sebagai tokoh
agama. Mereka inilah yang menyodorkan impian tentang negeri Arab dan
identitas religius. Sekitar 60 responden TKW diminta membuat gambar tentang
negara tujuan dan ternyata banyak yang menggambar simbol Tempat Suci.
Sesampainya
di penampungan pra-pemberangkatan (Condet, termasuk wilayah penelitian),
mereka mendapati bahwa pemilik agensi kebanyakan adalah juga keturunan Arab
yang dianggap dekat dengan identitas kesucian. Selanjutnya mereka pun
diberangkatkan ke negara-negara Arab (sebagai catatan, agensi yang
memberangkatkan TKW ke Hongkong atau Taiwan adalah juga keturunan Tionghoa).
Begitulah identitas religiositas menuntun mereka pergi. Akhirnya, di negara
tujuan barulah mereka mengalami sendiri ternyata imajinasi berbeda dengan
realitas.
Sayangnya,
pemerintah kita tidak cukup membekali mereka dengan pengetahuan tentang
budaya masyarakat Arab di balaibalai latihan kerja. Bagaimana pola hidup
masyarakat di sana, apa yang boleh dan tidak boleh. Pembekalan ini sangat
penting, mengingat mereka minim pendidikan (pada umumnya lulus SD, tidak
tamat, atau bahkan ada yang buta huruf). Selain itu, mereka tidak dibekali
dengan perisai pengetahuan hukum dan akses kepada bantuan hukum yang memadai
ketika diperlukan.
Puncak
dari semua itu adalah ketiadaan keberanian diplomasi dari pemerintah untuk
membela warga bangsa sendiri di hadapan bangsa lain. Kita lihat saja apakah
pemerintah cukup berani membawa persoalan diyat ke forum internasional ketika
besarnya pembayaran yang dituntut sebagai restitusi sudah semakin tidak masuk
akal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar