Koalisi
Putu Setia ; Pengarang, Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
12 April 2014
Tanpa mengurangi rasa hormat
akan keilmuannya, saya bosan mendengar uraian para pengamat di televisi
tentang hasil pemilu legislatif. Selain orangnya itu-itu saja, pengamatannya
terlalu metropolitan, kurang memahami apa yang ada di desa.
Misalnya, soal efek-efekan. Ada
efek Jokowi yang dianggap gagal mendongkrak suara PDI Perjuangan. Lalu ada
efek Rhoma Irama yang berhasil mendongkrak suara PKB.
Yang saya amati (meski
saya tak menyandang predikat pengamat) orang desa bukannya tak mendukung
Jokowi menjadi presiden. Mereka mendukung, tapi itu nanti pada pemilihan
presiden. Orang di desa cenderung memilih caleg yang dekat dengan
lingkungannya karena merekalah yang setiap saat membantu warga. Tak peduli
partainya. Tentang suara PKB yang melonjak, ini lebih pada warga NU yang "pulang ke rumah". Sulit
membayangkan para kiai mencoblos PKB hanya karena Rhoma Irama, meski dia Raja
Dangdut.
Soal koalisi, konon sudah
mengerucut. Tiga partai teratas yang sudah punya calon presiden menjadi "komandan" koalisi. Tapi,
apa benar begitu, saya ingin pendapat pengamat wong ndeso. Siapa lagi kalau
bukan Romo Imam. "Ah, percuma,
kamu yang sudah mendukung Jokowi pasti menyanggah," kata Romo,
begitu saya meminta komentar soal koalisi.
Saya hanya nyengir kuda--bisa
menebak kuda nyengir? Romo melanjutkan: "Sudah
ada tiga partai besar yang semua punya calon presiden. PDIP dengan Jokowi,
Golkar dengan ARB, dan Gerindra dengan Prabowo. Saya ingin ada koalisi
keempat, di luar ketiga partai itu, agar Jokowi punya lawan."
Saya tersentak. Bukankah lawan
Jokowi sudah jelas ARB dan Prabowo? Atau Romo
Imam menganggap Jokowi pasti
menang mudah melawan kedua tokoh itu? Saya tak berani bertanya, Romo langsung
berkata: "Kalau tiga saja partai
menengah berkoalisi, sudah bisa mengusung calon presiden, yaitu Demokrat,
PKB, dan PAN.
Lalu tokoh yang dimunculkan adalah Anies Baswedan, peserta konvensi
capres Demokrat, dan Mahfud Md. Tentu ketiga pimpinan partai itu harus
legowo, siapa yang jadi presiden dan wakilnya. Bisa Mahfud-Anies, bisa
Anies-Mahfud. Pasangan ini akan menjadi pesaing tanggung Jokowi, siapa pun
yang jadi wakilnya."
Saya tentu kaget, tapi saya
sembunyikan. "Jokowi itu gesturnya
belum presiden. Bicaranya dalam menjawab pertanyaan spontan sering tak fokus,
ha-ha-he-he. Wawasannya masih kurang." Ucapan Romo ini langsung saya
sanggah: "Romo, itu karena kita
terbiasa punya presiden yang menjaga citra dan penampilan. Kita ingin
sesekali punya presiden yang merakyat, yang bisa naik bak sampah, yang bisa
mencebur ke got, rakyat menyukai ini."
Romo terbahak dan tawanya agak
aneh. Saya langsung diam. "Sudah saya bilang, kamu pasti marah kalau
saya komentari Jowoki dengan cara saya," kata Romo dan mengajak saya
minum. "Kalau ada koalisi sesama
partai menengah, pertarungan jadi seru. Terserah siapa dipilih rakyat, Jokowi
atau pasangan alternatif itu. Ingat, dalam pemilihan presiden yang dilihat
bukan partainya, tapi tokohnya. Orang tak melihat lagi PDI Perjuangan,
Demokrat, PKB, Golkar, atau Gerindra, tapi yang dilihat Anies Baswedan,
Mahfud Md., Jokowi, Prabowo, dan Ical. Siapa yang paling bersih, jujur, dan
punya wawasan," kata Romo.
Romo menyambung: "Tentu, kalau pasangan alternatif ini
terpilih, akan ada perlawanan dari parlemen. Tapi, kalau kerjanya bagus,
menterinya profesional, dan bukan bagi-bagi jatah partai, rakyat akan
berkoalisi dengan pemerintah." Saya tetap diam dan akhirnya sadar, inilah
risikonya minta pendapat pada pengamat ndeso. Anggap saja selingan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar