Senin, 14 April 2014

Rajin, Pandai, Cikampek, Puncak

Rajin, Pandai, Cikampek, Puncak

Samuel Mulia  ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS, 13 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Diberitakan seorang wanita berusia enam puluh tahun, menikahi pria muda berusia dua puluh delapan tahun. Kalau tidak salah, peristiwa ini terjadi di negeri Tiongkok. Berita itu masuk di grup Whatsapp saya.

Salah satu anggota grup berucap begini. ”Gila ya, uda enam puluh tahun, badannya masih langsing dan cantik pula. Pengen deh kayak gitu.”

”Pengen doang”

Komentar itu memancing kepala saya untuk berpikir macam-macam. Pertama, seperti komentar teman saya itu, tak dipungkiri bahwa saya acapkali berpikir hal yang sama. Pengen deh kayak gitu.

Melihat kecantikan atau kekayaan serta keterkenalan bahkan kerendahan hati orang lain, selalu saja memancing komentar semacam itu. Kenyataannya, mulut ini cuma pengen doang. Kalau pun ada usaha untuk mewujudkannya, usaha itu acapkali kandas setelah menjalaninya beberapa bulan, bahkan dalam kasus saya, hanya beberapa minggu saja.

”Yaah...sudahlah kita terima nasib saja. Orang itu kan nasibnya beda-beda.” Seperti saya tuliskan minggu lalu, alasan positif itu selalu saja dicari untuk menutupi keputusasaan dan kemalasan untuk berjuang.

Kedua, saya acapkali berusaha pengen deh kayak gitu kemudian berusaha setengah mati dan tidak kandas, tapi tak berpikir panjang. Menjadi langsing bisa jadi dilakukan semua orang, meski kadang bertahan hanya beberapa saat saja. Tetapi cantik yang alami dan bukan buatan dokter bedah plastik, adalah sebuah anugerah.

Nah, karena anugerah, berarti diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Kalau begitu ceritanya, maka hal itu tak dapat dicari dan dimiliki, kecuali yaa...itu tadi, lewat kehebatan dokter bedah plastik. Katanya dalam hidup ini, kalau tak bisa dapat yang alami, yaa....yang buatan saja. Katanya.

Kondisi seperti itu, mengingatkan saya pada ungkapan rajin pangkal pandai yang telah dicekoki di kepala saya sejak kecil, dan menjadi kesal karena saya sudah rajin tapi tingkat intelektualitas yang gitu deh itu, membuat saya murid pandai.

Saya kemudian berpikir begini. Moga-moga benar pikiran saya. Rajin adalah aktivitas fisik, didasari oleh kemauan, dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Pandai adalah anugerah dan bukan sebuah aktivitas fisik. Mau hujan atau mau gempa, pandai ya pandai. Titik. Tak ada manusia yang berkata: ”Ah...lagi malas nih jadi pandai. Besok aja. Sekarang pengen bodoh.”

Seperti saya katakan, saya ini termasuk murid dan mahasiswa yang rajin, bahkan rajin sekali. Tetapi karena tingkat kepandaian saya, yaaa...cuma gitu deh, maka hasilnya pangkal pandai saja tidak. Saya ini juara tiga puluh, dari tiga puluh mahasiswa yang ada.

Rajin pangkal pandai itu macam dua cara yang bisa dilakukan untuk pergi ke Bandung dari Jakarta. Yang satu lewat Puncak, yang satu lewat Cikampek. Kedua jalur itu tak pernah bertemu. Meski keduanya mengantar kita sampai ke kota sejuta makanan enak.

Rajin mengantar saya naik kelas, pandai mengantar mereka naik kelas. Saya juara tiga puluh, mereka juara satu, dua dan tiga. Saya tak pernah ’bertemu’ dengan mereka.

Mewujudkan ”pengen”

Ketiga, perbedaan umur dari pasangan di atas membuat saya bertanya, bagaimana mereka bisa menjamin bahwa hubungan itu akan langgeng? Saya belajar dengan melihat pengalaman orang, bahwa katanya bibit, bebet, dan bobot itu, adalah tiga hal yang penting yang perlu dipikirkan sebelum memutuskan untuk memiliki hubungan yang serius.

Tetapi kemudian saya bertanya, apakah tiga hal itu memiliki jaminan bahwa hubungan itu tak berantakan di tengah jalan? Atau hal itu adalah sebuah tindakan preventif agar kalaupun berantakan, tak akan sampai luluh-lantak?

Saya juga memiliki teman seperti dalam kasus di atas. Bukan saja berbeda usia, tetapi juga latar belakang dan kekayaan. Hal yang membuat saya terpesona adalah mereka menggunakan kekuatan cinta untuk menjalani dan menanggung risikonya. Dan saya adalah bukti yang melihat mereka menanggung risiko.

Perbedaan yang mencolok itu telah membuat salah satu pasangan tak bisa diterima dalam lingkungan pertemanan. Bahkan yang paling memuakkan, arogansi dalam pertemanan itu telah mampu mewujudkan ’permusuhan’ yang sangat halus, tapi begitu nyata dan dapat dirasakan.

Melihat kejadian di depan mata itu, saya seperti disetrum. Saya ini sering kali kehilangan banyak momen indah, karena lebih membela orang lain supaya saya bisa diterima, dan melupakan orang yang saya kasihi dan mengasihi saya, yang membuat saya tidak bisa diterima dalam sebuah lingkungan sosial.

Saya terlalu banyak membela orang lain yang belum tentu akan membela saya di suatu hari kalau perjalanan hidup saya berantakan. Kalaupun mereka akan membela, pembelaan mereka adalah untuk kebahagiaan mereka, dan bukan untuk saya.

Mungkin, untuk mewujudkan pengen deh kayak gitu, kadang saya perlu memakai kacamata kuda. Sebuah cara memperjuangkan kebahagiaan dan kacamata ini memberi kemampuan saya untuk mengutamakan suara nurani ketimbang suara yang lain.

Hidup dengan kacamata kuda itu memerlukan keberanian di atas rata-rata, sehingga dapatlah saya menyebut bahwa hebat itu kalau bisa berbeda, dan bukan kalau bisa sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar