Rajin,
Pandai, Cikampek, Puncak
Samuel Mulia ; Penulis Mode dan Gaya
Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
|
KOMPAS,
13 April 2014
Diberitakan
seorang wanita berusia enam puluh tahun, menikahi pria muda berusia dua puluh
delapan tahun. Kalau tidak salah, peristiwa ini terjadi di negeri Tiongkok.
Berita itu masuk di grup Whatsapp
saya.
Salah
satu anggota grup berucap begini. ”Gila
ya, uda enam puluh tahun, badannya masih langsing dan cantik pula. Pengen deh
kayak gitu.”
”Pengen doang”
Komentar
itu memancing kepala saya untuk berpikir macam-macam. Pertama, seperti
komentar teman saya itu, tak dipungkiri bahwa saya acapkali berpikir hal yang
sama. Pengen deh kayak gitu.
Melihat
kecantikan atau kekayaan serta keterkenalan bahkan kerendahan hati orang
lain, selalu saja memancing komentar semacam itu. Kenyataannya, mulut ini
cuma pengen doang. Kalau pun ada
usaha untuk mewujudkannya, usaha itu acapkali kandas setelah menjalaninya
beberapa bulan, bahkan dalam kasus saya, hanya beberapa minggu saja.
”Yaah...sudahlah kita terima nasib saja. Orang itu
kan nasibnya beda-beda.” Seperti saya tuliskan minggu lalu, alasan positif
itu selalu saja dicari untuk menutupi keputusasaan dan kemalasan untuk
berjuang.
Kedua,
saya acapkali berusaha pengen deh kayak
gitu kemudian berusaha setengah mati dan tidak kandas, tapi tak berpikir
panjang. Menjadi langsing bisa jadi dilakukan semua orang, meski kadang
bertahan hanya beberapa saat saja. Tetapi cantik yang alami dan bukan buatan
dokter bedah plastik, adalah sebuah anugerah.
Nah,
karena anugerah, berarti diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Kalau begitu
ceritanya, maka hal itu tak dapat dicari dan dimiliki, kecuali yaa...itu
tadi, lewat kehebatan dokter bedah plastik. Katanya dalam hidup ini, kalau tak bisa dapat yang alami,
yaa....yang buatan saja. Katanya.
Kondisi
seperti itu, mengingatkan saya pada ungkapan rajin pangkal pandai yang telah
dicekoki di kepala saya sejak kecil, dan menjadi kesal karena saya sudah
rajin tapi tingkat intelektualitas yang gitu deh itu, membuat saya murid
pandai.
Saya
kemudian berpikir begini. Moga-moga benar pikiran saya. Rajin adalah
aktivitas fisik, didasari oleh kemauan, dan dipengaruhi oleh banyak faktor.
Pandai adalah anugerah dan bukan sebuah aktivitas fisik. Mau hujan atau mau
gempa, pandai ya pandai. Titik. Tak ada manusia yang berkata: ”Ah...lagi malas nih jadi pandai. Besok
aja. Sekarang pengen bodoh.”
Seperti
saya katakan, saya ini termasuk murid dan mahasiswa yang rajin, bahkan rajin
sekali. Tetapi karena tingkat kepandaian saya, yaaa...cuma gitu deh, maka hasilnya pangkal pandai saja tidak.
Saya ini juara tiga puluh, dari tiga puluh mahasiswa yang ada.
Rajin
pangkal pandai itu macam dua cara yang bisa dilakukan untuk pergi ke Bandung
dari Jakarta. Yang satu lewat Puncak, yang satu lewat Cikampek. Kedua jalur
itu tak pernah bertemu. Meski keduanya mengantar kita sampai ke kota sejuta
makanan enak.
Rajin
mengantar saya naik kelas, pandai mengantar mereka naik kelas. Saya juara
tiga puluh, mereka juara satu, dua dan tiga. Saya tak pernah ’bertemu’ dengan
mereka.
Mewujudkan ”pengen”
Ketiga,
perbedaan umur dari pasangan di atas membuat saya bertanya, bagaimana mereka
bisa menjamin bahwa hubungan itu akan langgeng? Saya belajar dengan melihat
pengalaman orang, bahwa katanya bibit, bebet, dan bobot itu, adalah tiga hal
yang penting yang perlu dipikirkan sebelum memutuskan untuk memiliki hubungan
yang serius.
Tetapi
kemudian saya bertanya, apakah tiga hal itu memiliki jaminan bahwa hubungan
itu tak berantakan di tengah jalan? Atau hal itu adalah sebuah tindakan
preventif agar kalaupun berantakan, tak akan sampai luluh-lantak?
Saya
juga memiliki teman seperti dalam kasus di atas. Bukan saja berbeda usia,
tetapi juga latar belakang dan kekayaan. Hal yang membuat saya terpesona
adalah mereka menggunakan kekuatan cinta untuk menjalani dan menanggung
risikonya. Dan saya adalah bukti yang melihat mereka menanggung risiko.
Perbedaan
yang mencolok itu telah membuat salah satu pasangan tak bisa diterima dalam
lingkungan pertemanan. Bahkan yang paling memuakkan, arogansi dalam
pertemanan itu telah mampu mewujudkan ’permusuhan’ yang sangat halus, tapi
begitu nyata dan dapat dirasakan.
Melihat
kejadian di depan mata itu, saya seperti disetrum. Saya ini sering kali
kehilangan banyak momen indah, karena lebih membela orang lain supaya saya
bisa diterima, dan melupakan orang yang saya kasihi dan mengasihi saya, yang
membuat saya tidak bisa diterima dalam sebuah lingkungan sosial.
Saya
terlalu banyak membela orang lain yang belum tentu akan membela saya di suatu
hari kalau perjalanan hidup saya berantakan. Kalaupun mereka akan membela,
pembelaan mereka adalah untuk kebahagiaan mereka, dan bukan untuk saya.
Mungkin,
untuk mewujudkan pengen deh kayak gitu, kadang saya perlu memakai kacamata
kuda. Sebuah cara memperjuangkan kebahagiaan dan kacamata ini memberi
kemampuan saya untuk mengutamakan suara nurani ketimbang suara yang lain.
Hidup
dengan kacamata kuda itu memerlukan keberanian di atas rata-rata, sehingga
dapatlah saya menyebut bahwa hebat itu kalau bisa berbeda, dan bukan kalau
bisa sama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar